Muhammad Yasir
Seribu kaki dari Jembatan Merah, Surabaya, rumah sederhana dari batu bata dan kayu beratap seng berwarna perak, tampak berkilauan dari kejauhan seperti berbilah pisau yang sengaja diampar di tepi pantai. Rumah sederhana itu milik seorang lelaki tua berumur menjelang 75 tahun. Tidaklah orang kebanyakan, bahkan tetangganya sekali pun tahu bahwa dia adalah seorang penyair yang begitu santai dan penuh pertimbangan dalam hidupnya. Dia tinggal seorang diri di rumah sederhana itu – maksudku, anak dan istrinya lebih cepat mati. Hampir sepanjang hari, dia akan duduk di ruangan pengabdiannya; ruangan yang diisi beberapa rak buku, lampu baca, sebuah mesin tik tua, dan sepasang sepatu kulit berwarna cokelat muda tanpa tali.
Tidak sekali dua, redaktur sastra koran cetak dan pemilik penerbitan bertamu dan menawarkan pengisian kolom sastra, puisi, dan kontrak penerbitan buku. Pun tidak sekali dua, lelaki tua itu menolak dan mengatakan: “Kolom di halaman koran, tidak akan membuatku sesantai ini, dengan alasan apapun! Dan, aku memiliki koleksi buku terbaik yang tidak pernah engkau terbitkan! Jadi, bukankah suatu kebaikan jika kedatangan engkau sekalian ke sini membawa kabar bahwa dunia menjadi milik kita?! Oh! Aku membayangkan itu saban hari! He-he…” Dan, begitulah, para tamu itu pulang dengan kekecewaan. Sementara itu, lelaki tua semringah dan kembali melakukan pengabdiannya dengan begitu santainya.
Namun, ada sekali waktu, ketika lelaki tua duduk di beranda rumahnya. Untuk kali ketujuh, matanya yang masih lincah dan tanjam, tertuju pada seorang anak perempuan, berbaju lusuh dan dekil, tampak berdiri di seberang jalan persis di hadapan rumahnya sembari menjinjing kotak kayu entah apa isi di dalamnya. Hari itu, langit tidak secerah wajah seorang nyonya gubernur yang baru saja menerima gajinya. Sinar matahari seperti beludru yang lembut dan halus. Muncul niatan dalam hatinya untuk mengundang anak perempuan itu. Orang-orang malang, pikirnya, adalah orang-orang mulia yang kehilangan waktu untuk merasakan dirinya sebagai manusia yang sama. Engkau, tidak boleh sekali pun mengejek dan menghardik mereka. Peliharalah dengan kasih dan sayang. Maka, engkau akan hidup!
“Nak? Hei… Nak? Kemarilah!” Kata lelaki tua memanggil anak perempuan itu.
Anak perempuan itu menoleh, kemudian menunjuk dirinya.
“Ya, engkaulah yang kupanggil. Kemarilah!”
Anak perempuan itu menghampiri. Sepasang kakinya yang kurus menapaki paving demi paving yang tersusun rapi. Ada bermacam-macam bunga bermekaran di vas bunga yang tergantung di tiang penyangga atau pagar pembatas beranda dan pekarangan yang tidak begitu luas itu. Anak perempuan itu berhenti, memejamkan matanya, mencoba merasakan bahwa ada rumah sederhana yang berdiri dan menyejukan bagi siapa pun yang bertamu ke sana.
“Engkau menikmatinya?” Tanya lelaki tua. “Aku dan mendiang Istriku menyukai bunga. Bahkan, ketika menyulam, mendiang Istriku takkan lepas dari bunga. Oh ya… silakan duduk!”
Anak perempuan itu semringah, kemudian duduk di lantai beranda.
“Oh! Aku tidak menyuruhmu duduk di lantai, Nak. Duduklah di kursi itu dan kita nikmati biskuit dan teh ini!”
“Tidaklah aku, Tuan…”
“Jangan panggil aku “Tuan”. Itu panggilan kotor yang harus engkau hapuskan. Duduklah di kursi itu!”
