Djoko Saryono *
/0/
Kita bisa mendapatkan tiga keberadaan atau kehadiran apresiasi sastra. Pertama, ada umumnya kita merasa yakin bahwa sesuatu yang dinamakan apresiasi sastra itu hadir secara substansial dan mandiri walaupun kita belum mengetahui sosok dan jati dirinya secara tegas. Kedua, pada umumnya kita merasa yakin bahwa apresiasi sastra berbeda dan dapat dibedakan dengan, misalnya, kritik sastra dan penelitian sastra. Kemudian ketiga, apresiasi sastra merupakan sosok tersendiri dalam dunia (penghadapan) sastra atau dunia penggaulan sastra yang harus diakui dan diabsahkan. Dengan demikian, secara umum dapat disimpulkan bahwa setidak-tidaknya in abstracto atau by concept apresiasi sastra hadir secara substansial dan mandiri dalam dunia (penghadapan) sastra. Hal ini membawa risiko bahwa kehadiran apresiasi sastra harus diterima sebagai fakta walaupun secara operasional kita masih sukar menemukan sosok dan jati dirinya.
Pengakuan kehadiran apresiasi sastra tersebut lebih lanjut menimbul¬kan persoalan. Persoalan yang dimaksud bersangkutan dengan latar belakang keberadaan atau kehadirannya. Mengapa apresiasi sastra hadir dalam dunia (penghadapan) sastra? Apa sajakah faktor-faktor yang mendorong kehadiran apresiasi sastra dalam dunia (penghadapan) sastra? Secara dikotomis faktor-faktor pendorong kehadiran apresiasi sastra dapat digolongkan ke dalam dua golongan, yaitu (i) pendorong internal atau endogen, dan (ii) pendorong eksternal atau eksogen. Berikut ini dipaparkan kedua pendorong ini.
/1/
Yang dimaksud dengan faktor pendorong internal ialah faktor-faktor pendorong kehadiran apresiasi sastra yang berasal dari karya sastra sendiri. Karya sastra memiliki kemampuan atau daya untuk ”memaksa atau mengharuskan” manusia atau masyarakat sastra untuk menggauli dan menggumulinya. Dalam hubungan ini karya sastra diperlakukan sebagai sosok hidup yang memiliki daya-diri untuk mengatur dirinya sendiri dan ”memikat” orang untuk menggauli dan menggumulinya, bukan sekadar barang mati (artefak) yang hampa daya yang dilecehkan oleh banyak orang.
Sebagai sosok yang hidup, dengan daya-dirinya sastra mampu mengembangkan dirinya sendiri. Sastra selalu gesit dan dinamis berkem¬bang menyertai sosok-sosok lainnya, misalnya politik, ekonomi, kesenian, dan kebudayaan. Malahan karya sastra sering berkembang melesat mendahului dan meninggalkan semuanya. Karena itu, sastra mampu lebih dahulu mengintroduksi dan menyuguhkan sesuatu dibandingkan dengan yang lainnya. Sistem berpikir dan pandangan hidup eksistensialisme, universalisme, kosmopolitanisme, dan pascamodernis¬me pertama-tama diintroduksi dan disuguhkan oleh sastra. Pascamoder¬nisme yang sekarang mulai populer dan merasuk ke berbagai bidang diintroduksi dan disuguhkan oleh (dunia) sastra. Bahkan pandangan hidup Pancasila sudah diintroduksi dan disuguhkan oleh sastra jauh sebelum sosok lain memikir¬kannya. Betapa tidak! Manifes Kebudayaan yang dilarang oleh rezim Soekarno, pada tahun 1963 sudah mencanang¬kan asas tunggal pandangan hidup yang berbunyi Falsafah kebudayaan kami Pancasila, sedangkan politik dan lain-lainnya baru mencanangkan¬nya pada pertengah¬an dasawarsa 1980-an pada masa rezim Soeharto. Hal ini menunjukkan bahwa sastra memiliki kemampuan sebagai pioner dalam kehidupan manusia.
