BIBIR YANG SELALU BASAH ITU

—mengenang Budi Darma—

Taufiq Wr. Hidayat *

Tatkala malam yang dalam, perempuan itu melihat wajahnya pada cermin di ruang tamu. Entah kenapa, dulu ia meletakkan cermin antik itu di ruang tamu. Tidak di kamar. Meja kayu. Kursi kayu. Dan asbak yang dipenuhi puntung rokok putih. Bunga plastik. Ia melihat wajahnya pada sehelai cermin antik yang dibeli seorang laki-laki di sebuah pasar bekas. Dulu. Ketika ia baru saja keluar dari sebuah hotel menuju pulang, bersama laki-laki setengah baya masuk pasar, lalu laki-laki setengah baya itu membelikannya cermin. Di cermin itu, ia memandang bibirnya yang seakan-akan selalu basah. Tanpa dipoles lipstik. Bibir itulah yang membuat laki-laki berbadan jangkung—dengan jakun yang menonjol di lehernya, jatuh hati. Yang selalu berbisik ke telinganya, menyatakan selalu ingin melumatkan bibir itu sampai habis seperti melumatkan roti cokelat sampai lenyap. Tapi ia tak pernah membalas ucapan laki-laki jangkung itu. Laki-laki jangkung yang selalu mendatanginya ketika malam. Yang adalah orang terhormat. Laki-laki yang punya kedudukan terhormat sebagai orang atasan. Dan ia adalah perempuan simpanan. Tinggal di sebuah perumahan yang jauh dari pusat kota besar.

Perempuan itu mengenang laki-laki jangkung terhormat. Kebaikannya. Sikapnya yang kebapakan. Serta begitu peduli dengan keadaannya sehari-hari. Memerhatikan makan, tidur, dan vitamin. Ia merasa bagai istrinya yang sah, bukan simpanan. Bukan perempuan kedua. Laki-laki jangkung terhormat selalu datang ke rumahnya bersama sopir. Sopirnya hanya orang biasa yang patuh sepatuh-patuhnya pada sang majikan.

“Kelak kau akan mengenangkan aku. Dan saat kau mengenangkan aku, lihatlah cermin itu. Pandanglah wajahmu sendiri, seakan-akan kau memandang wajahku,” kata laki-laki jangkung itu suatu malam. Setelah pergulatan hebat yang melelahkan di atas tempat tidur.

Laki-laki kurus jangkung itu punya tiga orang anak. Satu laki, dan dua orang perempuan. Semua gemuk-gemuk. Keluarganya di mata banyak orang, bahagia. Keluarga pejabat kantor pemerintah yang mengurus anggaran belanja. Laki-laki kurus jangkung itu, yang setengah baya, uban, dan berkacamata itu, bagi kalangan moralis adalah koruptor. Meski mereka tak punya bukti-bukti, tapi mereka menduga kuat sekuat-kuatnya. Tentu saja dengan memiliki simpanan, laki-laki kurus jangkung itu sudah termasuk orang bejat dengan dosa yang sangat besar sebesar-besarnya. Namun bagi perempuan berbibir tebal yang selalu basah, laki-laki setengah baya beruban itu adalah malaikat. Bahkan bak seorang pahlawan utusan Tuhan baginya. Meski kemalaikatan laki-laki jangkung itu selalu saja muncul setelah laki-laki itu memberikan sejumlah uang belanja yang begitu tebal bagi perempuan berbibir tebal yang senantiasa basah itu. Entahlah kenapa perempuan berbibir tebal yang selalu basah itu mau kumpul kebo dengan laki-laki terhormat yang usianya lebih tepat sebagai bapak baginya, atau bahkan kakek.