Anak perempuan itu duduk di kursi kayu berpunggung lebih tinggi dari punggungnya. Kursi itu tampak berumur dan engkau takkan melihat bekas pernis dan sebagainya di semua sisi. Dan, sembari malu-malu, anak perempuan itu menyantap biskuit demi biskuit. Lelaki tua itu semringah. Dalam hatinya, dia rindu mendiang anak perempuannya yang mati karena kanker otak. Akan tetapi, dia menepis kerinduan itu. Kehadiran anak perempuan ini telah menghiburnya. Mereka, tidak sekali dua, tertawa bersama. Apalagi, ketika lelaki tua itu menceritakan kisah bagaimana seseorang hendak mencuri bunga-bunganya tapi sialnya, bukannya mendapatkan bunga, mereka lari terbirit-birit karena mendengar gonggongan anjing tetangga. Hingga pada ujung cerita yang lain, lelaki tua menawarkan anak perempuan itu untuk tinggal di rumahnya, karena dalam pembicaraan yang sama, anak perempuan itu menceritakan semenjak ditinggal pergi orangtuanya, dia hidup di jalanan sebagai tukang semir.
“Seorang pemilik toko, paman jauh, menawariku tempat tinggal; gudang yang tidak begitu luas. Sebulan kemudian, aku memilih kabur dari sana. Karena, istri pemilik toko itu memperlakukanku seperti pesuruh. Saban hari, dia menyuruhku mengelel, menimba air, mencuci piring dan pakaian, bahkan memasak roti untuk anak lelakinya. Dan, engkau tahu, anak lelaki ini mencoba meraba-raba tubuhku! Karena itulah, ya… aku…”
Tiba-tiba anak perempuan itu menghentikan ceritanya dan menangis. Lelaki tua itu tidak memiliki hak untuk menanyakan mengapa atau menghiburnya. Dia membiarkannya begitu saja.
“Seorang petugas Dinas Sosial,” anak perempuan melanjutkan, “menyelamatkanku dari kelaparan. Dia seorang yang baik. Karena itu, dia membawaku menghadap kepada tuan kepala dinas. Dan, ya… sebagaimana layaknya anak-anak jalanan yang terlantar, mereka menawariku untuk tinggal di rumah penampungan yang dipenuhi anak-anak nakal. Beberapa hari kemudian, aku mengatakan bahwa aku tidak tahan lagi tinggal bersama anak-anak nakal itu. Mereka membujukku untuk tetap tinggal, tetapi aku bersikeras untuk pergi. Sikapku yang bersikeras itulah membuat petugas dinas sosial yang membawaku ke sana, naik darah dan menempelengku! Dia menempelengku karena aku tidak tahan dengan dunia yang mereka ciptakan. Aku tidak mengenal orangtuaku, bahkan mengingat wajah mereka sekipun! Aku yakin, mereka takkan berbuat demikian kepadaku!”
Lelaki tua itu tidak memiliki hak untuk menanyakan mengapa atau menghiburnya. Dia membiarkannya begitu saja. Dan, tawaran darinya untuk anak perempuan itu masih berlaku.
“Apakah engaku juga akan memperlakukanku demikian?!” Tanya anak perempuan itu.
“Katakan, bagaimana caranya aku bersikap seperti orang-orang dalam ceritamu?”
Anak perempuan itu diam saja.
“Aku memiliki satu jalan yang tidak perlu engkau tahu, Nak. Jalan itu kusebut jalan sunyi; jalan yang membuatku mengerti bahwa hidup adalah rentetan pesakitan belaka! Dan, aku benar-benar mengalaminya setelah anak dan Istriku meninggalkanku seorang diri di dunia ini. Katakan, bagaimana caranya aku bersikap seperti orang-orang dalam ceritamu, Nak?!”
“Bukankah engkau manusia seperti lainnya? Dan, setiap manusia memiliki emosi? Bagaimana engkau menjamin emosimu?!”
“Hanya orang-orang yang hidup begitu cepatlah, Nak, sesungguhnya yang akan gagal dalam segala hal. Bahkan, tidak jarang menjadikan kekerasan sebagai peredam emosi dalam diri mereka. Akan tetapi, setelahnya, mereka akan menyesal. Dan menyesal adalah wujud kegagalan manusia. Semua keputusan ada pada engkau seorang. Jika engkau menolak tawaranku, aku tidak memiliki hak untuk menggugat.”