Dengan daya-dirinya pula sastra mampu membangun, mendirikan, dan menegakkan dunia tersendiri yang berbeda dengan dunia sosial, dunia ekonomi, dunia politik, dan dunia empiris lain. Dalam perjalanan hidup sastra dan manusia, tampak jelas bahwa sastra telah membangun dunia khas sastra yang kontempaltif, religius, imajinatif, ilahiah, penuh damai, penuh kejujuran, penuh kearifan, penuh teladan, dan sebagainya. Dunia seperti ini memberikan kenyamanan psikologis dan batiniah kepada manusia. Manusia dibebaskan dan dilepaskan dari kekerasan, kecurigaan, kemunafikan, kebohongan, kepura-puraan, kedengkian, kecemburuan, ketamakan, dan kesombongan, serta kecongkakan. Manusia dikembalikan kepada kesahajaan, kearifan, kebijakbestarian, ketenangan, kewaskitaan, kesigapan, dan kekhusukan. Manusia dibimbing untuk melihat wajahnya sendiri, wajah saudara-saudaranya, wajah teman-temannya, dan wajah manusia lainnya. Manusia dibimbing ke arah hablum minannas dan hablum minallah. Manusia dipandu menuju dunia penuh rahmatan lil alamin yang menyejukkan dan asri. Jadi, dunia sastra mampu mengembalikan manusia kepada hakikatnya sebagai hamba dan khalifah Allah (duh terpeleset gaya kotbah!)
Selain daripada itu, sastra juga mempunyai kemampuan untuk merekam semua peristiwa dan pengalaman yang empiris-natural maupun peng¬alaman yang nonempiris-supernatural; baik pengalaman res extenza maupun res cogitans. Dengan daya-dirinya malahan sastra mampu menjadi saksi dan pengomentar kehidupan manusia. Peristiwa-peristiwa dan pengalaman-pengalaman sedih, gembira, menyenangkan, mengha¬rukan, mengerikan, kejam, sadis, dan sebagainya terekam, tersimpan, dan terawat dengan baik dalam sastra. Bacalah Doktor Zhivago (Boris Pasternak), Max Havelaar (Multatuli), Madame Bovary (Faulbert), Burung-burung Manyar (Y.B. Mangunwijaya), Bumi Manusia (Pramu¬dya Ananta Toer), Para Priyayi (Umar Kayam), Maut dan Cinta (Mochtar Lubis), Robohnya Surau Kami (A. A. Navis), Godlob (Danarto¬), Javid Namah (Muhammad Iqbal), Lelaki Tua dan Laut (Ernest Hemingway), Musyawarah Burung-burung (Fariduddin Attar), Sang Nabi dan Sayap-sayap Patah (Kahlil Gibran), Anna Karenina (Leo Tolstoy), dan Keindahan dan Kepiluan (Kawabata Yasunari) serta trilogi Oeidipus di Colonus, Oedipus Sang Raja, dan Oeidipus Berpulang (Sopochles) niscaya Anda akan menemukan peristiwa-peristiwa dan pengalaman-pengalaman kemanusiaan yang demikian beraneka ragam. Peristiwa dan pengalaman itu akan mengiankemarikan, mengharubirukan, membasahsejukkan, dan memekatajamkan nurani dan budi Anda!
Sejalan dengan itu, sastra juga mampu menawarkan dan menyuguhkan beraneka ragam pengetahuan. Sudah tentu pengetahuan yang ditawarkan dan disuguhkannya berbeda dengan pengetahuan yang ditawarkan dan disuguhkan oleh ekonomi, politik, sosial, dan sejenisnya. Pengetahuan yang ditawarkan dan disuguhkannya bukanlah pengetahuan keilmuan (yang dikemas dalam bahasa proposisional-jinak-kering, sistematika rasional dan bernalar, dan gaya yang hampir-hampir kaku sepenuhnya), melainkan pengetahuan khas sastra (yang dikemas dalam bahasa intensional-liar-penuh kemungkinan dan tafsiran, sistematika tekstural atau struktural yang memikat, dan gaya naratif-metaforis yang memikat). Pengetahuan khas sastra yang dimaksud adalah pengetahuan yang hidup, bagai bernapas, dinamis, dan terus bergerak yang harus ditangkap sendiri oleh manusia untuk dipenjarakan dalam nurani dan budinya. Bacalah karya-karya sastra yang sudah disebutkan di atas, niscaya akan dapat ditemukan, ditangkap, dan direbut beraneka ragam pengetahuan; pengetahuan literer, religius, etismoral, sosial, politis, psikologis, filosofis, dan sebagainya. Kadarnya tentu saja bergantung pada kadar perjuangan kita dalam menemukan, menangkap, dan merebutnya karena sastra memang tak menyuguhkan pengetahuan jadi kepada kita. Bukan pengetahuan siap-pakai yang disuguhkan sastra. Sastra mempunyai kemampuan khas dalam menyuguhkan pengetahuan kepada manusia.
