—Gagasan dari Yang Tak Pernah Terselesaikan—
Menulis memang sebentuk kerja sunyi yang menghadapi diri sendiri. Menghayati kesendirian dengan kesunyian, melahirkan tulisan-tulisan bagus. Di balik kesepian dan kesendirian, penulis menangkap pelbagai hal, indah dan memasuki ruang tafsir yang plural. Ia menangkap suara-suara dari keasingan, dalam kesunyian ia mendengar suara yang jauh, muskil sekalipun. Jadilah ia tulisan, terbentang, dan dimasuki dari mana pun. Sebagaimana tulisan Fatah Yasin Noor. Ia membentang. Ia bisa dimasuki dari mana pun, kapan pun. Ia bebas. Ia tak terikat. Ia merenungi ribuan obyek dan memantulkan kembali catatan-catatan itu ke dalam subyektifitasnya. Pantulan itu menjadi tulisan yang memancar. Maka lihatlah hal-hal menarik yang tertata rapi, indah, dan hikmat, syahdu. Terdapat puluhan persoalan dan sesuatu dalam satu paragraf.
Namanya dikenal dengan Fatah Yasin Noor. Dia orang tua. Baik dari usia maupun kematangan. Entah kematangan apa. Tapi dia tidak mau dianggap tua. Meski giginya sudah tidak begitu kuat lagi mengunyah makanan, tapi rambutnya tidak sehelai pun uban. Padahal usianya lebih setengah abad. Dipanggil banyak kawan dengan panggilan Kang Fatah atau Mas. Tentu saja, ia tokoh sastra Banyuwangi yang menarik. Puisi-puisinya mashur dalam antologi nasional API (Angkatan Penyair Indonesia, 1998). Esai-esainya bagai nyanyian, mengusung sesuatu yang nyaris tak tertangkap publik. Puisi-puisi tunggalnya terkumpul dalam “Gagasan Hujan” (PSBB, 2003), “Rajegwesi” (PSBB, 2009). Kumpulan catatannya yang unik dan panjang terkumpul dalam “Seribu Jalan Raya” (PSBB, 2011). Boleh jadi, Kang Fatah itu “suhu”-nya sastra di Banyuwangi. Suhu yang tekun dan konsisten merangkai huruf. Tulisannya tersebar di media-media massa nasional dan lokal, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Majalah Budaya Jejak, Bali Post. Puisinya yang di muat pada koran Bali Post itulah yang menarik—setidaknya bagi saya, lantaran Bali Post waktu itu dijaga oleh Umbu Landu Paranggi, semua puisi harus melewati dia, dia yang berhak menyatakan puisi-puisi layak atau tidak layak dimuat di Bali Post. Dan puisi Fatah Yasin Noor lolos di situ. Pada 1979, esainya yang kritis berjudul “Film Nasional, Sebuah Tanggapan” dimuat media sastra legendaris dan pertama kali di Banyuwangi, Kertas Budaya Jejak besutan alm. Pomo Martadi dan Hasnan Singodimayan.
Fatah menempuh pendidikan menengah dan pendidikan tinggi di Yogyakarta. Boleh jadi, tradisi berpikirnya terbangun di sana. Di Banyuwangi, nyaris media sastra tak lepas dari tangan dinginnya. Pimred jurnal Sastra-Budaya Lembaran Kebudayaan, pernah mengomandani kelompok budayawan dan seniman yang menolak DKB di tahun 2002. Fatah beserta gerbong para budayawan “bawah tanah” mendirikan DKB-Reformasi sebagai lembaga tandingan bagi DKB “pemerintah” bergaya Orba waktu itu. Gerak kebudayaan yang dikerjakan sastrawan nyentrik ini tak bisa diremehkan. Terbukti “gerbong” DKB-R produktif melahirkan karya-karya berkualitas dan secara berkala melakukan kajian sastra serta penulisan sejarah Banyuwangi.
Pada 1998, Fatah menjadi salah satu “dedengkot” kelompok muda menghadirkan alm. WS. Rendra di Gedung Wanita, Banyuwangi, dalam peluncuran buku puisi penyair Jawa-Bali, “Cadik”. Sehari sebelum tumbangnya Soeharto! Di tahun itu, bukan main-main. Mengadakan kegiatan sastra yang kritis berhadapan dengan aparat. Dengan sikap yang nyentrik, Fatah dapat “melewati” interogasi perihal perizinan kegiatan dari petugas militer dengan cerdas tanpa gejolak. Fatah Yasin Noor bersama Komunitas Selasa menerbitkan Majalah Sastra Jejak. Di tahun itu juga, Fatah bersama penyair dan budayawan lain mengemukakan sikap anti kekerasan menyikapi peristiwa “santet” Banyuwangi.
