Apakah benar kita sudah tidak memerlukannya? Buku
Puisi Indonesia Kini: Sebuah Perkenalan (1980) karya Korrie Layun Rampan dan Di Balik Sejumlah Nama (1989) karya Linus Suryadi AG.
Berisi ulasan singkat tentang puisi seorang penyair atau respon apresiatif atas antologi puisi yang baru terbit, kedua buku ini tampak berupa kumpulan resensi atau ulasan ringan. Pembahasan struktural dengan porsi besar untuk sajak suasana, proses kreatif penyair yang selalu dibawa-bawa, dan hal-hal teknis lainnya. Bahasanya sederhana, mudah dipahami (jauh dari glosarium kata-kata), sedikit referensi, gagasan lebih longgar, dst.
Karena sifat-sifat “stereotip”-nya itu, sering uraian begini dianggap subjektif, intuitif, jauh dari kaidah ilmiah-akademik. Penyajian tidak canggih, bahkan mungkin dianggap kurang “cerdas”. Kesan itu makin kental karena ulasannya terlalu ringan, tidak “kejam”, cenderung ala Pak Tino Sidin yang bilang,”bagus, bagus!”.
Sebenarnya tidak persis demikian. Sekecil apa pun ada nilai timbangannya (namanya juga esei apresiatif dan “timbangan buku”). Dan seturut A. Teeuw dalam pengantar buku Linus, pengamatan begini terasa orisinil, penghayatannya langsung dan reflektif. Selain itu ada nilai lebih: kecepatan mencatat, responsif, semacam absensi dari setiap nama penyair yang muncul, karya dan buku yang terbit. Nyaris tiada yang luput. Semua dapat tempat.
Sebelum dibukukan, tulisan tersebut biasanya dipublikasikan dulu di koran atau majalah (yang memang memiliki siklus terbit cepat atau berkala). Beberapa dari draf pengantar diskusi atau kertas kerja dalam forum terbatas.
Apakah ini bukan kritik sastra? Merujuk Subagio, itu tetap kritik, memang agak semenjana. Tapi tidak semena-mena karena melalui prosedur literatif; menulis dan menelaah. Perlu konteks lain jika hendak menyoal mutu.
Dan yang penting: apakah kita sudah tidak membutuhkannya?
Menurut saya, kita tetap membutuhkan ulasan singkat atas karya yang beredar, resensi atas buku puisi yang terbit, pendek kata, kritik apresiatif seperti dalam kedua buku di atas!
Di tengah regenerasi kepenyairan, tebaran karya serta penerbitan buku puisi yang gencar, kita memerlukan juru catat, juru timbang, penulis daftar “absen” (apa istilah yang tepat?) sembari menunggu kritik-kritik panjang, mendalam, yang mungkin akan dilakukan atas karya terpilih. Dan itu pun umumnya hanya ditulis “dalam rangka” seperti sayembara dan undangan menjadi pembicara, sebagaimna Arif B. Prasetyo mengungkap bahwa materi buku terbarunya, Saksi Kata, berasal dari sumber-sumber kerja “dalam rangka” demikian.
Kita butuh kritik bermutu tentu saja. Kritik utuh dan “menjadi”. Memang. Tapi siapa yang dapat memenuhinya di tengah percepatan situasi? Kritikus, kita tahu, terbatas. Ini sudah jadi isu lama. Kritik akademik kadang lebih memprihatinkan, karena terkesan jago kandang dan juga tak ada jaminan tajam dengan seperangkat teori, bahsa yang kaku mendekati diktat. Berapa lama kita menunggu Ignas, Saut, Katrin, Melani, Nirwan atau Arif untuk buku kritik terbaru yang bakal lebih representatif?
Sambil menunggu, kita bisa berharap akan mendapatkan yang terbaik dari satu segmen yang relatif cair, dan bagaimanapun mesti diisi itu. Itulah segmen esei apresiatif, catatan singkat dan timbangan buku. Bukan harapan muluk sebetulnya. Bukankah kita tetap mendapatkan kritik bernas, unik dan menarik dari buku esei yang terbit dari pola penulisan dan media publikasi semacam ini?
Buku Dari Peristiwa ke Imajinasi – Umar Junus, misalnya, sangat padat, begitu pula Dari Sunyi ke Bunyi – Hartojo Andangdjaja sangat inspiratif. Atau Sesuatu Indonesia – Afrizal Malna yang mula-mula esei lepas di koran-koran, jadi tampil “utuh” dan berkelas setelah ia formulasikan secara khas. Dan buku Korrie, dan terutama Linus, selain berhasil membuat daftar absensi kepenyairan dalam kurun waktu tertentu, juga lumayan kaya gagasan, kok!
Untuk itulah, misalnya, saya sangat hormat dan mengapresiasi kerja Bang Dasril Ahmad di Padang, yang catatannya di Harian Haluan bisa dijadikan rujukan melihat perkembangan dan pertumbuhan sastra Sumatera Tengah tahun 80-90an. Atau ulasan Hasan Junus (alm) tentang pertumbuhan sastra Riau yang kadang dianalogkan/dibandingkan dengan perkembangan sastra dunia. Mereka juru catat dan juru timbang yang tekun. Atau jika hendak diluaskan sekarang, dari ranah medsos, saya senang membaca ulasan puisi oleh Bang Adek Alwi di akun fb-nya (sayang sudah lama absen).
(Sebenarnya memang, uraian singkat semacam ini ada juga di ruang medsos, tentu dengan sejumlah perbedaan, perkembangan dan karakternya pula. Misalnya status-status Bang Saut yang kerap memantik diskusi di fb “yang bukan medsos” ini. Begitu juga catatan-catatan Malkan, Kris, Hairus atau Faruk dengan cara pandang menarik, respon spontan Sunlie dan Nurudin atas satu bahan atau Erwin Setia yang setia mengikuti perkembangan isu terkini, hingga kerja-kerja Haspani di layar sentuh.)
Tapi ingat, meski ulasan, resensi atau sekedar testimoni ini sangat terbuka, demi hasil maksimal (apalagi terbit dalam satu buku) tetap bukan kerja “siapa saja bisa”. Butuh konsistensi, stamina, intensitas, up-date, dan bekal apresiasi yang tinggi.
Sementara bagi mereka yang berminat menelaah karya secara mendalam, silahkan melacak dari “daftar” dan ulasan singkat yang sudah ada, mana tahu ada yang pas untuk dilanjutkan.
Belakangan terbit sejumlah buku esei yang sumber materinya tak jauh beda dengan buku Korrie & Linus di atas. Kecuali sekarang ada tambahan signifikan dari catatan di fb atau blog. Tentu semua musti disambut. Sekaligus ini jadi penegas, ya, masih dibutuhkan catatan ringkas, hasil-hasil pembacaan cepat. Dan sedikit tuntutan: semoga penyajiannya lebih segar dan isinya semangkin berkwalitet!
26 Juli 2021