Tiang Gantung untuk George Dohong


Muhammad Yasir

Sebelum embun benar-benar menyusut, terdengar suara dentuman senapan laras panjang dari sebuah rumah kayu di tepi sungai. Tapi sebelum aku melanjutkan cerita ini, lebih baik, kuperkenalkan terlebih dulu kepada saudara sekalian, George Dohong dan Sindah Malinau; sepasang suami-istri pemilik peternakan kambing dan ayam yang terkenal baik dan bijak di mata orang kebanyakan. Kebaikan dan kebijaksanaan mereka terdengar hingga ke beberapa desa di pedalaman yang jauh dan tak perlu saudara sekalian bayangkan atau terka itu di mana. George Dohong, tidak banyak yang tahu, di masa mudanya adalah seorang pembunuh berdarah dingin. Yang paling mengerikan adalah ketika dia menggorok leher seorang jenderal manajer perkebunan kelapa sawit duapuluh satu tahun yang lalu tanpa terendus, apa lagi tertangkap para petugas keamanan yang pandir. Sindah Malinau seoranglah yang mengetahui dan menyimpan kisah kelam George Dohong. Sebagai seorang pembunuh berdarah dingin, George Dohong tidak suka bicara banyak alias bertele-tele dan melakukan sesuatu. Dia seorang yang penuh pertimbangan dan perenung. Dan, saban hari, sebelum bumi menarik cahaya matahari keperakan yang menerangi kehidupan manusia, George Dohong akan berjalan ke tepian sungai dan duduk di atas batu. Merenung, tidak lain.

Ada duapuluhlima ekor kambing dan duaratus limapuluh ayam yang mengisi setiap sekat di dalam kandang kayu di peternakan George Dohong. George Dohong juga memiliki sepuluh anjing pemburu yang setia menjaga peternakan itu. Anjing-anjing ini berperan penting menjaga peternakan ketika George Dohon dan Sindah Malinau terlelap tidur. Pun demikian, kerusakan akal sehat dan mental telah menyerang orang-orang kebanyakan di desa itu. Semua tidak terjadi begitu saja. Kedatangan pemilik perkebunan telah menyebabkan roda utama perekonomian orang kebanyakan rusak total. Sungai tercemar. Hutan nyaris gundul. Karena itu, orang kebanyakan tidak segan-segan mencuri dan membunuh agar dapat bertahan hidup seperti orang kebanyakan lainnya. Terbukti, adanya anjing-anjing itu membuat orang kebanyakan ketakutan, bahkan sekali pun hanya melewati peternakan George Dohong.

“George?” Panggil seseorang; seorang perempuan bertubuh pendek, belum terlalu tua pada suatu pagi yang cerah.

“Hm?”

“Aku ingin memberitahumu sesuatu.”

“Katakanlah!”

“Sudah dua hari ini kami, oh! Bagaimana ini? Bagaimana aku akan memberitahumu hal memalukan ini. Betapa sialnya! Oh! Tuhan!” Perempuan itu menghentikan ucapannya, kemudian mengelus dadanya yang kurus.

George Dohong mengalihkan pandang matanya dari perempuan itu.

“George?”

“Hm?”

“Tidakkah engkau seorang yang baik dan bijak?”

“Hm.”

“Tidak ada sepeser pun uang yang kumiliki, George. Dan, sudah dua hari ini kami memasak buah kelapa sawit untuk meredam lapar. Engaku tahu bagaimana rasanya? Tidak, George, tidak dapat kukatakan bagaimana rasanya. Hanya minyak dan minyak yang masuk ke dalam perutku dan anak-anak.”

“Tunggu di sini!”

Dua menit kemudian. George Dohong memberikan seekor ayam betina yang cukup besar dan tampaknya, daging ayam itu akan memenuhi wajan milik perempuan itu.

“Bawalah. Buatlah masakan yang terbaik untuk anak-anakmu.”

“Oh! Tuhan! George! Aku tidak akan melupakan ini. Sungguh! Engkau benar-benar…”

“Sudahlah. Simpan pujianmu ketika perutmu lapar. Itu hanya kebohongan belaka. Pulanglah!”

“Aku akan mengingat kebaikanmu ini, George. Baiklah!”

Perempuan itu berbalik, berjalan perlahan di jalan setapak menuju beranda rumah George Dohong dan sesekali menoleh ke belakang. George Dohong masih berdiri di beranda rumahnya. Desau angin, sesekali, membuat rambut berwarna putih yang tumbuh di kepalanya berdiri. Lihatlah betapa bahagianya perempuan itu, pikir George Dohong. Dia tidak tahu, George Dohong adalah pembunuh berdarah dingin. Pembunuh adalah pembunuh. Sekali pun dia baik dan bijak, insting membunuhnya bisa tiba kapan saja. Dan, pada suatu subuh di hari yang lain, hari yang begitu hening, insting membunuh itu muncul ketika terdengar anjing-anjing George Dohong menggonggong tiada henti. George Dohong yang masih setengah sadar-setengah tidur, sontak bangkit dan mengambil senapan laras panjang yang tergantung di dinding kamarnya. Sindah Malinau mengikuti dari belakang tanpa berkata suatu apa. Dalam hatinya, sesungguhnya, dia khawatir kalau-kalau George Dohong akan mengambil nyawa seseorang, lagi. Akan tetapi, tidaklah Sindah Malinau memiliki suatu keberanian untuk menghentikan suaminya. Ketika George Dohong tiba di peternakannya yang berjarak tigapuluh kaki dari pelataran rumahnya, dia melihat seseorang telah merusak pintu peternakan dan membunuh dua ekor anjing pemburunya dengan senjata tajam.