Sebagai perempuan simpanan yang masih sangat muda, ia tak bekerja. Pekerjaannya hanya membaca buku setiap pagi, siang, sore, malam. Ia membaca kisah orang bernama “Olenka” yang ganjil, dan “Rafilus” yang seolah-olah nyata. Dua nama yang kekal, yang tak pernah mati meski berkali-kali orang telah mengumumkan kematian keduanya. Menamatkan cerita “Kritikus Adinan” yang berliku. Membaca detil jalan-jalan dan tempat-tempat di kota Surabaya. Juga tertawa-tawa ketika mengikuti cerita “Penyair Besar dan Penyair Kecil”. Atau lari pagi dengan baju yang ketat. Ke pantai. Berbelanja. Menonton tivi. Menggeser-geser layar android. Atau belajar memasak. Semua urusan rumah ditangani pembantu. Meski begitu, perempuan berbibir tebal yang selalu basah dan jarang berkata-kata itu, selalu menyisihkan uang tiap bulan buat kedua orangtuanya di desa jauh. Ia mentransfer uang pada rekening bank kedua orangtuanya di desa jauh. Kedua orangtuanya di desa jauh akan mengambil uang itu dari mesin ATM dengan dibantu Pak RT setempat. Ketika pulang ke desa, perempuan berbibir tebal yang basah selalu itu, selalu membawa oleh-oleh. Hadiah-hadiah buat keponakannya yang masih kecil-kecil, pada tetangga, dan keluarga dekatnya. Orang tak pernah tahu apa pekerjaannya di kota, dan orang juga tidak tahu kalau ia melakukan pekerjaan kotor sebagai simpanan orang pejabat atasan. Karena kebaikannya di kampung dengan hadiah-hadiah, membuat orang tak perlu banyak mempertanyakan atau mempergunjingkannya yang macam-macam.

“Sayang sekali, laki-laki jangkung yang baik hati itu telah mati. Dia meninggalkan tiga orang anak, satu istri cantik dan satu simpanan muda. Harta melimpah. Empat mobil mewah, alat-alat musik yang mahal, kuda, dan koleksi sepeda motor antik dan sepeda motor mewah. Rumah megah. Semua dikumpulkannya ketika hidup sebagai kegemaran yang begitu cepat ia lupakan karena mudah bosan. Tak punya kawan karib. Tak pernah ada orang lain yang cocok dengannya. Dan kini semua kekayaan itu dinikmati yang masih hidup. Kenapa orang baik cepat mati? Kenapa orang jahat selalu tak kunjung mati padahal sudah sekarat? Laki-laki baik itu mati terserang tumor otak yang sangat ganas. Tapi meski banyak orang mengira laki-laki itu bejat, bagiku ia baik hati. Setidaknya ia banyak menyelamatkan kehidupan orangtuaku,” ujar perempuan itu.

“Untungnya, ia tahu kalau dirinya akan mati. Sehingga ia mewariskan rumah, mobil, dan deposito yang besar sekali buatku. Saya tahu, istri dan anak-anaknya menangisi kehilangannya. Istrinya tidak tahu kalau dia punya simpanan, andai tahu mungkin istrinya itu akan mensyukuri kematiannya dan tertawa-tawa,” katanya lagi.

“Untungnya lagi, kasus korupsinya tak terlacak negara. Dan itu keuntungan lain. Sehingga dengan uang yang ia tinggalkan, aku dapat hidup baik-baik sepeninggalnya,” ucap perempuan berbibir selalu basah itu.

Itu malam yang aneh. Perempuan yang berbibir selalu basah itu sejak kumpul kebo dengan laki-laki terhormat, sangat jarang berbicara. Kini dia banyak sekali berbicara. Mungkin karena dikuasai alkohol.

“Lalu apa keuntunganku?” tanya laki-laki jangkung dengan rambut yang hitam legam, berusia muda, gagah, dan pengangguran itu menyela.

“Keuntunganmu adalah menikmati jerih payahnya di rumah ini. Selama kau tetap di sini, dengan setia menggantikannya, bahkan sebelum ia mati terserang tumor otak, kau selalu menggantikannya ketika ia pulang pada istrinya,” jawab perempuan itu. Ia melihat bayangan wajahnya di cermin. Dan ia bagaikan melihat laki-laki jangkung beruban itu menatap wajahnya. Dan malam semakin dikentalkan saja..

Tembokrejo, 2021

tokoh, cerita, tempat,
dan kejadian dalam cerita ini
seharusnya bukan fiksi.

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

One Reply to “BIBIR YANG SELALU BASAH ITU”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *