Muhammad Yasir
Hanya para Dewan Pemakaman Rakyat itulah yang benar-benar mengerti bagaimana dan seperti apa tata cara terbaik dan mulia menghantarkan manusia ke rumah terakhir mereka di Bumi! Bagaimana pun engkau mendebat mereka, sekali pun telah engkau khatamkan kitab hukum dan undang-undang, sosial dan politik, bahkan filsafat Timur dan Barat, sungguhlah mereka hanya akan menertawakanmu! Mereka, bukan binatang-binatang di gedung perwakilan atau departemen keadilan dan hak asasi manusia. Jadi, meskipun engkau seorang intelek-komprador berpangkat atau seorang menteri yang doyan menonton pertunjukan cengeng di televisi murahan, sekali lagi, mereka hanya akan menertawakanmu! Kuyakinkan engkau, Ketua Dewan Pemakaman Rakyat: seorang lelaki paruhbaya yang santai dan sarkas itu, akan mengatakan kepadamu: “Mobil ambulans terbaikku, jauh lebih cepat dari New Camry terbaru seorang purnawirawan, apa engkau ingin mencobanya?!” Katakan kepadaku, bahwa engkau tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan itu, karena sejatinya engkau adalah pengecut. Bukan demikian? Jadi, diamlah sejenak! Aku akan menceritakan Khotbah Ketua Dewan Pemakaman Rakyat ini kepadamu, dekatkan telinga kananmu yang mulai tuli itu!
Itu pagi yang ramai! Matahari malas bersinar. Embun sejak tadi telah menyusut dan hilang. Paving-paving tersusun rapi menutupi lenguh tanah sejak Revolusi Surabaya tahun 1945. Di jalan utama gang-gang kecil di jantung Kota Surabaya bagian Barat, orang-orang yang dimangsa senja usia, para pemikir yang malas memikirkan dunia baru, tampak bahagia, seakan-akan mereka memiliki jaminan kematian yang mulia dan Surga seperti yang telah dijanjikan pihak perbankan, tempat mereka menggadaikan masa lalu dan hari ini. Orang-orang dimangsa senja usia ini, menarik perhatianku. Melihat mereka seperti melihat ikan-ikan berenang di akuarium; seindah apa pun sisiknya, selincah apa pun berenangnya, dalam hitungan setahun dua, si pemilik akan menjual atau memasak ikan-ikan itu. Tidak bisa ditampik, dunia hari ini adalah dunia yang mengerikan dan menyengit hati. Orang-orang berbondong-bondong pergi ke rumah Tuhan dan membuat pengakuan bahwa mereka membutuhkan pertolongan dan perlindungan, karena negara bagi mereka adalah gelanggang penjagalan. Namun kemudian, diam-diam dan massal, mereka menarik Tuhan dari langit, dari dinding rumah, dari altar, lalu mengikat Tuhan dan mencincangnya hingga habis. Kemudian, para istri akan memasak masakan terbaik untuk perjamuan makan malam dalam pesta kelaparan.
Sekarang, setelah semua semakin mengerikan, kuperkenalkan kepada engkau sekalian, inilah Cak Cholidh, Ketua Dewan Pemakaman Rakyat terpilih sejak tahun 2000 hingga tahun 2021 – kurang sebelas tahun untuk menyamai Raja Jawa, Soeharto. Setahun sebelum Revolusi Surabaya, tahun 1944, dia dilahirkan. Dia sangat menyayangkan dirinya yang waktu itu tidak mampu mengingat dan merekam setiap kejadian. Jadi, dia tidak mengakui bahwa dirinya tidak bisa berbicara tentang itu. Rumah Cak Cholidh, tidak sampai seratus kaki dari toko buku yang kudirikan bersama istri. Pada pagi yang ramai, pada hari yang sama, aku bertamu ke kantor para Dewan Pemakaman Rakyat itu. Cak Cholidh, dari kejauhan, tampak duduk di kursi panjang di bawah pohon mangganya yang naung. Dua kaki di depannya, di seberang jalan, dua orang pegawainya, Cak Alimin dan Cak Mualim, masing-masing menyibukan diri. Oh ya, terlalu gegabah rasanya jika aku tidak memperkenalkan kepada engkau sekalian siapa dan apa bidang kedua pegawai Cak Cholidh ini. Cak Alimin menjabat sebagai Ketua Divisi Antar-jemput Mayat, umurnya 65 tahun; agak jelek, kurus, dan memiliki tatapan curiga. Cak Mualim menjabat sebagai Ketua Divisi Batu Nisan, umurnya sukar diperkirakan. Keduanya dilantik oleh Cak Cholidh, setahun setelah dirinya terpilih sebagai ketua.
