Muhammad Yasir
Azami ya Azam, kukatakan kepadamu. Di sini, matahari bersinar malas. Hampir seantero sudut kota, remang dan misterius. Orang-orang berjalan menundukkan kepala, seakan-akan langit dan awan-awan tidak memiliki hak untuk segala kepedihan hidup yang mendera. Kebijaksanaan hidup, mungkin, telah lama sirna dari sini.
Ya Azam, Saudaraku. Jangan katakan ini sebagai Nyanyian Putus Asa. Aku akan hidup, sebagaimana kata-kata dan bahasa Puisi membuatku hidup, meski kepedihan selalu datang tepat waktu – sedetik lebih cepat dari kereta api, sejam lebih cepat dari pergantian siang ke malam, dan sehari lebih cepat dari pergantian musim.
Musim apakah yang membuatmu tampak sendu, Saudaraku? Ya Azami Azam. Aku ingat, bahwa engkau pernah berkata kepadaku: “Ada dua musim di antara dua musim milik kita di sini, ya… tidak lain adalah musim penindasan dan kehancuran. Sialnya! Itu bukan diciptakan Tuhan dan alam, tetapi kita-kita inilah!” Kata-katamu ini, Saudaraku, terngiang di telinga. Oh! Bagaimana kita akan merayakan kematian orang-orang tertindas, tergilas kekuasaan yang lupa diri dan waktu?! Ya… Azami ya Azam, kita telah kehilangan waktu untuk bertemu dan saling hantam.
Di Lembayung, kedai kopi yang menggeliat di Kota Yogyakarta, pada musim hujan. Kita bercerita bagaimana Edward W. Said menyerang balik Barat sebagai seorang Timur – kemudian kita sepakat, bahwa kata Timur mesti diganti dengan Orient. Matamu pijar, ketika Said dengan Orientalisme-nya menghardik satu demi satu, perlahan dan kuat, perspektif para pemikir orientalis membuat rinai hujan bernyanyi.
Betapa pun, kita mencoba untuk naif, kenyataan bahwa kita pun adalah bagian dari orang-orang kalah, jadi bayangan diri sendiri. Azami ya Azam, Saudaraku, katakan kepadaku! Bagaimana kita akan melupakan semangat dan energi ini. Jangan! Jangan katakan kepadaku bahwa penyakit ini akan memisahkan kita! Dan, jangan khawatir tentangku. Bukankah kita sama-sama tertindas dan tergilas?!
Malam ini, sirene ambulans dan sirene polisi, membuatku muak. Suara sialan itu menjadi tanda bahwa semua orang harus bangun dari tidur mereka – tidur jadi salah satu cara meredam lapar abad 21 ini – untuk mencuci tangan, membeli masker, dan makan makanan yang sehat setelah berorang-orang di antara mereka babak belur dihakimi orang-orang urban yang senasib, karena mencuri kotak amal di rumah Tuhan untuk memenuhi peringatan para administrator negara.
Surabaya, 2021.