Pengantar Memasuki Dunia Sastra

Denny Mizhar

“Sastra tidaklah lahir dari sebuah kekosongan. Ia mengada setelah melewati proses yang rumit yang berkaitan dengan persoalan sosio-budaya, politik, ekonomi, bahkan juga ideology dan agama” (Maman S. Mahayana).

Memasuki dunia sastra itu menurut saya memasuki dunia yang penuh dengan keindahan dan makna di dalamnya ada bahasa, simbol, ekpresi-ekpresi pengalaman juga pemikiran manusia terhadap obyek keindahannya. Lalu apa definisi sastra itu pada umumnya, mari kita coba telisik: Sastra (Sangsekerta: shastra) merupakan serapan dari bahasa sangsekerta: sastra, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman” dari kata dasar sas- yang berarti “intruksi” atau “ajaran”.

Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Selain itu dalam arti kesusastraan sastra dapat dibagi menjadi sastra tertulis dan sastra lisan (oral). Adapun yang termasuk sastra menurut Binar Agni (2008) adalah pantun, puisi, sajak, pribahasa, kata mutiara, majas, novel, cerita/cerpen (tertulis/lisan), syair, sandiwara/drama. Selain itu menurut Menurut Sumardjo dan Sumaini, definisi sastra adalah seni bahasa, ungkapan spontan dari perasaan yang mendalam, ekspresi pikiran dalam bahasa, inspirasi kehidupan yang dimaterikan dalam sebuah bentuk keindahan, semua buku yang memuat perasaan kemanusiaan yang benar dan kebenaran moral dengan sentuhan kesucian, keluasan pandangan dan bentuk yang mempesona. Ternyata luas sekali apa itu definisi sastra dan tentu masih banyak lagi definisi sastra menurut para ahli. Sekiranya itu dulu untuk mengenal apa yang dinamakan sastra.

Jika kita sudah mengetahui sekilas apa itu sastra, alangkah baiknya juga mengenal para penulis sastra. Saya akan mencoba memperkenalkan beberap sastrawan mulai dari angkatan balai pustaka: Marah Rusli dengan karyanya Siti Nurbaya, La Hami; Abdul Muis dengan karyanya Salah Asuhan, Surapati; Sutan Takdir Alisjabana dengan karyanya Tak Putus Dirundung Malang, Anak Perawan di Sarang Penyamun; Hamka dengan karyanya Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tengelamnya Kapal Van der Wijck dan masih banyak yang lainnya. Pada era ini sebenarnya tidak hanya ada sastrawan Balai Pustaka Saja tetapi ada juga bacaan “Liar” misalnya seorang wartawan bernama Mas Marco Martodikromo, Ia berkali-kali dijatuhi hukuman oleh pemerintah jajahan Belanda adapun karyanya yang berjudul Mata Gelap, Syair Rempah-Rempah dan masih banyak lagi.

Setelah itu ada periode Pujangga Baru yang muncul karena adanya sensor dari Balai Pustaka terhadap karya sastrawan pada masa itu di antaranya: Arminj Pane dengan karyanya Belenggu, Jiwa Berjiwa; Tengku Amir Hamzah dengan karyanya Nyanyi Sunyi, Buah Rindu; Sanusi Pane dengan karyanya Pancaran Cinta, Puspa Mega; Muhamad Yamin dengan karyanya Ken Arok dan Ken Dedes, Tanah Air; Roestam Effendi dengan karyanya Pertjikan Permenungan, Bebasari (toneel dalam 3 pertundjukan) adapun nama yang termaktub dalam periode Balai Pustaka juga muncul kembali ada Sutan Takdir Alisjabana.

Setelah masa Pujangga Baru muncul Angkatan ’45. Angkatan ini karyanya diwarnai dengan gejolak – sosial politik adapun nama-nama pada periode angkatan ’45 adalah Chairil Anwar dengan karyanya Kerikil Tadjam, Deru Campur Debu; Idrus dengan karyanya Dari Ave Maria ke Djalan Lain di Roma, Aki; Pramoedya Ananta Toer dengan karyanya Bukan Pasar MalamGadis Pantai, Mereka Yang Dilumpuhkan, Mochtar Lubis dengan karyanya Tidak Ada Esok, Harimau-Harimau!; dan masih banyak lagi.

Kemunculan H.B Jassin memberikan dampak kemunculan sastrawan Angkatan 50-an dengan karya yang banyak didominasi puisi dan cerpen selain itu pada masa ini muncul gerakan Lekra (Lembaga Kebudyaan Rakyat). Adapun nama dan karya pada angkatan 50-an adalah Ajip Rosidi dengan karyanya Cari Muatan, Tahun-Tahun Kematian; A.A Navis dengan karyanya Hudjan Panas, Robohnya Surau Kami; 8 tjerita pendek pilihan; Nh. Dini dengan karyanya Dua Dunia, Hati jang Damai; Ramadhan K.H. dengan karyanya Api dan Si Rangka; Sitor Sitomorang dengan karyanya Dalam Sadjak, Pertempuran dan Saldju di Paris; Subagio Sastrowardojo dengan karyanya Simphoni; W.S. Rendra dengan karyanya Balada Orang-Orang Tertjinta, Empat Kumpulan Sajak. Angkatan 50-an disambut dengan angkatan 66-70-an adapun nama-nama Goenawan Muhammad dengan karyanya Interlude,Parikesit; Sapardi Djoko Damono dengan karyanya Dukamu Abadi, mata Pisau dan Akuarium; Umar Kayam dengan karyanya Seribu Kunang-Kunang di Mahattan, Sri Sumarah dan Bawuk; Arifin C Noor dengan karyanya Tengul, Sumur Tanpa dasar; Calzoum Bachri dengan karyanya O Amuk Kapak, Abdul Hadi WM dengan karyanya Laut Belum pasang, Meditasi, Putu Wijaya dengan karyanya Telegram. Sehabis itu muncul Angkatan 80-an dengan nama-nama Remy Silado, Seno Gumirang Adjidarma, Pipiet Senja, Kuniawan Junaidi, Tajidun Noor Ganie dan lain sebagainya.

Reformasi juga memberi penanda kemunculan angkatan diantaranya ada Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan lain sebagainya. Hingga angkatan 2000-an mereka yang lama menulis muncul pada catatan angkatan di antaranya ada Afrizal Malna, Ayu Utami, Dorothea Rosa Herliany. Setelah itu yang paling kontemporer yaitu era Cyber pada era ini banyak sekali kemunculan sastrawan-sastrawan diantaranya ada Saut Sitomorang, Nanag Suryadi, Hasan Aspahani dan lain sebagainya. Tentu saja masih panjang jika dijabarkan nama-nama sastrawan lainnya dan tidak termaktub dalam periodesasi sejarah sastra yang ditulis oleh para penulis sejarah sastra pun juga yang saya jabarkan di atas.

Begitu banyak para sastrawan di Indonesia, apa lagi di era Cyber saat ini. Jika kita masuk akan segera menjumpai ribuan penulis sastra. Apa yang menarik dengan sastra hingga banyak peminatnya. Tentu saja ada yang menstimulus untuk memasukinya. Sastra adalah seni menulis dan berkata-kata, siapapun memiliki kemampuan asalkan dapat membaca dan menulis dan mendengar dengan cara apapun. Sastra adalah dunia yang lentur semua pandangan dapat diutarakannya. Tentu saja semua tidak lahir dari dunia yang hampa, ada ruang pijakan secara personal ataupun sosial. Seperti yang saya kutip di atas apa yang ditulis oleh Maman S. Mahayana. Dengan simbol dan misteri bahasa yang dimiliki oleh penulis akan banyak memberikan arti dan tidak tunggal. Selain itu sastra juga dapat memberikan motivasi, ajaran, refleksi pada pembaca. Refleksi dari masa lalu, pandangan masa datang ataupun kekinian. Imajinasi menjadi penting dalam menulis sastra, Karena dengan Imajinasi akan dapat menulis banyak hal. Obyek yang kita lihat disekitaran dapat ditulis dan menjadi hidup dalam tulisan. Selain itu membaca adalah hal yang utama bagi penulis yang berkeinginan meningkatkan kualitasnya. Sejarah perlu dibaca untuk mengetahui diri penulis ada di mana. Pencapaian bahasa, tema juga perlu untuk dikembangkan dari situ seorang penulis akan menciptakan originilitas. Bagi penulis pemula yang terpenting adalah menulis, menulis dan menulis.

Bahan Bacaan:

Agni Binar, Sastra Indonesia Lengkap. Hi-Fest Publishing, Jakarta 2008
Aspahani Hasa. Menapak Ke Puncak Sajak. Penerbit Koekoesan, Depok 2007
Rosidi Ajip, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bina Cipta, Bandung 1968
http://www.scribd.com/doc/31552799/Pengertian-Sastra-Menurut-Para-Ahli , http://sastra-indonesia.com/

Leave a Reply

Bahasa »