Suara 12

Taufik Ikram Jamil *
Koran Tempo, 19 Okt 2014

MENUNGGU suara, hampir tak ada yang dapat mereka lakukan selain berbuat demikian. Sesuatu yang akan menjadi asbab keselamatan mereka secara paripurna—bertemu lagi dengan anak isteri, sanak-saudara, kawan-kawan, dan segala hal yang menyenangkan. Sesuatu yang telah membuktikan bagaimana langkah-langkah keselamatan tersebut telah dibuat.

“Tapi sudah lama sekali, mengapa suara itu tak terdengar juga,” kata Ihsan, satu dari empat orang warga yang hidupnya sudah di ujung tanduk. Tiga dari warga lain, yakni Nanung, Togar, dan Bilah, tidak menyahut perkataan Ihsan yang hampir terdengar sebagai keluhan.

Agaknya, oleh karena kalimat itu juga yang diucapkan Ihsan berkali-kali, Togar pun berujar, “Mungkin suara itu ada urusan yang mendesak, yang tak dapat ditinggalkan, mendadak lagi.”

“Urusan?” Ihsan balik bertanya.

“Ya, barangkali,” jawab Togar.

“Urusan kaubilang?”

“Dengarmu, apa?”

Ihsan tak menjawab pertanyaan itu.

“Bisa saja. Mungkin saja, setelah meletakkan kita di sini atas tuntunan suara itu, yang bersangkutan harus menyelesaikan sesuatu yang mendadak dan mendesak pula. Seperti kita dulu. Ada-ada saja yang menyita waktu kita, sampai kadang-kadang kita lupa dengan satu atau dua urusan,” jelas Nanung.

“Ah, tak mungkin itu,” sambut Bilah. “Tak mungkin suara tersebut berbuat demikian. Ia atau dia barangkali, harus memerioritaskan kita. Kita dalam keadaan yang berbahaya sekali, tidak tahu berada di mana dalam keadaan gelap yang luar biasa pula,” sambungnya.

“Pakaian yang telah kering di badan, dengan rasa lapar dan haus yang demikian tinggi, belum lagi nyamuk yang dua kali sekejap menghisap darah, wah… Kita memang harus didahulukan dari yang lain. Usah payah-payah, tuntun saja kita ke tempat yang ada orangnya, ke suatu tempat sebagaimana ia telah membawa kita ke sini,” balas Ihsan.

“Entahlah, malas bertengkar dengan kalian,” kata Togar.

“Ini bukan bertengkar, tetapi membicarakan bagaimana ada pihak yang sampai hati menyuruh kita menunggunya dalam keadaan parah semacam itu,” Bilah tak mau diam.

“Ya, usah ditunggu kalau begitu,” sambut Togar.

“Duh. Kalau saja aku dapat melihatmu, mau rasanya aku tinju moncongmu itu,” umpat Bilah.

“Hehehe…”

“Ketawa lagi!”

“Habis, bagaimana lagi kawan. Menunggu inilah yang pasti, sementara kita memang tak bisa berbuat lain. Nasib orang menunggu, memang begitu. Apalagi kalau kita dalam keadaan jauh dari normal semacam ini. Menunggu pacar yang cantik molek saja akan terasa berjam-jam, padahal waktu yang dilewati dalam menunggu itu hanya sepuluh menit. Betuk tak?”

SEPI lagi, tetapi masing-masing dari mereka memasang telinga lebar-lebar, mana tahu suara tersebut menjelma, suara yang mengarahkan mereka untuk bergerak, menuju keselamatan. Dalam posisi duduk di atas tanah, selain menunggu suara itu, tak ada lagi yang mereka tahu tentang keadaan diri dan lingkungan mereka. Malahan, mereka tidak tahu, di mana sebenarnya mereka berada—di ruangankah atau di sebuah tempat terbuka. Dalam gelap yang amat sempurna, mereka juga tidak dapat melihat diri mereka sendiri, apalagi memandang sesamanya.

“Kenapa lama sekali ya…” ujar Bilah.

“Nanung, Nanung. Mengapa engkau tak bicara?”

Yang ditanya hanya mendehem.

“Engkau sakit?”

Mendehem lagi.

“Ah…,” Ihsan mengeluh panjang.

Togar berpura-pura batuk seperti hendak menyetel suaranya. “Sekarang masih untung,” katanya parau.

“Masih untung kau bilang?” tanya Ihsan.

“Entah macam mana orang ini berpikir. Seperti ini masih dikatakan untung? Untung apanya?”

“Setidak-tidaknya ada yang kita tunggu. Ada sesuatu yang jelas kita tunggu, meski bukan wujud yang kita kenal sehari-hari. Hanya suara, ya hanya suara yang dengannya kita merasa lebih tenteram,” jawab Togar.

“Duh…”

“Bayangkan saja ketika kita tergapai-gapai di laut, lebih dari dua hari. Memang kita menunggu, tetapi yang kita tunggu itu tidak jelas. Kita menunggu, ada sampan atau kapal atau apa sajalah namanya yang menyelamatkan kita. Tetapi apa?” Kisah Togar.

