Sajak-Sajak Mario F. Lawi

Jawa Pos, 14 Feb 2021

Corpus Catullianum 64

Cerita kita kali ini bergerak dari ruang tengah,
dari sehelai seprai di ranjang pernikahan,
atau motif permadani yang diinjak para tamu ilahi.

Seorang Lesbia menanti Catullusnya di luar labirin,
membayangkan labirin telah ditaklukkan kekasih hati,
dan Minotauros yang menunggu di dalam labirin
telah memakan habis para lelaki pemujanya.

”Benangmu, Lesbia,” kata Catullus, “berikan padaku!”
“Ini, ambil juga hatiku,” ujar si perempuan, menyodorkan.
Minotauros kalah, kau tahu pasti.

Tetapi ini yang mungkin belum kau ketahui:
Tidak sulit bagi seorang penyair-pengkaji untuk memahami
seluk-beluk labirin, untuk tahu jalan mana yang tepat
mengantarnya kepada sebuah penemuan, bagian mana
yang hanya berupa jebakan dan tipuan. Telah ia pahami
rahasia-rahasia terdalam Daidalos. Di tengah labirin,
bertemulah ia dengan si tertawan sekaligus si penjaga.

“Ada satu jenis luka, makin dalam justru makin melenakan.
Ada satu jenis api, makin membara, makin terasa nikmatnya.
Ada satu jenis penyakit, makin diobati makin hebat gejalanya.
Jawabanmu menentukan hidup dan matimu di sini,”

Demikianlah Minotauros menyampaikan teka-tekinya
tepat ketika ia lihat si pembaharu berhenti di hadapannya.

“Telah kubiarkan Cinta melukaiku, dan kusampaikan
terima kasihku, karena dari luka-lukanya hatiku menjadi
kian kuat dan bergelora. Telah kubiarkan Ia membakarku,
mengambil seluruh hasrat yang ada padaku, agar yang tersisa
tinggal kemurnianku, emas terakhir untuk kekasihku.

Aku demam di malam hari, dan gelisah di siang hari.

Kucari kekasihku dan kubawa dirinya ke sisiku, gelisahku
kian bertambah, demamku justru kian membara. Tak mungkin
cinta meletakkan anak panah-anak panahnya di hadapan
sepasang kekasih,” jawab penyair kita dengan meyakinkan.

Jawaban tersebut pun disusul oleh gemuruh hebat,
dan diikuti oleh berguncangnya tembok-tembok labirin.

“Keluarlah menuju kekasihmu, biar aku jadi bagian dari
akhir labirin ini,” ujar Minotauros.

Catullus pun dengan agak tergesa keluar sambil
menggulung benangnya. Di sanalah, di atas lantai pualam
ciptaan Daidalos, Ia lihat Ariadnanya telah berdiri menantinya.

Tak seperti Theseus pertama, Ariadna ia dekap sepenuh hati,
meski ia tahu, di labirin lain bernama Cinta itu,
mereka tak mungkin bersama selamanya.

Corpus Catullianum 67

“Di dalam benteng,
si wanita menunggu
seseorang manusia
membawanya pergi.”

Demikianlah warta yang terdengar
ke sepenjuru wilayah,
tetapi diminumnya juga darah
setiap lelaki yang mendekat
dengan hasratnya
dan mengabaikan cara
memperlakukan si wanita
sebagai manusia.

Di dalam mata setiap lelaki
yang ditemuinya, tak ia dapati
bayangan dirinya, atau setitik api
yang mampu menghangatkan
penantiannya, atau kerlip bintang
pemandu dari ufuk harapan.

Sebelum kau menuduhnya melalui
kesaksian sehelai pintu, Penyair,
atau cepat merasa yakin pada susunan
warna lantai mozaik rumah para sahabat,
dengarkanlah sendiri ceritanya,
baui segala amis yang menyerbak
dari luka-lukanya yang membusuk.

***
MARIO F. LAWI, bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora, NTT. Menulis puisi dan sesekali menerjemahkan, terutama puisi-puisi para penyair yang menulis dalam bahasa Latin.

Leave a Reply

Bahasa »