Jejak Kata, L.K. Ara
Ferdian Ananda Majni
Media Indonesia, 6 Jan 2018
LESIK Keti Ara atau LK Ara lahir di AcehTengah, 12 November 1937. Seniman dan penyair lintas generasi asal tanah Gayo ini telah menunjukkan konsistensi dan kesetiaannya pada dunia sastra nasional. Memasuki usianya yang ke 80 tahun, sejumlah penyair dan seniman dari seluruh Indonesia mengapresiasinya dengan catatan karya berupa puisi yang dibukukan. Lahirlah buku yang bertajuk Antologi Sastra 80 Tahun Lk Ara Jejak Kata. Puluhan seniman dan penyair ambil bagian menulis puisi, prosa, esai, dan testimoni tentang rekam jejak LK Ara. Ini sebagai bentuk penghormatan kepada LK Ara, di antaranya, D Zawawi Imron, Rida K Liamsi, Ahmadun Yosi Herfanda, Eka Budianta, Rizaldi Siagian, Fikar W. Eda, Zulfaisal Putra, Wayan Jengki Sunarta, Dedy Tri Riyadi, Deni Kurnia, Sulaiman Juned, Sulaiman Tripa, Syarifuddin Arifin, Salman Yoga, Teuku Ahmad Dadek, dan Nurdin F Joe.
Dalam perjalannya, sosok LK Ara tak hanya menulis puisi, tetapi juga cerita, cerita rakyat, esai, dan Ensiklopedia. Ia pun tekun mengumpulkan syair-syair tradisi seperti puisi didong dari Gayo dan pantun dari Bangka Belitung. Di sisi lain, riwayat pekerjaannya cukup panjang.
Ia pernah menjadi redaktur budaya Harian Mimbar Umum (Medan) dan pegawai Sekretariat Negara. Terakhir, dia bekerja di Balai Pustaka hingga pensiun (1963- 1985). Saat bekerja di Balai Pustaka itulah, bersama sejumlah seniman lain, ia mendirikan Teater Balai Pustaka pada 1967. Ia memang terus gelisah dan jemarinya tergerak untuk menulis, di mana pun dan kapan pun. Kemudian, jangan terkejut tatkala menemukan sosok pria berkopiah Gayo ini acap ambil bagian di berbagai tempat, tidak terbatas di forum-forum sastra, baik di dalam maupun di luar negeri, sekalipun di forum nonsastra.
Terlalu sering, ia membaca puisi berduet dengan istrinya, Ine Hidayah yang juga penyair dan penyanyi tradisional Gayo. Lengkap sudah hidupnya, bersama puisi-puisi; melahirkan dan membacakannya. Ine bersyair ratapan dari Gayo menguatkan bait-bait puisi LK Ara.
Penyair produktif
Produktivitasnya dalam menulis dan melahirkan buku pun luar biasa. Peneliti bahasa dan budaya Gayo, Yusradi Usman Al-Gayoni menyebutkan sejak akhir 1960-an hingga 2017, LK Ara telah menyelesaikan 120 judul buku. Pun jenis bukunya sangat bervarian, mulai karya sastra dan hasil riset budaya. Selain itu, ia berhasil mengumpulkan 2.000 pantun. Sebanyak 1.000 pantun telah diterbitkan dengan judul Pucuk Pauholeh Yayasan Nusantara pada 2005. Tak hanya itu, selama 2 tahun di Bangka Belitung, ia turun ke sekolah-sekolah untuk membaca puisi bersama penyair setempat seperti Ian Sancin, Suhaimi, dan ario.
Untuk segala dedikasi, aktivitas dan kreativitasnya dalam sastra dan budaya itulah menjadi keharusan bagi siapa pun untuk memberikan apresiasi yang layak bagi sosok pria senja nan tangguh ini. Maka itu, semacam keniscayaan dan tabik tanda cinta yang tak memudar kepada sosok LK Ara. Penyair yang menetap di Padang, Syarifuddin Arifin mengungkapkan apresiasinya dalam bentuk Kopi Gayo. Secangkir kopi yang kau suguhkan, menyeruakkan aromanya, merontokkan bulu hidungku. Pohonnya tumbuh di daratan tinggi Gayo, melambai, menggamit si mata biru.
Mukjizat kopi mu, ayah. memperkuat daya tahan Aceh. Kemudian, pria kelahiran Kaliwungu Jawa Tengah, Ahmadun Yosi Herfanda ambil bagian dalam bait-bait yang mengetarkan. Tubuh pipih itu teguh melintas rinai hujan, dengan peci runcingnya ia pahatkan nama, pada tembok tembok kota, Ohoi, hujan pun menyisih dari langkahan yang menebarkan, harum aneka bunga. “Aku penyair Ara. Namaku abadi, pada pelepah-pelepah daun kelapa! Ketika daun lontar habis kutulisi puisiku bergelantungan pada teras-teras gedung tua” Sudah sepantas, puisi-puisi tidak akan usai untuk mengambarkan sosok LK Ara. Terlebih, wujudnya dalam karya puisi sufi stik Ucap Gemercik yang terbit awal 2017.
Puisi gemercik air sebagai kado suatu kredo yang mewarnai dalam beberapa puisi yang lainnya. Dengarkan lah penyair bermadah:
Ucap gemercik air
Ia selalu berlama-lama
Di tepi sungai
Kadang matanya memandang ke air
Kadang menatap langit jauh
Kadang ke rindang pohon yang teduh
Telinganya yang tua
Tak jemu mendengar
Gemercik air
Puisi ini begitu kuat dengan tiga renungan indra pencerahan. Pertama mata yang melihat, kedua telinga yang mendengar, dan yang ketiga rasa yang memahami. Penglihatan penyair bukan sekadar lanskap alam, melainkan juga penglihatan batin. Sifat-sifat air yang menyampaikan gerakan perubahan dan mendinamiskan suara alam serta suara pemikiran bahwa hidup ialah denyut perubahan. Dari keremajaan hati sampai kematangan batin, telinganya yang tua tak jemu mendengar gemercik air. Usia kepenyairan LK Ara sampai saat ini menegaskan dirinya tetap memandang perubahan zaman dengan bijak tanpa rasa jenuh dan pasrah.
Lalu, pada puisi Batu penyair LK Ara menyapaikan petuah tentang batu yang mengeras dan mengkristal ditempah zaman berzaman. Begitu pada puisi Jumat tentang kerinduan akan bulan suci Ramadan dan renungan serta muhasabah diri akan dosa-dosa masa lalu.