Dia mengatakan, tidak sekali dua kapal tanker lewat dalam pandangan mereka. Tetapi awak kapal-kapal besar itu seperti tidak peduli dengan keadaan mereka yang terkatung-katung di laut luas. Lambaian, teriakan, dan entah apa lagi yang mereka lakukan untuk mengambil perhatian manusia di dalam tanker, sama sekali tidak berbalas sedikit pun. Mungkin benar juga, awak-awak sejumlah tanker itu tidak melihat mereka, sehingga lewat begitu saja, tetapi jelas bahwa penungguan mereka yang tak pasti itu pun berakhir dengan ketidakpastian pula.

Suatu malam yang gelap tanpa bintang, tanpa cahaya, tiba-tiba mereka mendengar suara. Suara itu mengatakan agar mereka saling berpegang sambil berenang pelan-pelan, kemudian mengikuti suara dalam bimbingan satu kalimat, “Terus… terus… terus dan terus…”

Tak ada keraguan sedikit pun, juga terhadap tenaga mereka yang sudah hampir habis, tetapi masih diminta untuk tetap bergerak—berenang pelan-pelan. Tapi pasti mereka menjangkau suatu tempat yang mungkin tidak di laut, entah berapa lama kemudian. Sepakat mereka mengakui bahwa harapan hidup tentu jauh lebih besar di tempat itu, dibandingkan ketika mereka masih berada di dalam lautan. Mereka bisa bernapas seperti biasa, pun bergerak sebagaimana lazimnya, jelas sebagai sesuatu yang berlawanan dari kondisi sebelumnya, kondisi di dalam laut.

“Jelaslah suara itu memberikan kita harapan hidup lebih besar dibandingkan sebelumnya. Kemudian ia meminta kita menunggunya agar harapan besar tersebut menjadi kenyataan. Ini masih beruntung namanya. Coba saja kalau suara itu tidak muncul, bisa-bisa harapan kita pun menghilang bersama napas dan tenaga kita yang ditelan oleh waktu,” jelas Togar.

DENGAN harapan yang tercipta bersama suara itu, tentu tidak berlebihan kalau mereka berempat membayangkan kembali berada di kampung, bertemu dengan sanak-saudara dan handai-taulan sekalian. Mereka pun akan menjalani hari-hari biasa sebagai bapak dari sejumlah anak, tentu pula sebagai suami dari seorang perempuan. Mencari nafkah, bergaul, dan segalanya, sebagaimana yang mereka tempuhi selama ini.

“Tapi aku tak akan buat pekerjaan ini lagi. Cukuplah sudah,” kata Ihsan.

Pernyataan Ihsan tersebut mengambang begitu saja, sebab tak seorang pun di antara mereka yang memberi komentar—apakah mengiyakan atau menyanggah. Padahal, sejak bujang-bedengkang lagi, mereka bekerja dalam satu tim, menyelundupkan apa yang bisa diselundupkan ke Malaysia. Istilah orang setempat adalah semokel, diserap dari istilah Belanda smokkel.

Hasil hutan, rokok, sudah menjadi barang biasa untuk pekerjaan ini, sempat juga mereka membawa bensin dan solar. Pulang dari tanah besar itu, mereka tak hanya membawa pakaian bekas, tetapi juga beras, bahkan semen yang harganya lebih murah dibandingkan di kampung mereka sendiri. Suatu pekerjaan yang memberi faedah besar bagi orang kampung karena jaminan ketersediaan barang-barang keperluan sehari-hari dengan harga yang mereka inginkan yakni lebih murah dibandingkan dengan barang-barang serupa dari tanah Sumatera.

Dengan berbagai cara, mereka selalu sukses menjalankan pekerjaan itu. Tapi untuk tak dapat diraih, malang memang tak dapat ditolak. Dalam perjalanan menggunakan pompong sekali itu, menjelang subuh di perairan internasional dalam kawasan Selat Malaka, alat angkutan mereka yang membawa kayu, dihantam gelombang besar, memuntahkan semua isi pompong, bahkan mereka sendiri. Dalam kegelapan, tak ada yang dapat mereka raih kecuali mengandalkan tenaga sendiri untuk tidak tenggelam.

Seperti tiba-tiba saja semuanya itu terjadi, seperti tiba-tiba saja. Pasalnya, gelombang besar tersebut menggemuruh hanya sekali, kemudian tinggal riak sebelum benar-benar tenang. Dalam kekalutan, hanya Nanung yang sempat teringat bahwa gelombang itu, jangan-jangan terjadi sebagai dampak tsunami walaupun ia tak tahu di mana bencana alam tersebut terjadi. Ketika tsunami di Aceh, kawasan ini juga sempat bergolak macam itu. Tapi tidak dilayaninya ingatan tersebut, sebab ia harus bergegas menyelamatkan diri sebelum semuanya terlambat.