“Aku akan mencoba, Tuan…”
“Sudah kuingatkan, jangan panggil aku dengan panggilan kotor itu? Jika engkau bersedia, hanya ada satu hal yang tidak boleh kau lakukan di dalam rumah ini, Nak. Jangan masuk ke dalam ruangan kerjaku.”
Anak perempuan itu mengangguk.
Tiga tahun kenudian, anak perempuan itu naik ke kelas enam sekolah dasar. Dia tumbuh menjadi anak perempuan yang cantik, terawat, dan berprestasi di antara anak sebayanya. Kini, dia tidak lagi bekerja sebagai tukang semir sepatu. Lelaki tua itu mengajarinya membaca buku, dari Nicolai Gogol hingga Pramoedya Ananta Toer. Dan, pada suatu waktu, di beranda rumah, dia menanyakan ke mana perginya “Inem” setelah hari terakhir dia datang ke rumah majikannya dulu kepada lelaki tua. Dan, sembari semringah, lelaki tua itu menjawab bahwa “Inem” dimakamkan dalam kepala Pramoedya Ananta Toer seorang.
“Mengapa begitu?”
“Dia yang menciptakannya, Nak. Sekali pun “Inem” disimbolkan sebagai kekalahan perempuan di tanah Jawa oleh adat dan kebudayaannya sendiri, hanya Pram seorang yang tahu ke mana pergjnya. Yang jelas, tidak mungkin ke Moscow atau Amerika.”
“Hm…”
“Besok, aku akan pergi. Engkau jaga rumah dan segalanya.”
Keesokan hari, lelaki tua melangkah dengan santainya meninggalkan rumah sederhananya dan hilang dalam gema lonceng gereja dan rentetan nama di cakrawala yang keluar dari toa tua di masjid. Setelahnya, anak perempuan itu mengambil air dan menyiram bunga-bunga yang bermekaran. Tiba-tiba, rasa ingin tahu membuatnya ingin melakukan sesuatu yang telah dijanjikan. Betapa pun, selama tiga tahun lelaki tua tidak pernah menceritakan kepadanya apa yang dia kerjakan selama ini dan sebagai apa. Rasa ingin tahu inilah yang membawa anak perempuan itu berdiri di pintu ruangan kerja lelaki tua. Dia mencari-cari celah untuk melihat ke dalam ruangan, tetapi tidak ada celah sesentipun. Pintu kayu itu begitu padat, sehkngga engkau takkan menemukan jejak seekor rayap pun di sana.
Namun selama ini, pintu itu tidak dikunci oleh lelaki tua, entah mengapa. Mengetahui itu, anak perempuan itu bergegas masuk ke dalam ruangan. Dan, lihatlah! Anak perempuan itu terperangah dan takjub melihat apa yang ada di sana. Dia menganggap ruangan itu adalah Surga pengetahuan milik lelaki tua. Anak perempuan itu meraba setiap sisi buku yang ada. Matanya liar melompat dari satu buku ke buku lainnya, hingga terhenti pada selembar kertas yang ada di mesin tik. Dia membenarkan posisi kertas itu dan membaca isinya. Dan, itu adalah stanza tentang dirinya. Dia berpikir, jadi selama tinggal di rumah sederhana itu, lelaki tua itu menulis tentang perjalanan mereka. Anak perempuan itu masih tidak percaya, bahwa selama ini dia hidup bersama seorang penyair. Bahkan, dia pernah menganggap bahwa lelaki tua adalah seseorang yang berlebih. Dia keliru. Setelah memeriksa dan meredam kebenaran tentang sjapa lelaki tua, anak perempuan itu beranjak dari meja kerja lelaki tua. Kini matanya tertuju pada sepasang sepatu kulit berwarna cokelat muda tanpa tali di rak dinding. Kemudia dia berpikir untuk membalas kebaikan lelaki tua.
“Aku akan mencari tahu berapa harganya!”
Menjelang tengah hari, anak perempuan itu pergi sembari menjinjing kotak semirnya yang dia simpan di kolong dipan tua. Dari kejauhan, terdengar terompet kereta berbunyi, seperti memanggil namanya. Dia mempercepat langkah kakinya, memburu waktu. Sedikut terlambat, para penumpang kereta akan pergi meninggalkannya. Sesampainya di stasiun, anak perempuan itu menawarkan jasanya kepada beberapa penumpang rapi dan klimis. Namun, tidak semudah itu. Hingga setengah jam kemudian, seorang lelaki paruh baya, tampaknya seperti seorang pengusaha, memanggil anak perempuan itu dan mengatakan bahwa dia membutuhkan jasanya.