Sastra Fatah Yasin Noor menampilkan dunia imajiner yang terpotong-potong dalam rangkaian yang utuh. Diksi-diksi sepi dan sublim, tenang, dan transendental mengental dalam puisi-puisinya. Seperti kopi. Dan Fatah memiliki kemampuan bercerita yang menakjubkan, walaupun dia tak pernah menyelesaikan sebuah cerita. Irama puitis dalam tulisan-tulisannya bagai sumur yang tak kering dari makna terjauh rasa manusia dalam melewati realitas. Rangkaian diksinya membawa kita pada kedalaman permenungan yang agung, alegoris, aliteratif.
Kini dia tetap aktif menulis di layar androidnya yang canggih. Ia bagai menampilkan sastra dalam belantara dunia maya. Tapi tidak pusing. Ia menyampaikan keyakinannya, sastra perlu disiarkan pada media apa pun sesuai perkembangan zaman. Katanya, “derajat” atau kualitas sastra tidak serta merta ditentukan pada media apa yang menyiarkannya. Tapi terletak pada kekuatan karya itu sendiri, di mana teks harus diletakkan pada ruang publik untuk kemudian dapat dinikmati, diperbincangkan bersama dan oleh siapa saja. Waktulah yang akan menguji. Tak ada yang “sampah” kecuali “sampah”, katanya. Ia tidak sibuk mempersoalkan tata letak, apakah itu “pusat” atau “non pusat”. Sastra harus ditulis dan dikemukakan untuk diperbincangkan sambil minum kopi atau sambil menyikat gigi di kamar mandi. Pada ruang dan waktu yang lain, ia adalah ibadah bagi seseorang, bisiknya.
Fatah Yasin Noor pernah bertanya kepada saya; “Gimana apa sudah yakin jadi penulis?”. Pertanyaan yang wajar. “Sebab,” lanjut Fatah, “penulis itu harus punya ‘hidup’ yang tidak harus dari tulisan. Kalau tidak, repot hidup di negeri di mana tulisan jadi bungkus kacang,” ujarnya sambil mengepulkan asap kretek dari bibirnya. Tapi diam-diam sambil tertawa cekikikan.
Tokoh sastra Banyuwangi ini bagai tak pernah lepas dari teks dalam kehidupannya sehari-hari. Ia hidup di Singotrunan, berjualan kerupuk, dan menulis. Tentu saja, berdiskusi dengan orang ini menarik dan mendebarkan. Wawasannya luas, canda dan celetukannya khas dan mengusik, bicara tanpa tedeng aling-aling gagasan-gagasannya menyegarkan, pendapatnya mencengangkan dan nyeleneh karena ia selalu memikirkan narasi-narasi tak lazim mendobrak mitos umum yang jumud. Ketawanya renyah dengan gigi yang tak lagi genap, apalagi kalau mendengar humor-humor satir dan sederhana.
Fatah Yasin Noor, sang “penggagas hujan”, sebagaimana tersebut dalam teks puisinya yang liris “Gagasan Hujan”. Kini tokoh sastra yang satu ini, rajin minum kopi di pantai Cacalan atau di kafe-kafe kecil milik kawannya di Banyuwangi. Menghisap kretek bersenjatakan android, ia menulis sastra dan tulisan-tulisan lain, memasuki pikir dan rasa, dan asiknya menjadi manusia biasa.
***
Seseorang yang bernama Samuel Beckett menulis sebuah novel dengan sebatang pensil. Novel yang ditulis Beckett itu panjangnya sepanjang pensil pendek yang digunakan untuk menulis ceritanya. Ketika pensil habis, maka novel dinyatakannya selesai, walau teks terhenti pada kalimat dan tema cerita yang tidak usai, mungkin juga tak utuh. Dan Beckett tidak pernah akan menyelesaikan ceritanya. Biarlah ia menjadi karya. Sudahlah. Absurd, “main-main” yang mendalam yang sesungguhnya tidak main-main, sebentuk perayaan tekstual. Sastra adalah “dunia main-main” yang tidak main-main, ujar Budi Darma.
Pun kurang-lebih hal itulah yang mendasari lahirnya buku “Seribu Jalan raya” karya Fatah Yasin Noor, judul buku diberikan kawannya, seorang sastrawan dan penerjemah sastra Dwi Pranoto, yang sempat membaca beberapa potong tulisan Fatah sebelum diterbitkan. Khas Fatah yang menegaskan jati diri kepenulisannya selama puluhan tahun. Tema-tema keluar-masuk dalam ruang kreatifnya. Ribuan tema tidak dipilih atau ditimbang-timbang untuk kemudian dituang dalam bentuk tulisan sastra. Tapi ribuan tema yang berlalu lintas pada ribuan “jalan raya” kreatif yang luas itu, hanya dipantulkan oleh Fatah bagai kaca spion kendaraan yang memantulkan bayangan benda-benda atau cahaya. Sastra imajinatif dan non-imajinatif berbaur begitu indah untuk saling menguatkan bangunan teks. Setidaknya antara fakta dan fiksi menjadi sedemikian tipis batas-bedanya, bagai novel-novel Gabriel Garcia Marquez. Pantulan itu dituang menjadi teks. Tema-tema menjadi beragam, kaya, acak namun tersusun dengan cara pengungkapan yang memukau, renyah, pelan, kadang terburu, sunyi, kontemplatif. Hingga di beberapa susunan teksnya—mungkin secara tak tersadari, menjadi menakjubkan. Kolaborasi fakta dan fiksi terasa cantik dan menarik, keduanya saling bermata rantai dan saling mempengaruhi, sehingga menimbulkan sesuatu yang baru, bagai komposisi Johann Sebastian Bach.
Demikianlah. Bentuk tulisan sudah tidak begitu penting. Meski tetap berjalan di atas pedoman-pedoman yang samar. Tapi proses kepenulisan dan irama teks itu sendirilah esensi yang menubuhkan bentuk lain yang bebas diberi atasnama bentuk. Ia menjadi multidimensi dan plural dari benda-benda yang dipantulkannya. Silakan memasuki buku “Seribu Jalan Raya” pada halaman berapa pun, dijamin tidak akan terlepas dari tema yang sedang berjalan dan keutuhan teksnya. Ia utuh untuk mewakili ketidak-utuhan tema, ia adalah spion kendaraan, jendela menengok, absurditas yang mencoba menubuhkan diri ke dalam bentuk lentur yang tergunting-gunting.
Menulis bagi Fatah, sebagaimana dicatatnya di tahun 1995, sebagai berikut:
“… Di saat sebuah dorongan menulis hanya berangkat dari kesenangan menulis itu sendiri, di mana segala pembicaraan bisa dimulai dari mana saja tanpa ada sebuah perencanaan apa pun. Karena mempertimbangkan nilai pada diri sendiri berakhir pada pilihan yang tunggal, yakni harus menulis itu sendiri. Tapi, menulis hanya untuk orang-orang yang perkasa dalam kesedihan dan kesepian dirinya sendiri. Manusia-manusia yang memiliki kesadaran yang tinggi sekaligus membenamkan dirinya ke dasar kepedihan selamanya. Kita bisa bilang itulah pengembara sepi yang baik, yang benar, yang menegaskan tekat lewat kata-kata. Catatan ini nampaknya akan menjadi pengendapan pengalaman dan cita-cita, kalau memang karya yang menentukan kebesaran seseorang, maka karya adalah panglima. Karya sastra yang baik ditulis oleh pengarang yang telah teruji memiliki kekayaan pengalaman dan pikiran yang terbuka…”.
Ia menarik kesedihan ke dalam kesyahduan, menangkap denyar-denyar kata yang berguguran dari langit kesunyiannya, ditumpahkan ke dalam huruf-huruf. Fatah lincah melompat-lompat. Ia bersijingkat di antara hujan. Kadang-kadang terdapat sebentuk kisah yang mengejutkan dalam tulisan Fatah, yang tak terpikirkan sebelumnya.
“Seperti air yang akhirnya meresap ke dalam tanah. Bau tubuhku tak seasin garam. Aku tak sampai ke laut. Hanya ikan-ikan kecil yang sempat menghampiriku. Ikan besar tak mau menghampiriku. Sebab aku bukan santapan yang enak bagi mereka. Hanya ikan kecil yang menghampiriku, karena aku sangat bersahabat dengan mereka. Perempuan adalah ikan salmon, kulitnya licin dagingnya gurih…”.
Begitu mungkin bagi Fatah, membawa imajinasi ikan di lautan yang bernama ikan salmon itu pada tubuh seorang perempuan. Di sinilah sastra menunjukkan keserba-mungkinan tekstual.
Buku ini adalah buku pertama yang ditulis oleh Fatah Yasin Noor di samping beberapa antologi puisi tunggal yang telah diterbitkan Pusat Studi Budaya Banyuwangi sebelumnya. Fatah adalah sastrawan yang teks-teksnya memiliki pengaruh. Selamat membaca.
Banyuwangi, 2012-2021
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.