Cak Cholidh mempersilakan aku duduk di sebelahnya, kemudian aku memperkenalkan diri dan pekerjaanku di lingkungannya. Cak Cholid menanggapi santai-tapi-sarkas, begini: “Jangan sekali pun engkau keliru dalam berkehidupan, Mas. Dan, membuka toko buku, bagiku, adalah kekeliruan. Orang-orang di negara ini sudah terlalu pintar. Mereka mampu mengubah hutan menjadi rumah-rumah baja. Mereka mampu mengganti gunung menjadi pabrik. Mereka mampu membunuh sesbangsa-setanah air dengan hanya satu kebijakan. Jadi, untuk apa engkau menjual buku ditengah situasi yang sudah mengharuskan kita untuk menodongkan senjata ke orang-orang pintar ini. Atau… engkau juga seorang pintar? Ha-ha… berhati-hatilah duduk di sebelahku. Sirene ambulans itu adalah mimpi buruk, ‘kan?!”
“Nah, Mas…” Cak Cholidh melanjutkan. “Sekarang katakan kepadaku, hari Jumat ini, apa yang akan dibahas orang terpilih dalam khotbahnya?! Tidak perlu buru-buru menjawab, karena sikap naif di dalam diri yang diam-diam membuat kita melupakan Tuhan, Mas. Kubantu engkau kali ini. Tidak satu pun, sepanjang aku hidup di sini, aku pernah mendengar pengkhotbah berbicara bagaimana ummat Muhammad hidup dalam kemerdekaan penuh dan utuh, sedangkan ummat Muhammad lainnya tiada henti-hentinya mengirim orang pada kematiannya dengan cara-cara mengejikan, seperti korupsi dan seterusnya. Semacam ada suatu alarm peringatan yang sengaja mereka tanamkan di dalam akal sehat dan nuraninya untuk tidak membicarakan itu atau bahkan menganggapnya sebagai sesuatu yang tabu, tetapi ironisnya itu terjadi ketika mereka menggeser satu per satu biji-biji tasbihnya. Oh! Muhammad yang mana yang mereka jadikan panutan, sesungguhnya? Kitab apa dan terjemahan siapa yang mereka baca, sehingga keberanian untuk bicara yang sebenarnya itu lenyap dan menyebabkan mereka lebih memilih untuk mengisahkan kebohongan demi kebohongan ummat Muhammad dalam lingkaran kekuasaan yang lalim?! Tidak ada perasaan malu sesenti pun pada mereka ketika mengenakan gamis serba putih yang wangi – katanya, parfum yang mereka beli adalah parfum dari tanah Mekkah – dan nyaris hafal semua hadist tapi tidak seorang pun dari mereka mampu menyelamatkan seorang saja faqir di gang ini! Pernah sekali waktu, sebaik-baiknya ingatanku, pada hari Jumat, untuk kali pertama dan terakhir, aku disuruh berkhotbah di hadapan ummat Muhammad. Materi khotbahku pada waktu itu tentang bagaimana manusia berkehidupan dan menjalankan fungsinya sebagai manusia. Wah, Mas, setelah selesai salat, ummat Muhammad di lingkungan sini, menjauhiku. Tersiar kabar, bahwa seseorang mengatakan diriku adalah seorang propagandis dan seterusnya. Akan tetapi, Mas, ketika orang-orang tercinta mereka meninggal dunia, mereka datang kepadaku dan meminta maaf. Bukankah itu keterpecundangan sesunggunya, Mas?! Pada akhirnya, orang-orang seperti mereka mengerti mengapa aku memilih materi itu. Dan, perlahan-lahan, di antara mereka seperti Alimin dan Mualim, menghormati kebenaran dan mau belajar bagaimana berkehidupan dan menjalankan fungsi sebagai manusia. Tidak seperti binatang-binatang di gedung perwakilan itu, ‘kan? Ha-ha!”
Kami tertawa lepas, bersamaan.
Kantor Lyn Akherat, begitulah nama kantor para Dewan Pemakaman Rakyat itu. Kantor itu menyatu dengan pagar rumah Tuhan yang mewah dan badan jalan utama gang. Ada sebatang pohon mangga yang rindang dan berbuah persis di hadapannya. Cak Cholidh adalah seorang ketua yang derma. Acap kali orang yang menurutnya pantas menerima, dia berhentikan kemudian memberikan beberapa buah mangga dalam kantong plastik. Akan tetapi, di bawah pohon mangga itu, persisnya di sebelah kursi panjang tempat kami duduk, ada sebuah batu nisan berwarna putih kusam bertuliskan: “Ini disediakan khusus bagi pencuri mangga!” Aku tertawa. Betapa tidak? Dengan adanya batu nisan itu, pohon mangga itu tumbuh subur dan buahnya melimpah tanpa seorang pun memiliki keberanian untuk mencurinya.
“Orang-orang pada takut, Mas,” kata Cak Cholidh. “Mereka takut kepada batu nisan, bukan kepada Tuhan. Mereka menganggap batu nisan adalah simbol akherat. Padahal, batu nisan hanyalah simbol ketiadaan manusia di dunia. Yang sesungguhnya adalah tandik-tanduk perbuatan mereka pada hari pembalasan di alam kubur sana. Jadi, jika mental orang-orang sudah demikian, apa yang engkau harapkan, Mas? Mengkhotbahi mereka tentang bagaimana Muhammad memerdekakan orang miskin dan seorang budak yang telah lama hendak merdeka?! Bagaimana mungkin, mereka sudah tidak merdeka di negara yang menganggap dirinya telah merdeka, tetapi itu hanyalah anggapan semu! Tidak terbukti! Bukankah di seantero sudut jalan Kota Surabaya ini, engkau kerap melihat anak-anak terlantar di jalanan, kaum papa mati menghirup lem fox di emperan toko roti, atau ah! Kadang-kadang aku betul-betul ingin sekali membawa ambulans ini ke Istana Negara dan menyetel sirene sekencang-kencangnya!”
Tiba-tiba, Cak Mualim, marah.
“Sial! Punya nama kok menyusahkan orang lain! Su!”
“Kenapa, Lim?” Tanya Cak Cholidh.
“Ini, Ketua, orang yang mati semalam, berpesan kepada keluarganya bahwa namanya harus ditulis selengkap-lengkapnya beserta titel-titelnya, sementara batu nisan ini tidak sebesar kepalanya! Su og! Ini kali kedua aku mengulang. Dan, jika kali ini gagal, tidak biarkan saja dia mati tanpa batu nisan.”
“Lho, kalau tidak ada batu nisan, bagaimana keluarganya akan berziarah kemudian hari, Lim? Coba betul-betul engkau menulisnya!”
“Aku ini ketua divisi, Ketua. Sudah sepenuh kemampuanku menulis namanya, tetapi, ah! Bagaimana kalau kutulis S-U-O-G saja?!”
“Hus! Meskipun kehidupannya berkepribinatangan, dia bukan binatang-binatang di gedung dewan perwakilan atau departemen keadilan dan hak asasi manusia! Aku kenal dia. Semasa hidupnya dia memang seorang yang terdidik, tetapi memilih hidup sebagai bisu dan terjerembab dalam pengetahuannya seorang diri! Tulis sebagaimana wasiatnya, orang seperti dia perlu diberi penghormatan, meski Malik akan menggugatnya diakherat!”
Aku tertawa nyaris tanpa suara.
Tidak lama kemudian, dari kejauhan ambulans lengkap dengan tulisan: “Pingin ke Surga, pilih saya! DPR 1 Nomor 25: Ambulans Khusus untuk Calon Caleg Strees” berjalan perlahan dan membunyikan sirene yang membuat bising. Orang-orang dimangsa senja usia yang ramai berjalan di jalan utama gang itu meminggir satu per satu sembari bertanya-tanya, ini kematian yang ke berapa. Kemudian ambulans itu berhenti persis di hadapan Kantor Lyn Akherat. Cak Alimin keluar dan membanting pintu dengan roman wajah berang dan kesal.
“Ketua, mereka tidak jadi memakamkan jenazah orang pintar itu hari ini. Katanya, menunggu seorang dewan perwakilan, sepupu orang pintar itu datang sore ini. Su og!”
Surabaya, 2021.