Saut Situmorang, Seni Sepanjang Abad
Telepon genggamku bergetar. Aku lupa kapan hari dan tanggal persisnya. Aku hanya ingat tahunnya. Jelas itu tahun 2015 yang menyala-nyala tanpa ledakan, karena sekian juta hektar hutan di tanah-air kami, Pulau Kalimantan, dibakar untuk perkebunan kelapa sawit. “Segera jemput aku di rumah dan panggilkan taksi, aku tidak kuat duduk di atas motor!” Begitulah bunyi pesan yang membuatku bergegas memacu kuda besiku menuju sebuah rumah di dalam gang sempit di antara jalan Pojok Benteng, Yogyakarta yang selalu sibuk dan akan selalu begitu, siang dan malam. Setibanya aku di rumah itu, seorang lelaki, Penyair, keluar dari rumah bercat putih. Tampaknya, ada suatu hal menyakitkan yang (lagi-lagi) mendera kehidupannya, bagaimana pun dia, wajahnya menunjukkan itu! Kemudian, tanpa bicara banyak sebuah taksi berwarna biru membawanya pergi ke Rumah Sakit Bethesda. Aku membuntuti, bertanya-tanya dalam hati apa lagi ini.
Entah mengapa. Orang-orang sakit tampaknya telah memercayakan nasib mereka kepada rumah sakit sebagai suatu tempat yang menjanjikan kesembuhan, tetapi mereka membayar cukup mahal untuk itu! Pikirku. Apakah mereka telah kehilangan waktu untuk kembali kepada pengetahuan leluhur mereka tentang obat-mengobati? Atau dokter yang kaya raya telah sejajar dengan Tuhan, sehingga kepadanyalah orang-orang ini berserah diri? Tetapi, sekali lagi, mereka membayar untuk itu! Lupakan tentang ini. Penyair itu memintaku menunggu di lobi rumah sakit, aku mengiyakan dan mulai menunggu. Dari kursi tunggu, aku merasakan setiap langkah Penyair itu semacam tanda-tanda pesakitan yang dia sembunyikan kepada para pembaca karya-karyanya yang ngeri. Bahkan, aku sendiri pun, belum memiliki kemampuan untuk membaca tanda-tanda itu. Tapi itu terasa semacam pesakitan yang sukar dijelaskan. Jadilah ini semacam kebisuan yang hening dan sepi bagi hidup seorang Penyair sepertinya.
Sebagai Suhuku, dia telah mengajarkan kepadaku bagaimana seorang Penyair harus memiliki kepekaan yang tinggi terhadap situasi dan keadaan. Jadi, sembari menunggu Penyair itu kembali, aku menarik nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya, lalu menatap pergerakan jarum panjang sebuah jam dinding. Sama! Aku merasakan setiap gerak dan detak jarum panjang jam dinding itu seperti tanda-tanda kesaksian yang bisu dalam keheningan pergolakan Sastra Kita dewasa ini. Itu bergolak, tetapi bisu. Itu marah, tetapi tidak terucap. Jadilah pergolakan ini semacam barah atau kanker di tubuh seorang janda tua yang miskin. Ah! Berapa Penyair atau pengarang yang sudah melakukan kejahatan seperti ini: mengambil pesakitan seorang janda tua untuk kekuatan estetika dan poetik karya-karyanya?! Dan, bagaimana kita bisa melupakan itu dan menganggapnya sebagai pemakluman atas proses kreatif? Aku harus melupakan pertanyaan-pertanyaan ini sejenak.
Penyair itu kembali. Wajahnya merengut. Aku tidak bicara sekata pun, karena tidak akan menyelamatkannya. Dia memberi kode kepadaku untuk mengikutinya. Kami berjalan menuju resto berlapis kaca di rumah sakit itu. “Penyakit lamaku, datang. Semakin parah. Dokter bilang harus dioperasi. Dan, engkau tahu berapa yang harus kubayar? 30 juta rupiah! Dari mana uang sebesar itu! Aku sudah tidak bisa menulis lagi! Jika pun bisa, berapa tahun atau buku setebal apa yang harus kubuat untuk dapat uang begitu banyak! Itulah mengapa kukatakan kepada engkau, jangan jadi Penyair! Jadilah dokter gigi, maka engkau akan kaya-raya!” Begitulah dia mengungkapkan perasaannya. Tidak ada suatu kata pun yang dapat kuungkapkan. Aku hanya menunduk, sesekali menatapnya. Aku mencoba menyerap kemarahan itu dan mencoba mengubahnya menjadi semangat dan harapan, tetapi rumit. Itu begitu besar dan menyala-nyala. Jika ceroboh, aku akan terbakar hangus bersamanya.
