Djoko Saryono *
Jatidiri menunjuk pada seperangkat ciri yang melekat pada seseorang atau keadaan khusus seseorang. Ciri-ciri apakah yang harus melekat pada seseorang agar yang bersangkutan bisa disebut pangapresiasi sastra? Terdapat dua ciri pokok yang harus melekat pada diri seseorang agar bisa disebut menjadi pengapresiasi sastra.
Pertama, seseorang itu sedang (dalam keadaan) menggauli dan menggumuli karya sastra. Ini berarti dia sedang (dalam keadaan) berhadapan dengan karya sastra sehingga dia sedang berinteraksi dengan karya sastra. Berhadapan dengan karya sastra di sini bisa berarti sedang membaca sebuah novel, bisa pula sedang mendengarkan atau menyimak pelisanan cerpen dan puisi.
Kedua, seseorang itu mengarahkan dan mencurahkan nurani, rasa, dan budinya secara sungguh-sungguh, khusyuk, dan total kepada karya sastra, bukan pada yang lainnya. Jika diarahkan dan dicurahkan kepada selain sastra, maka berarti dia tidak dalam keadaan berinteraksi dengan karya sastra dan berakibat tidak terselenggaranya proses apresiasi sastra.
Sejalan dengan itu, semua orang yang memenuhi dua ciri pokok tersebut dapat disebut menjadi pengapresiasi sastra. Karena itu, dapat dikatakan bahwa pengapresiasi sastra adalah semua orang yang sedang menggauli dan menggumuli guna mencerap, menerima, menjiwai, menghayati, dan menikmati karya sastra secara sungguh-sungguh, total, dan khusuk. Hal ini lebih jauh mengimplikasikan dua hal.
Pertama, pengapresiasi sastra tidak sama, malah berbeda sekali dengan kritikus sastra, ahli sastra, mahasiswa fakultas/jurusan sastra, dan sejenisnya meskipun mereka dapat disebut menjadi pengapresiasi sastra bila memenuhi dua ciri pokok tersebut di atas. Aparatur negara sebuah kementerian, pegawai bank, ahli ekonomi, anak-anak putus sekolah, mahasiswa hukum, dan sebagainya dapat juga disebut menjadi pengapresiasi sastra apabila memenuhi dua ciri pokok tersebut di atas. Sebagai contoh, H.B. Jassin yang dikenal sebagai kritikus sastra dan Emil Salim yang dikenal sebagai ahli ekonomi dan lingkungan bisa sama-sama disebut pengapresiasi sastra jika memiliki dua ciri tersebut. Di sini substansi diri kedua orang tersebut bukan kritikus sastra dan ahli ekonomi dan lingkungan, melainkan pengapresiasi sastra.
Kedua, berkaitan dengan butir pertama, pengapresiasi sastra bukanlah sebuah profesi yang sifatnya permanen seperti guru, manajer, dan pengusaha, melainkan sebuah peran yang fungsional. Karena merupakan sebuah peran fungsional, siapa pun boleh dan bisa mengisi peran itu: kritikus sastra, ahli sastra, ahli hukum, ulama, dan sebagainya. Dalam hal ini sudah tentu harus dipegang persyaratan utamanya: mereka harus memenuhi dua ciri pokok tersebut di atas! Kalau tidak, mereka tidak bisa berperan menjadi pengapresiasi sastra.
Sebagai contoh, pada waktu membaca sebuah karya sastra, Emil Salim dapat disebut berperan menjadi pengapresiasi sastra sebab substansi perannya memang demikian. Tegasnya, Emil Salim seorang pengapresiasi sastra. Pada waktu mengurusi pencemaran lingkungan, Emil Salim bukanlah pengapresiasi sastra karena substansi peran pengapresiasi sastra tidak terdapat dalam dirinya.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pengapresiasi sastra bisa berasal dari berbagai profesi. Orang yang menjalani profesi apa pun bisa menjadi pengapresiasi sastra tanpa dibebani persyaratan formal seperti ijazah, sarjana, mahir komputer, dan sebagainya. Itulah sebabnya, dapat dikatakan bahwa menjadi pengapresiasi sastra bukan suatu hal luar biasa, istimewa, dan eksklusif, melainkan suatu hal biasa, wajar, dan tidak eksklusif (baca: inklusif). Menjadi pengapresiasi sastra sebanding dengan menjadi ayah, ibu, penolong kecelakaan, pencangkul, penyapu, dan pengemudi.
Karena bisa berasal dari beragam profesi, pengapresiasi sastra berarti berlatar belakang beragam pula, baik latar belakang pendidikan, pengalaman, pengetahuan maupun sosial dan budaya. Latar belakang ini tentu akan memengaruhi proses keberlangsungan apresiasi sastra sebagaimana sudah diulas sebelumnya. Selain itu, juga akan menimbulkan keragaman pengapresiasi sastra.
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.
2 Replies to “JATI DIRI PENGAPRESIASI SASTRA (14)”