“Bangsat!”

George Dohong memeriksa ternak-ternaknya. Benar saja! Seseorang telah mencuri seekor kambing. Sontak, matanya pijar, insting membunuhnya naik ke kepalanya. Dia berang tanpa bicara. Setelah melepaskan anjing-anjingnya yang terikat, George Dohong masuk menghampiri Sindah Malinau yang berdiri, bergeming di sebelah tiang penyangga rumah. George Dohong hanya menatapnya. Dan, sungguh, kekhawatiran Sindah Malinau akan segera terjadi. Suaminya akan mengambil nyawa seseorang lagi. Tidak, saudara sekalian, tidak sekata pun keluar dari mulut Sindah Malinau. Begitu juga dengan George Dohong. Tak lama setelah menatap istrinya, dia pun berjalan di jalan setapak yang berakhir ke tepi sungai. “Doar!” Begitulah suara senapan laras panjang ditembakkan ke cakrawala yang mulai berkabut sebagai tanda perburuan maling akan segera dimulai.

Di hulu sungai, tujuhratus limapulu kaki dari rumah George Dohong, anjing-anjing yang sejak awal mengendus jejak seseorang yang telah mencuri ternak tuannya, berhenti mengendus tapi tidak dengan gonggongan mereka. Itu pertanda bahwa ada sesuatu. George Dohong menghentikan langkahnya persis di sekawanan anjing-anjingnya. Tiba-tiba, George Dohong mengehentakan kakinya. Dan, anjing-anjing itu diam. Suasana menjadi begitu hening. Tak lama kemudian, George Dohong memejamkan matanya. Kepekaannya terhadap alam membuat sepasang telinganya memiliki pendengaran yang tajam. Saking tajamnya, gerak seekor tikus tanah pun terdengar begitu jelas. Dalam hitungan menit, George Dohong menemukan pencuri ternaknya yang bersembunyi di rerimbunan semak belukar. Akan tetapi, George Dohong tidak menemukan kambingnya. Kemarahannya semakin tidak terbendung. George Dohong menarik pencuri ternaknya itu ke jalan setapak, kemudian menyenteri wajahnya. George Dohong kaget, pencuri ternaknya itu bukanlah orang kebanyakan di desanya. Ini kali pertama dia melihat pencuri ternaknya itu.

“Siapa engkau?!”

“Ampun, Tuan! Ampun!”

George Dohong mengulangi pertanyaannya.

“Aku, Tuan…” kata orang itu, “Aku buruh perkebunan, Tuan. Aku tinggal di perkebunan.”

“Di mana kawanmu?” Sebelum menemukan pencuri ternaknya itu, George Dohong sudah tahu bahwa pencuri ternaknya tidaklah seorang diri.

“Akulah seorang diri, Tuan.”

“Jangan berbohong! Di mana?!”

“Ampun, Tuan! Dua orang kawanku telah kembali ke perkebunan membawa kambing itu! Maafkan aku, Tuan! Sungguh, tiadalah aku memiliki niat untuk melakukan hal ini. Perkebunan telah memecat kami bertiga dan tidak membayar jasa kami selama menjadi buruh di sana, kami tidak bisa pulang ke pulau seberang, Tuan. Aku mohon, Tuan, ampunilah aku!”

George Dohong menyuruh pencuri ternak itu berdiri.

“Ampun, Tuan. Aku mohon!”

“Doar!” Peluru timah panas dan besar beserta semburan belerang dari moncong senapan laras panjang itu, oh! Saudara sekalian, membuat kaki kiri pencuri ternak George Dohong hampir putus.

Teriak kesakitan tidak terelakan. Gemanya menjadi tanda bagi setiap orang agar menghargai milik orang lain dan jangan sekali pun mengambilnya dengan cara merampas. Siapa pun, kecuali Anak Tuhan, akan marah. Itulah manusia!

“Ternak-ternak itu kurawat seperti aku merawat mendiang anak-anakku yang dibunuh para petugas perkebunan begitu kejinya. Engkau tahu, tidak perlu waktu lama bagiku untuk menemukan para petugas itu dan menghabisi mereka satu per satu seperti mereka menghabisi anak-anakku. Aku akan menolong kalian jika kalian bertamu ke rumahku dan mengatakan bahwa kalian ingin kembali ke pulau seberang. Aku akan memberikan dua ekor kambing untuk kalian. Kejujuran itu mahal dan aku menjunjung tinggi itu. Namun, ketika engkau dan rekan-rekanmu berani mencuri dan menginjak-injak kejujuran, maka kalian akan kuhabisi. Lihat nanti, aku akan membawa dua mayat kawanmu itu!”

