Dikirim dari E-Mail Yahoo ke Google
Indria Pamuhapsari *
Jawa Pos, 31 Okt 2019
Orang-Orang Oetimu lahir lewat kertas folio, lalu dipindah ke laptop pinjaman, dicetak, diedit ulang, kemudian diketik lagi. Karena tak ada uang, tumpukan dokumen awal novel pemenang sayembara Dewan Kesenian Jakarta itu sudah habis dikilokan.
***
SEMBARI duduk, Felix K. Nesi langsung mengangkat tangan kanan. Hampir setinggi dagu.
”Ya segini kira-kira,” kata dia dengan tersenyum.
Segini yang dimaksud penulis 31 tahun itu adalah tumpukan draf awal Orang-Orang Oetimu yang dia tulis di kertas folio. Ditambah ketikan awal yang dia print untuk kemudian diedit ulang.
Dokumen proses kreatif yang tentunya sangat berharga. Apalagi setelah novel pertama Felix itu juara sayembara tahunan edisi 2018 dan ramai menuai apresiasi positif.
Baik karena sudut pandang cerita, plot, maupun pilihan tema dan latar.
Di Museum of Innocence, Istanbul, Turki, miliknya, Orhan Pamuk mengabadikan draf, tulisan awal, serta gambar. Dipampang pula di sana coretan tangan nobelis sastra tersebut.
Tapi, bagaimana dengan dokumen-dokumen Felix tadi? ”Hahaha… Sudah saya kilokan,” katanya enteng.
Reaksi yang membuat semua peserta diskusi santai di lounge Graha Pena, Surabaya, pada Selasa sore lalu (29/4) itu mendelik. Nyaris tak percaya.
”Nggak nyesel?” tanya Candra Kurnia, salah seorang peserta diskusi. ”Ya, habis mau gimana. Saya butuh uang dan tumpukan kertas itu kan bisa jadi uang,” lanjutnya.
Draf dan hasil print yang sudah dikilokan itu bagian dari proses panjang penulisan Orang-Orang Oetimu. Proses berliku selama dua tahun yang banyak melewati proses ”tak lazim”.
Felix mengaku tak bisa menulis cerita sembari mengetik di laptop. ”Alasan utamanya ya karena sebenarnya waktu itu saya tidak punya laptop,” kata alumnus Fakultas Psikologi, Universitas Merdeka, Malang, Jawa Timur, itu.
Jadi, lanjut Felix, novel tersebut dia tulis tangan di kertas folio. Baru kemudian diketik di laptop pinjaman. ”Waktu itu saya pinjam (milik) adik kelas. Biasa. Atas nama senioritas,” ujar dia, lalu disambut tawa belasan peserta diskusi.
Jika tidak ada laptop pinjaman, Felix mengetik di warnet (warung internet). Karena itu, penting baginya untuk menuliskan naskah dengan rapi di folio.
Sebab, naskah itu nanti yang dia pindahkan ke bentuk digital lewat laptop adik kelas atau komputer sewaan di warnet. ”Nah, saya juga waktu itu tidak punya flash disk. Jadi, ketikan itu saya kirim dari e-mail saya di Yahoo ke e-mail saya di Google agar tersimpan,” paparnya.
Karena perfeksionis, Felix tak cukup hanya memindahkan tulisan dari kertas ke teks digital. Dia tetap merasa perlu mengedit ulang tulisannya.
”Saya print tulisan saya, lantas saya edit manual. Saya corat-coret bagian yang tidak cocok dan harus disesuaikan,” katanya.
Para peserta diskusi kembali melongo. Sungguh proses yang melelahkan. Menulis naskah dengan tangan, mengetik, mencetak tulisan, dan mengedit dengan pena lagi. Setelah itu, naskah editan diketik lagi untuk menjadi draf final.
Tapi, tidak bagi Felix. Dia sungguh menikmati proses itu. Bagi dia, proses menulis, mengetik, dan mengedit itu menyenangkan.