Kami duduk di resto itu cukup lama. Penyair itu menyuruhku untuk memesan sesuatu, jika aku ingin. Tapi tidak. Aku bergeming, sekaligus takjub. Bagaimana pun, kecintaannya terhadap Sastra Kita telah membuatnya hidup menjadi dan, bagiku, dia adalah Seni Sepanjang Abad. Dia akan hidup, akan selalu, di hati orang-orang tahu betapa pesakitan hidup di darahnya dan berseteru dengan akal sehat dan nuraninya yang jujur terhadap apa yang dia lakukan dan komitmen individualnya sebagai Penyair. Tidak berapa lama kemudian, seorang perempuan Jerman, Katrin Bandel, membuka pintu resto, kemudian duduk di hadapan Penyair itu, berhadapan. Sementara aku, duduk di tengah-tengah, seakan-akan berada dalam pertemuan tebing yang begitu tinggi begitu kokoh dan lautan yang berombak, berbadai yang selalu menghantam batu-batu karang atau melenyapkan satu peradaban manusia.
Aku tahu ini suatu kelancangan yang sebenarnya tidak perlu kuceritakan kepada engkau sekalian. Tetapi, aku tidak memiliki kemampuan untuk menahan kesaksian ini lebih lama lagi. Aku khawatir ini akan menjadi barah yang bisa membunuhku. Jadi, Katrin Bandel melelehkan airmata ketika mendengar perlu uang sebanyak 30 juta rupiah untuk operasi penyakit lama Penyair itu. Itu terjadi ketika Penyair itu pergi ke toilet. Aku tidak memiliki cerita yang lucu untuk menghibur Katrin Bandel, dan memang sepertinya yang tepat adalah diam dan mengahayati perasaan sakit ini seorang diri. Katrin Bandel masih melelehkan airmata dan tidak bicara sekata pun, pun denganku. Ketika kami saling menatap, akhirnya Katrin Bandel mengatakan sesuatu yang masih kuingat sampai sekarang – kelak, mungkin tentang ini akan menjadi sebuah novel: “Ini adalah puncaknya bagi Bang Saut. Dia bersiteguh dengan komitmennya. Karena itu, dia tahu konskuensinya. Ini hanyalah salah satu, akan ada lagi. Dan, akan selalu ada. Temani dia, kumohon. Aku tidak dapat membantu lebih. Apalah pekerjaan sebagai dosen? Kumohon.”
Di Rumah Sakit Bethesda, kami duduk bertiga, sama-sama menahan diri, sama-sama menangis dalam hati, sama-sama memiliki tatapan sendu ketika melihat satu sama lain, sebelum akhirnya pulang dengan pesakitan yang selalu menjadi bayangan diri sendiri. Namun, agar tetap hidup sebagaimana yang telah disumpahkan dalam jalan hidup, Penyair itu mengobati dirinya sendiri dengan tissue dan mineral. Setiap malam, dalam kesaksianku, dia terjaga karena tidak bisa telentang, tidak bisa duduk dengan nyaman seperti sedianya. Di rumah penuh dengan buku klasik itu, sebuah guci putih untuk Arak, bergeming. Kami berdua duduk, membisu dalam keramaian Pojok Benteng, Yogyakarta. Dan, kenyataan bahwa Penyair itu berusaha membunuh block-writer dalam kepalanya, membuatku takjub. Bagaimana pun, kecintaannya terhadap Sastra Kita, tidak akan dipahami orang-orang bodoh yang membencinya.
Surabaya, 2018-2021.