Ketika anak perempuan itu mulai membersihkan debu di sepatunya, lelaki paruh baya berkata, “Sudah berapa lama engkau bekerja sebagai tukang semir, Nak?”
“Semenjak kabur dari pemilik toko yang menampungku.”
“Mengapa?!”
“Aku bukan babu.”
“Mereka memperlakukanmu seperti babu?”
“Betul, Tuan.”
“Dunia hanya milik orang-orang kaya, Nak. Ingat itu. Engkau harus menjadi kaya dan merdekakanlah mereka yang malang. Jangan berbuat hal yang sama. Ingat itu baik-baik! Apa engkau sekolah?”
“Betul, Tuan.”
“Bagus. Dan berapa harga yang harus kubayar?”
“10.000 rupiah, Tuan.”
“Ini, ambillah. Sisanya, gunakan sebaik mungkin.”
Anak perempuan itu semringah ketika menerima uang 100.000 rupiah dari lelaki paruh baya itu.
Dengan uang itu, dia akan membelikan tali sepatu untuk lelaki tua. Benar saja. Uang itu cukup untuk membeli selasang tali sepatu berwarna cokelat muda. Menjelang sore, dia pulang. Lihatlah! Betapa riang wajahnya. Akan tetapi, sesampainya di halaman rumah, dia memghentikan langkahnya ketika melihat lelaki tua duduk di kursi kayu, sepertinya tertidur. Jangan, jangan sampai kegahuan! Gumamnya. Dia pun berjalan perlahan-lahan, nyaris tak bersuara. Dan, meletakan kotak berisi tali sepatu sebagai hadiah untuk lelaki tua di atas meja; harap-harap ketika lelaki tua terbangun, dia akan terkejut dan senang mengetahui bahwa isi kotak itu adalah sepasang tali sepatu.
Sembari tersenyum manis, anak perempuan itu masuk ke dalam rumah dan beristirahat, hingga malam datang bersama desir angin dinginnya. Anak perempuan itu pergi ke beranda sembari membawa nampan berisi teh dan roti untuk lelaki tua. Lelaki tua tidur terlalu lama, mungkin karena kecapaian, sehingga dia belum membuka isi kotak itu. Melihat lelaki tua tidur tersenyum, anak perempuan itu menerka-nerka apa yang sedang dimimpikan lelaki tua. Akan tetapi, ketika dia mencoba membangunkan, lelaki tua tak kunjung bangun. Bahkan, sekali pun anak perempuan itu mengusap wajah lelaki tua. Dia menjadi ketakutan dan lari begitu saja mencari bantuan kepada tetangga.
“Tuan, Tuan. Tolong. Tolonglah aku!” Kata anak perempuan itu kepada dua orang tetangganya yang asyik menyeruput kopi. Melihat anak perempuan yang ketakutan itu, sontak keduanya segera mengikuti.
“Tuan, Tuan. Tolong bangunkan lelaki tua ini. Sejak tadi aku sudah mencoba, tetapi dia tetap tidak mau bangun. Tolonglah!”
Salah seorang tetangga memeriksa denyut nadi lelaki tua, tetapi nihil. Tidak ada sedenyut pun dirasakannya. Lelaki tua sudah mati. Anak perempuan itu merasakan tulang-tulang dalam tubuhnya melemah, sehingga membuatnya terperanjat ke kursi. Kemudian menangis, sejadi-jadinya. Bagaimana pun, tali sepatu yang dia beli telah diselip maut. Dan, bagaimana pun, lelaki tua, penyair, memiliki jalan bercabang dalam jalan sunyi miliknya. Dia harus memilih. Jika tidak, maut akan datang kemudian. Dan, lelaki tua tidak sempat memilih karena dia bahagia memiliki teman hidup, anak perempuan angkatnya. Kini tinggallah anak perempuan itu seorang diri di rumah sederhana 1000 kaki dari Jembatan Merah, Surabaya, milik nyonya gubernur yang melecehkannya.
Surabaya, 2021.