Mereka saling panggil dan merapat, berusaha untuk tidak terlepas antara satu dengan lainnya. Sepotong dayung cadangan, kalau-kalau mesin pompong rusak, sangat membantu usaha tersebut. Nasihat-menasihati, menjadi semacam sedia kala ada yang mencerminkan senasib dan sepenanggungan, berbuah tanggung jawab diri masing-masing untuk senantiasa mendahulukan kepentingan orang lain. Oleh karena perasaan tersebut serupa dan sebangun di hati masing-masing sekawanan pedagang lintas batas itu, mereka pada gilirannya berusaha untuk tidak menyusahkan orang lain.

CERITA punya cerita, dalam kepayahan berhari-hari di laut, dalam kegelapan yang entah bagaimana dan begitu lama mereka rasakan, tiba-tiba muncullah suara itu. “Biar kutolong. Tetaplah saling merapat, bila perlu saling rangkul.”

“Engkau? Siapa engkau?” tanya salah seorang dari kawanan berempat itu, Bilah.

Togar cepat menimpali pertanyaan Bilah dengan mengatakan, yang paling penting sekarang itu adalah bagaimana mereka dapat diselamatkan, tidak perlu mengetahui siapa pemilik suara itu. Gagasan ini ternyata diterima bulat-bulat oleh sekawanan lelaki tersebut. Sebab, jangankan mengetahui pemilik suara, wujudnya saja mereka tidak dapat melihat. Malahan, mereka juga tidak dapat melihat sesama mereka.

Terhadap diri sendiri pun, mata mereka masing-masing tak mampu berperan sebagi alat pemandang. Istilahnya, keadaan memang gelap-mengakap, tak sekedar gelap gulita. Hanya hembusan napas mereka masing-masing yang memberi tanda keberadaan tubuh mereka selain segala yang mereka ingat terhadap tubuh mereka sendiri.

“Ayo, cermati dari mana arah suaraku. Walau dalam keadaan gelap mengakap, pandangan kalian masih bisa kalian arahkan kepada dari mana arah datangnya suaraku. Ayo. Terus, terus…,” lanjut suara itu yang diikuti orang berempat tersebut tanpa begitu susah-payah. Sampailah mereka pada suatu tempat yang bukan laut sebagai mana mereka rasakan, setidak-tidaknya tak lagi mereka rasakan genangan air, sedangkan kaki mereka menginjak sebuah dataran.

“Tapi nanti dulu. Tunggu aku, tetaplah saling merapat. Aku akan datang lagi, sampai kalian benar-benar selamat dari bencana ini.”

Cuma, itulah tadi, kepergian suara tersebut lama sekali. Ini membuat suasana hati empat sahabat itu menjadi kacau-balau. Keluhan dan saling bantah, tak dapat dihindarkan. Apalagi Ihsan dan Bilah yang hampir sama-sama emosional, terlebih disebabkan suasana yang tidak cukup untuk dilukiskan melalui kata-kata “amat tidak nyaman”. Upaya Togar yang coba bersikap arif terhadap peristiwa ini, sebaliknya mereka tanggapi sebagai orang tak jelas, tak memiliki rasa empati terhadap penderitaan sesama. Nanung yang hanya diam saja, mereka nilai serupa saja dengan perilaku Togar walau dalam bentuk pasif.

Ketika perbedaan tersebut hampir meledak menjadi adu jotos, terdengar suara meminta maaf. “Agak lama memang, sebab aku terpaksa menyelesaikan suatu masalah gawat.”

“Tapi, kami lebih gawat lagi, menunggumu seperti tanpa ujung dalam keadaan yang benar-benar berbahaya dan tak jelas.”

“Sudah, usah diperbincangkan. Yang pasti, suara itu akan membawa kita untuk sebuah keselamatan. Benar, kan?” Tanya Togar yang diarahkannya kepada suara.

Diam sekejap.

“Tak ada yang lebih gawat daripada penjual-belian suara yang kini terjadi pada diriku dan harus aku selesaikan tadi,” terdengar suara seperti berbisik.

“Ha, benar, kan? Dia ini bukan manusia, bukan manusia!” teriak Nanung, yang dari tadi hampir tak pernah berbicara. Ia segera menyeret kawan-kawannya untuk menghindar dari suara itu tanpa pikir panjang, sambil tak henti-henti berujar dengan setengah menjerit, “Tolong… tolong…”

Begitulah akhir cerita empat orang yang terdengar di kampung kami di pinggiran Selatbaru, Bengkalis, sebelum mereka benar-benar siuman, belum lama berselang. Kami berusaha menolong mereka semampunya, sampai mereka kami hantar pulang ke kampung mereka sendiri di Pulau Padang. Bagaimana duduk perkara sebenarnya, tidak pula saya tahu. Nanung yang menuturkan kejadian ini, mulai dari awal sampai datang dan perginya suara tersebut kepada saya, tidak pula menceritakannya lebih rinci dari itu. Kelak kalau bertemu dia nanti, saya gali lagi cerita ini sampai tidak ada satu pun pertanyaan yang tersisa sehubungan dengannya, insya Allah. Ya, begitu banyaknya pertanyaan, begitu banyakya…
***

*) Taufik Ikram Jamil, bermukim di Pekanbaru, Riau. Buku-buku cerita pendeknya adalah Sandiwara Hang Tuah (1996), Membaca Hang Jebat (2000), dan Hikayat Batu-Batu (2005).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *