kepadapuisi.blogspot.com
SISYPHUS
Sisyphus mendorong batu ke puncak gunung
dan batu kembali ke jurang menggelundung.
Bolak-balik beribu tahun: beribu tahun
kau mendaki dan tergelincir, jatuh dan bangun.
Jatuh dan bangkit di Babil, Sodom dan Gomorah
Auschwitz, Hiroshima-Nagasaki dan Vietnam.
Dan dari dasar derita, dengan nafas tersengal
kau berseru ke langit, “Apakah artinya ini?”
Langit menjawabmu dengan biru, dengan bisu.
Kau pun bangkit lagi; pucat, berdebu dan luka
kembali mendaki dan memandang Angkasa. Mungkin
itulah artinya: Payah dan luka kau tak tunduk.
1974
AHIM, PENGANGKUT SAMPAH
“Selamat pagi, Pak. Ngantor?” demikan sapanya
pagi itu, saat kemarau menggugurkan daun-daun mahoni
“Selamat pagi,” jawab saya seperti saya juga pernah
menjawab tegur sapa kakeknya tiga puluh tahun yang lalu.
Generasi ketiga, bagai generasi daun-daun mahoni
akan jatuh ke bumi dengan cara yang sama;
jadi pupuk, hanya jadi pupuk semata. Demikian
bagimu Ahim tiada kemarin-tiada esok hari.
Tujuh belas tahun bangku sekolah, satu perpustakaan
mungkin dapat mengubahmu jadi manusia; dan kau
diterima sejarah. Namun kesempatan itu telah hilang
dalam hidupmu hari ini, bawah timbunan sampah ini.
1986
PAK GURU ACIL
Bagai pohon ranggas pada usia dua delapan
Guru Acil tegar berdiri di depan kelas.
Dengan sabuknya ia kendalikan perut lapar
yang sudah menggerutu pada pukul sebelas.
“Anak-anak, buka mata dan lihat dunia!” serunya
pada para siswa yang berjajar duduk
di kelas berlantai tanah dan beratap ijuk.
“Anak-anak, kuajar kalian menulis masa depanmu.”
Di sudut Indonesia yang tak terlukis dalam peta
Guru Acil membariskan siswanya menghadap matahari;
berjalan di tanah berbatu dan tersandung-sandung
bagai tentara ia nyanyikan “Halo-halo Bandung”.
1985
DEWI SARTIKA
Kuntum yang berkembang dalam sepi
Di pinggir jalan tempat sejarah lewat
Akankah ia hanya menyebar wangi
Pada angin lalu, pada masa lalu semata?
Tidak!
Gadis-gadis telah menyimpan benihnya
Menyemai dan menyiraminya dalam kalbu
Dan di bawah lengkung langit, di seberang fajar
Seribu, sejuta lagi akan kembali mekar.
1993
MARSINAH
Jangan lupakan saya, jangan disobek
lembar sejarah yang bersimbah darah.
Saya mati dan makin dalam terkubur waktu,
namun ingat. Saya tak pernah menyerah.
Tak pernah mengalah. Karena tanpa perlawanan
hidup tanpa martabat. Tanpa keadilan
adakah yang bernama kemerdekaan? Kemerdekaan,
wahai kata yang terhapus dari teks proklamasi.
Jangan lupakan saya: Marsinah. Jadikan saya
tumbal bagi putra-putrimu, saudari-saudarimu
bahkan ibu-kandungmu, agar tak lagi
mereka boleh disiksa, diperkosa, dan dibunuh.
1997
PARTHENON
Sia-sia. Betapapun mata khayal mencoba
membangun kembali kemegahan kuil dari puing-puing ini,
perang dan gempa bumi menetapkan
bahwa abad-pualam para dewa telah pergi.
Pergi. Segala mambang jelita dan pangeran cendekia,
dengan kapal penghabisan telah angkat sauh
dari Laut Aegea ke Negeri Kenangan. Tinggal kita
terpencar-pencar di pantai waktu.
Mengembara mencari dewata baru, namun tak mampu
mempersembahkan iman kanak-kanak yang murni; tak mampu
mendirikan Parthenon baru, karena menolak setiap pilar
setiap penopang lain, kecuali tangan dan kaki sendiri.
1968
Saini K.M., lahir di Sumedang, Jawa Barat, 16 Juni 1938. Menyelesikan pendidikan kesarjanaannya di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Keguruan Sastra dan Seni Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Bandung. Naskah dramanya yang mendapat hadiah Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Pangeran Sunten Jaya (1973), Ben Go Tun (1977), Serikat Kaca Mata Hitam (1979), dan Sang Prabu (1981). Naskah dramanya yang lain, Kerajaan Burung (1980) dan Kalpataru (1981) mendapat hadiah Direktorat Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sebuah Tumah di Argentina (1980) mendapat hadiah Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa DKI Jaya, dan Ken Arok (1985) mendapat hadiah Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1991). Naskahnya yang lain, Pengeran Geusan Ulun (1963), Siapa Bilang Saya Godot (1977), Restoran Anjing (1979), Panji Koming (1984), Syekh Siti Jenar (1986), Dunia Orang, Mati (1986), Madegel (1987), dan Orang Baru (1988). Kumpulan esainya, Beberapa Gagasan Teater (1981), Dramawan dan Karyanya (1985) serta Teater Indonesia dan Masalahnya (1988). Kumpulan puisinya, Nyanyian Tanah Air (1968), Rumah Cermin (edisi 1, 1979), Sepuluh Orang Utusan (1989), dan Rumah Cermin (edisi 2, 1996). Sajak-sajaknya telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Prancis, dan Jerman. Saini sempat mengasuh kolom “Pertemuan Kecil” di harian Pikiran Rakyat. Kumpulan esai dan bahasannya dalam “Perteman Kecil” telah dibukukan dalam Puisi dan Beberapa Masalahnya (1993). Atas jasanya menumbuhkan kreativitas kepenyairan di kalangan penyair muda, mendapat Anugerah Sastra dari Forum Sastra Bandung (1994). Tahun 1995-1999, pendiri Jurusan Teater Akademi Seni Tari Indonesia, Bandung, ini menjabat Direktur Direktorat Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.