Dengan pengalaman-pengalaman kemanusiaan dan pengetahuan-pengetahuan yang terdapat di dalamnya, sastra juga mampu menepuk dan mengingatkan manusia dari jalan tak semestinya. Sastra yang baik (dalam arti ditulis dengan penuh kejujuran, kebeningan, kesungguhan, kearifan, dan keluhuran nurani dan budi manusia) selalu mampu mengingatkan, menyadarkan, dan mengembalikan manusia ke jalan semestinya, yaitu jalan kebenaran dalam usaha menunaikan tugas-tugas kehidupannya. Karena itulah sastra mampu menjadi pemandu jalan menuju kebenaran hakiki. Sastra merupakan jalan ke empat menuju kebenaran, demikian dikemukakan oleh Prof. Dr. A. Teeuw, pemerhati dan pakar sastra Indonesia dari Belanda. Max Havelaar (Multatuli) telah mengingatkan dan menyadarkan kita akan adanya ketidakadilan dan kebobrokan sistem sosial dan hukum dalam praktik-praktik kolonialisme Belanda. Robohnya Surau Kami (A.A.Navis) mampu mengingatkan dan menyadarkan kita bahwa beribadah kepada Allah bukan hanya shalat di tempat-tempat ibadah, melainkan juga harus bekerja dan berhubungan dengan orang lain.
Sysiphus (Albert Camus) mampu mengingatkan dan menyadarkan kita bahwa bagaimanapun berat dan sia-sianya tugas dan pekerjaan kita, kita tak boleh mengabaikannya dan harus terus mengerjakannya. Kita diberi tuntunan agar mengerjakan apa yang memang seharusnya kita kerjakan, bukan hanya mengerjakan apa yang kita senangi. Javid Namah (Muhammad Iqbal) mampu menyadarkan kita bahwa manusia bukanlah sekadar makhluk badani yang fana, namun lebih dari itu, manusia adalah makhluk rohani yang abadi yang bisa mengembara ke alam adikodrati (supernatural), bertemu dan berbicara dengan manusia-manusia (yang kita putuskan) sudah mati. Pendek kata, sastra merupakan jalan sekaligus mata air kebenaran yang – dengan hikmah-hikmahnya – senantiasa mengingatkan dan menyadarkan manusia agar hidup lebih baik, benar, dan direstui oleh-Nya.
Tanpa harus mendedah dan memaparkan seluruh kemampuan yang oleh dimiliki oleh sastra, dengan kemampuan-kemampuan sastra yang dipaparkan tersebut di atas kita sudah bisa memahami bahwa sastra mempunyai kemampuan-kemampuan yang menghidupi dirinya dan dimanfaatkan untuk berdialog dengan manusia. Itulah sebabnya sastra mampu hidup terus-menerus sepanjang sejarah manusia, tak pernah mati. Fenomena ini menyebabkan manusia senantiasa ingin berinteraksi dengan sastra. Keinginan ini lebih jauh menimbulkan hubungan dialektis antara manusia dan sastra. Hal ini kemudian menjadi pendorong bagi hadirnya apresiasi sastra dalam dunia (penghadapan) sastra.
/2/
Yang dimaksud dengan faktor pendorong eksternal di sini ialah faktor-faktor pendorong kehadiran apresiasi sastra yang ada di luar karya sastra. Pengertian di luar karya sastra ini bisa berarti dalam pribadi atau diri manusia dan/atau institusi yang diciptakan oleh manusia. Dalam hubungan ini ada dua hipotesis. Pertama, bahwa manusia memerlukan sastra karena sastra dapat memenuhi keperluan hidupnya. Kedua, manusia menciptakan institusi-institusi tertentu untuk mewadahi keperluannya akan sastra. Institusi-institusi tertentu ini kemudian menjadi pendorong bagi hadirnya sesuatu yang bersangkutan dengan sastra. Dengan demikian, sekali lagi, faktor pendorong eksternal kehadiran apresiasi sastra dapat berasal dari diri manusia dan institusi yang diciptakannya.
Sudah sejak lama para filsuf dan ilmuwan, misalnya Ernst Cassirer, Johan Huizinga, dan Muhammad Iqbal, mengingatkan bahwa manusia bukan hanya homo faber, homo economicus, dan animale rationale, melainkan juga homo ludens, homo fabulans, dan animal symbolicum. Karena itu, manusia tak hanya memerlukan kerja, makan, minum, mencari rezeki, dan semacamnya, tetapi juga memerlukan bermain, tertawa, bercerita, merenung, dan semacamnya. Bukan hanya badannya yang memerlukan santapan, tetapi juga sosok rohaninya memerlukan siraman. Bukan hanya tubuh, tulang belulang, daging-tulang, dan otot-ototnya saja yang harus dijamu dengan aneka ragam makanan, melainkan juga jiwa, nurani, dan budinya harus diguyur oleh berbagai ”kesejukan”. Dengan demikian, secara dikotomis dapat dikatakan bahwa manusia memerlukan hajat hidup badani dan hajat hidup rohani.