Ketika George Dohong hendak kembali, dia menoleh ke belakang. Pencuri ternaknya itu menggeliat kesakitan di tanah. Dia kembali ke sana, kemudian memapah pencuri ternaknya itu.

“Istriku akan merawatmu!”

Setibanya di rumahnya, George Dohong segera menyuruh istrinya mengambil ramuan-ramuan miliknya untuk mengobati pencuri ternaknya itu. Sindah Malinau yang terkejut, tanpa bicara segera mengambilkan ramuan-ramuan itu.

“Rawatlah dia! Aku akan mencari dua orang lainnya.”

“Tuan…” kata pencuri ternak itu, kesakitan. “Aku mohon kepada engkau dengan hormat sehormat-hormatnya. Jangan cari mereka. Bunuh saja aku, Tuan. Biarkan mereka menjual kambing milik Tuan itu agar bisa kembali ke pulau seberang. Tidakkah Tuan memiliki sesenti saja keibaan terhadap sesama manusia?! Aku mohon, Tuan…”

“George, Suamiku…” Sindah Malinau memberanikan diri untuk bicara. “Dengan engaku membunuh mereka semua, tidaklah mengubah kambing itu menjadi anak kita. Dendam dan kenanganmu yang mendarah-daging itu engkau tumpahkan ke riak sungai dan biarkan hanyut ke muara yang jauh. Tidakkah kebijaksanaanmu telah membuat cintaku padamu takkan luntur dimangsa waktu. Engaku ingat, ketika engkau dan aku lari dari orangtua kita? Engkau mengatakan: “Cinta kita terbentuk dari darah dan kebijaksanaan alam. Maka, aku akan mendengarkan engkau.” Engaku mengingatnya?! Atau engkau telah melupakannya?”

George Dohong bergeming. Matanya yang kuat dan tajam, tenggelam dalam tatapan istrinya.

“Sekarang, kita rawat pemuda ini seperti anak sendiri.”

George Dohong tetap bergeming. Kalah.

Pada suatu waktu, dari kejauhan. Tampak lima orang: seorang jenderal manajer, seorang tentara, dan sisanya petugas perkebunan bersenjata lengkap berjalan menuju rumah George Dohong. George Dohong yang melihat kedatangan mereka segera masuk ke dalam rumah, mengambil senapan laras panjangnya. Setibanya di beranda rumah George Dohong, jenderal manajer itu mengatakan bahwa kedatangan mereka untuk menghukum George Dohong, pembunuh berdarah dingin, dan juga Sindah Malinau, istrinya yang membiarkan dendam dan kenangan mendarah-daging di dalam diri George Dohong.

“Kalianlah yang akan aku habisis!” Kata George Dohong.

“Anjing! Ikut kami sekarang juga!” Maki tentara semberi menodongkan senjatanya.

“Persetan!”

George Dohong kalah. Senapan laras panjangnya lupa dia isi belerang. Tidak ada dentuman. Apalah kekuatan George Dohong dan Sindah Malinau di tangan para biadab itu. Seperti hasil buruan, George Dohong dan Sindah Malinau digiring ke suatu tempat; tanah lapang yang telah didirikan dua tiang gantung untuk keduanya.

“Lepaskan!” Teriak George Dohong.

Tidak seorag pun menggubris.

“Setan!” Begitu seterusnya, hingga tibalah mereka di tiang gantung itu.

Lima kaki di belakang George Dohong dan Sindah Malinau, jenderal manajer itu semringah, kemudian berkata, “Di sini, tidak ada kata-kata terakhir untuk orang-orang yang menyedihkan seperti kalian, George! Engkau telah membuat perkebunan kami dituduh bertindak sewenang-wenang kepada alam dan para buruh dari desamu! Tanpa bukti, George! Tanpa bukti. Bukankah semua petinggi, pegawai, dan sebangsa administrator desa dan daerah telah kami kirim upeti dan sejumlah uang sebagai harga dari harkat-martabat mereka?! Dan engkau, engkau adalah pembunuh sialan yang mengganggu kerja-kerja perkebunan! Sekarang, matilah kalian!”

Setelah bicara, jeneral manajer itu segera menyuruh tukang jagal untuk bekerja. Dan… dari kejauhan pencuri ternak, seorang transmigran, tertawa terbahak-bahak menyaksikan George Dohong dan Sindah Malinau sebelum keduanya berakhir.

“Lepaskan kami! Lepaskan, bangsat!” Teriak George Dohong hampir tanpa daya.

Sindah Malinau merengkuh tangan suaminya kemudian berkata, “George? George! Bangunlah. Mau sampai kapan engkau begini ini?! Kambing-kambing itu perlu makan. Jangan permainkan hak mereka. Bangunlah!”

Surabaya, 2021

Keterangan dari tukang posting: Jpg dari blogunik.com/fakta-kerusakan-hutan-kalimantan “Lebih dari 15.000 Ha, hutan di Kalimantan mengalami kerusakan di tahun 2020” (photo via agiwoles.blogspot.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *