Aprinus Salam *
Dalam kehidupan sehari-hari, ada ruang ketiga yang biasa dijadikan alternatif. Alternatif baik sebagai ruang keranjang sampah masalah maupun sebagai ruang untuk menyelesaikan masalah. Ruang itu kita sebut sebagai Kambing Hitam. Sesuatu yang dituduh dan diprasangkai bersalah.
Mungkin perlu dicari dan dijelaskan mengapa frasa atau ungkapan yang dipilih adalah Kambing Hitam. Apa yang salah pada Kambing sehingga cukup banyak digunakan untuk asosiasi-asosiasi yang negatif, seperti Kambing Bandot, Musang berbulu Domba (maksudnya sama dengan Kambing).
Misal lain, dia seperti orang yang bisanya cuma mengembik, sebagai penilaian terhadap karakter yang bisanya mengekor, bisanya cuma patuh bahkan seperti dalam ketakutan, dan mengiyakan apa yang terjadi atas dirinya.
Selain itu, apa yang salah dengan warna hitam. Tentu kita bisa menjelaskan sejarahnya bagaimana kemudian warna hitam menjadi sesuatu yang berdimensi rasis, atau hal-hal yang gelap lainnya. Tak pelak, warna sebaliknya dianggap unggul.
Padahal, daging kambing itu enak. Kambing bisa untuk bisnis, dan cara atau biaya pemeliharaannya juga tidak terlalu merepotkan. Namun, tetap saja kita memakai ungkapan Kambing Hitam, untuk mengatakan pihak-pihak yang dicari-cari kejahatannya.
Namun, sebenarnya, inilah salah satu kontribusi yang relatif baik dari apa yang disebut sebagai yang di-Kambing-Hitam-kan. Dalam kosmologi dan kisah pewayangan, Sengkuni dijadikan Kambing Hitam untuk dijadikan tempat dan ruang kesalahan dan kehinaan.
Bayangkan kalau tidak ada Sengkuni, siapa yang dijadikan Kambing Hitam. Tidak mungkin para tokoh “baik” dan unggulan, karena bukan saja tidak pantas, tetapi pasti para tokoh baik dan unggulan itu tidak mau karena terkait harga diri. Untuk mempertahankan harga diri, bisaterjadi perang atau berbagai konflik lainnya.
Begitulah berbagai kisah sejarah yang sering didengar atau dibaca. Terutama pada pihak yang kalah, di kemudian hari selalu mencari-cari siapa Kambing Hitam yang menyebabkan kekalahan. Indonesia dijajah Belanda hingga ratusan tahun, hingga kini masih ada upaya mencari apa dan siapa Kambing Hitamnya untuk merasionalisasi, dan sekaligus sebagai upaya menetralkan, mengapa Indonesia bisa dijajah hingga ratusan tahun.
Kemudian, muncullah penemuan dan temuan bahwa kita adalah bangsa yang belum pandai, tetapi sekaligus sebagai bangsa yang baik dan penyabar. Bisa juga temuan itu seperti kita adalah bangsa yang masih lemah, tidak kompak, bahkan seperti belum ada kesadaran berbangsa. Indonesia adalah bangsa yang tidak pintar bersiasat, mudah diadu-domba, mudah diadu-kambingkan.
Pada taraf itu, muncullah Kambing Hitam, sebagai pihak yang berkhianat yang menyebabkan Indonesia terjajah ratusan tahun. Karena sosok-sosok Kambing Hitam sudah muncul, maka kita menerima sejarah kekalahan tersebut, sebagai upaya memaafkan masa lalu, untuk pembelajaran ke depan.
Dalam sejarahnya, rakyat bisa dijadikan Kambing Hitam. Bukan saja rakyat itu lemah (dan dilemahkan) sehingga tidak memiliki kemampuan untuk membela nama baik dan harga dirinya. Rakyat memang jarang ditokohkan sebagai kekuatan yang diunggulkan. Padahal, tanpa rakyat, bisa apa sebuah bangsa dan negara.
Namun, bisa jadi itu pun bentuk pengorbanan dan pengabdian rakyat pada nusa dan bangsanya. Rakyat adalah ruang yang sangat fleksibel untuk dijadikan sasaran tembak. Bukan saja karena rakyat itu beragam, tetapi yang mencatat sejarah memang bukan rakyat. Yang mencatat sejarah adalah pihak yang dalam posisi menang dan kuat.
Artinya, kisah Kambing Hitam adalah kisah kekalahan. Kita tidak mencari Kambing Hitam mengapa Indonesia bisa merdeka pada 17 Agustus 1945. Kisah yang muncul adalah kisah heroisme dan berbagai kehebatan lainnya. Apakah Kambing Hitam tidak berperan pada peristiwa kemerdekaan Indonesia?
Sebaliknya, peristiwa 1965, peristiwa 1998, atau partai politik yang kalah bersaing dalam pemilu, selalu saja dicari siapa dan apa yang menyebabkan berbagai kisah pahit itu. Kalau sudah ketemu Kambing Hitamnya, seolah nanti cerita sudah bisa diterima. Kemudian, sejarah pun menjadi pelajaran. Kita berusaha bersiasat, membangun strategi kehidupan, agar tidak ada Kambing Hitam lagi, kalau bisa.
Kini pun, ketika berbagai upaya Indonesia menanggulangi pandemi Covid-19, masih dicari celah-celah, di mana, atau apa atau siapa Kambing Hitam yang menyebabkan Indonesia mengalami kesulitan dalam menanggulangi pandemi. Kalau segera berhasil, kita tidak mencari-cari Kambing Hitam. Kalau dianggap gagal, maka Kambing Hitam akan dimunculkan.
Sejarah adalah kisah kekalahan dan kemenangan. Dalam kekalahan dan kemenangan tersebut, sejarah akan mencatat selalu ada Kambing Hitam yang siap dikorbankan.
***
*) Dr. Aprinus Salam, M. Hum., Sastrawan kelahiran Riau, 7 April 1965. Dosen FIB UGM, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM sejak 2013, Anggota Senat Akademik UGM 2012-2016, Konsultan Ahli Dinas Kebudayaan DIY (2013-2016). Pendidikan S1, Bahasa dan Sastra Indonesia FIB UGM (Lulus 1992), S2 Program Studi Sastra Pasca Sarjana UGM (Lulus 2002, salah satu wisudawan terbaik), S3 Program Studi Sastra (Program Studi Ilmu-Ilmu Humaniora, Pascasarjana FIB UGM, lulus 2010). Alamat website https://aprinussalam.com/