Agar dapat berkembang dan hidup dengan baik, lengkap dan laras, setiap hari manusia perlu memenuhi hajat hidup badani dan rohaninya. Hajat hidup badani dapat dipenuhi oleh nasi, air, roti dan sebagainya, sedangkan hajat hidup rohani tidak. Hajat hidup rohani hanya dapat dipenuhi oleh ajaran agama, cerita-cerita pengalaman manusia, imaji-imaji tentang berbagai realitas hidup, dan sejenisnya. Dalam hubungan inilah sastra dapat mengambil tempat, karena sastra merekam, menyimpan, dan merawat keperluan-keperluan hajat hidup rohani tersebut. Di dalam sastralah manusia dapat menemukan pengalaman-pengalaman kemanusiaan, imajinasi-imajinasi, dan sejenisnya untuk memenuhi hajat hidup rohaninya sehari-hari. Dalam fungsi seperti ini sastra dapat dianggap sebagai perkara sehari-hari yang tak beda dengan nasi, air, dan jajan. Sastra, nasi, air, dan jajan setiap hari sama-sama memenuhi hajat hidup manusia.
Sejalan dengan itu, dapat dikatakan bahwa sesungguhnya manusia tak dapat dilepaskan atau terlepas dari sastra. Senantiasa manusia merasa perlu berinteraksi dengan sastra; setiap hari rasanya manusia butuh sastra meskipun kebutuhan ini sering dihadang oleh kendala-kendala sosial ekonomis dan persoalan-persoalan lain. Namun, jelas, dalam rohaninya selalu bergema kebutuhan akan sastra karena tanpa sastra ketandusan dan kekeringan rohani bisa terjelma. Tak mengherankan, masyarakat kita berduyun-duyun senang menonton wayang semalam suntuk meskipun esoknya harus bekerja. Tak mengherankan pula di dalam masyarakat kita tumbuh subur kegiatan-kegiatan berinteraksi dengan sastra. Hal ini bisa dilihat dalam tradisi mocopatan di Jawa, mabebasan di Bali, berbalas pantun di Sumatra, parikan di Jawa Timur, dan sebagainya. Selain itu, perhatikan pula perilaku orang-orang di terminal, stasiun, dan toko-toko buku. Mereka sering membaca buku-buku sastra dan/atau membolak-balik buku sastra.
Demikian pentingnya sastra dalam hidup manusia membuat manusia memasukkan sastra ke dalam institusi-institusi yang diciptakannya. Institusi-institusi pendidikan Indonesia, mulai jenjang terendah sampai jenjang tertinggi, memasukkan sastra ke dalamnya. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah, bahkan pendidikan tinggi mencantumkan” pelajaran” bahasa dan sastra Indonesia. Mau tak mau institusi tersebut harus menyediakan prasarana dan menciptakan kegiatan yang dapat menunjang keberhasilan ”pelajaran” bahasa dan sastra Indonesia. Buku-buku sastra, majalah-majalah sastra, lomba baca puisi dan cerpen, dan sebagainya kemudian diciptakan oleh berbagai institusi pendidikan di Indonesia.
Selain daripada itu, institusi-institusi sosial juga menaruh perhatian besar terhadap sastra. Berbagai institusi sosial justru menaruh perhatian khusus terhadap sastra. Di Indonesia tumbuh subur Dewan-dewan Kesenian, Taman-taman Budaya, dan Sanggar-sanggar Seni, misalnya Dewan Kesenian Jakarta, Taman Budaya Padang, Sanggar Bambu Yogyakarta, dan Pelangi Sastra Malang yang mengayomi dan menghidupi kesenian termasuk sastra. Wujud pengayoman dan penghidupan ini berupa berbagai kegiatan yang bersangkutan dengan seni khususnya sastra, misalnya diskusi dan sarasehan sastra. Tumbuh subur juga di Indonesia pelbagai kelompok studi sastra dan dokumentasi sastra, misalnya Kelompok Studi Sastra Tegal, Himpunan Pekerja Seni Malang, Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Yassin, dan Dokumentasi Sastra Korrie Layun Rampan. Berbagai institusi sosial yang khusus sastra ini tentu saja secara ajek dan intensif melakukan kegiatan-kegiatan yang berurusan dengan sastra, misalnya dialog kesusastraan, sarasehan sastra, dan lomba baca sastra. Semua kegiatan yang dilakukan oleh institusi sosial tersebut selanjutnya mendorong kita untuk merenungkannya dan kemudian menamakannya apresiasi sastra.
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.
2 Replies to “KEHADIRAN APRESIASI SASTRA (8)”