Nirwan Ahmad Arsuka
“Mathematic is the Poetry of Science” — baris rumusan ini terpampang sebagai judul buku terbaru Cedric Villani, politikus Perancis dan matematikawan penerima Fields Medal pada 2010. Baris itu dipinjam Cedric dari penyair Senegal yang dihormati sebagai salah satu pelopor besar gerakan sastra Negritude, dan pernah memangku jabatan presiden pertama tanahairnya, Léopold Sédar Senghor. Terbit tahun lalu, buku tipis ini agaknya tak sempat dibaca oleh Sapardi Djoko Damono. Mungkin juga tak terlalu perlu.
Meski tipis, hanya 84 halaman termasuk indeks, buku Cedric Velliani menghimpun banyak bahan yang menarik dari khazanah sastra dan sains, khususnya matematika. Tapi terasa bahwa buku ini masih berusaha meyakinkan pembaca bahwa matematika memang adalah puisi dari sains, bahwa ada hubungan yang analogis antara puisi dan matematika.
Sejak dekade 1970-an, Sapardi agaknya sudah tahu hubungan yang esensial, bukan sekedar analogis, antara puisi dan matematika. Itu sebabnya ia sudah tak perlu diyakinkan siapa pun tentang hubungan rapat antara ke dua wilayah yang tampak berseberangan itu. Dan setidaknya sejak dekade 1980-an, Sapardi sudah melangkah lebih jauh dengan menunjukkan bahwa “Mathematic is the Science of Poetry”, lebih tepatnya: geometri adalah pembentuk puisi (sila baca Mata Puisi, No. 8 Tahun I, Desember 2020).
Sayang sekali Sapardi sudah meninggalkan kita setahun yang lalu, 19 Juli. Jika tidak, ia sangat pantas diusulkan menerima Hadiah Nobel untuk sastra. Karyanya tak hanya menunjukkan “outstanding work in an idealistic direction.” Puisi-puisi Sapardi, menurut saya, sangat penting di masa depan karena sanggup jadi jembatan antara kecerdasan manusia dengan kecerdasan mesin tingkat tinggi. Sajak-sajak terindah Sapardi sangat mampu membantu artificial intelligence itu belajar menyusun puisi yang bermakna.
Link terkait: http://sastra-indonesia.com/2021/07/sapardi-geometri-dan-memori/
One Reply to “SAPARDI, GEOMETRI DAN NOBEL”