Dia memang lebih akrab dengan tulis-menulis secara manual. Dengan tangan. Sejak kecil, sejak duduk di bangku sekolah dasar.
”Dulu (waktu setingkat SMP dan SMA) saya juga suka mengerjakan mading (majalah dinding, Red),” katanya. Agar mading terlihat elok, tutur Felix, kreatornya tidak bisa sekali jadi membuat karya. Harus berulang. Jika itu puisi, puisinya perlu ditulis dulu sebagai draf di kertas HVS berwarna.
Lantas, puisi itu ditulis lagi dengan huruf-huruf yang lebih tebal, lebih rapi, dan lebih artistik. Artinya, pembuat mading akan berkali-kali menulis atau berkreasi untuk menghasilkan karya yang layak dipajang.
Dari sanalah rupanya proses kreatif ”mbulet” Orang-Orang Oetimu tadi berakar. ”Justru di situlah bagian yang paling seru,” ucapnya.
Tapi, meski ”resminya” hanya memindahkan tulisan, tak selalu pria yang kini bergiat bersama Komunitas Leko di Kupang, NTT, itu taat pada rancangan. ”Ya sering berubah. Apa yang saya ketik kadang tidak sama dengan apa yang ada di tulisan saya di kertas folio,” katanya.
Tokoh-tokoh dalam bukunya itu pun mengalami penambahan dan pengurangan. Demikian juga kisah-kisah pendukung di dalamnya.
Tokoh Silvy, misalnya. Dalam novelnya, Felix menggambarkan gadis yang masih duduk di bangku SMA itu sebagai pusat semesta. Semua pria –tua, muda, anak-anak– tergila-gila kepadanya.
”Bicaranya santun, tubuhnya wangi, dan parasnya sungguh menawan. Setiap pemuda bercita-cita mempersuntingnya, dan setiap anak mengalami mimpi basahnya.” Demikian deskripsi Felix tentang Silvy yang ditulisnya pada halaman 60.
Tapi, ketika dibacakan ulang karakter Silvy itu di sela diskusi, Felix malah heran. ”Ah, masak? Saya tulis begitu, ya? Lebay sekali,” seru Felix.
Felix yang lahir di Nesam-Insana, NTT, itu menyelesaikan Orang-Orang Oetimu pada 2018. Setelah memenangi sayembara Dewan Kesenian Jakarta pada tahun yang sama, novel diterbitkan Marjin Kiri pada semester dua tahun ini.
Oetimu, menurut Felix, sejatinya nama ladang sang ayah. Letaknya di belakang rumah. Lengkap dengan pohon cemara dan danau.
Bagi Felix, Oetimu adalah keindahan Timur. Karena itu, pemilik sebuah toko buku sederhana di Kupang tersebut mengabadikannya sebagai judul. Dia ingin membuka wawasan para pembaca tentang orang-orang Timur. Sekaligus, memperkenalkan budaya dan keindahan NTT ke seluruh penjuru tanah air.
Dalam buku setebal 220 halaman tersebut, lulusan seminari di Atambua, NTT, itu memang mengungkapkan banyak kegelisahan. Mulai soal dominasi Jawa, ke-lebay-an orang-orang kampung, hingga kemanusiaan para pastor yang hidup selibat.
Dengan kata lain, Orang-Orang Oetimu adalah jejak berharga sebagai penyeimbang perspektif di tengah Indonesia yang sangat Jawa-sentris. Meski, sayangnya, dokumen awal penyusunnya telah lama dikilokan.
”Kok, bisa sih, masak nggak ada yang tersimpan sama sekali,” tanya Diar Candra, peserta diskusi lainnya.
Felix berpikir sejenak. ”Coba nanti saya cari di kos. Sepertinya masih ada sebagian,” ucapnya ragu.
***
Felix K. Nesi (dua dari kiri) saat berdiskussi di lounge Graha Pena, Surabaya
*) INDRIA PAMUHAPSARI, Surabaya, Jawa Pos.