1
Badai telah sampai di kamar tidurku. Semalam berkecamuk lepas dari scenario mimpi, meluap menampar apa saja. Badai itu adalah kepengapan beriring ketidaktahuan bagaimana menghentikan semua. Rasa pilu, tawa gila, kecemasan memecah kepala, jantung ledakan semburat.
2
Anjingku marah, dikoyaknya tembok tebal pembatas mimpi dan kenyataan. Ia menerobos menyeruak, disergap lagi, membentur lagi, mengoyak moyak. Sungguh begitu berlapis demi langgeng kuasa. Anjingku muntah.
3
Adalah butuh kebesaran hati buat meletakkan jas dan dasi di atas meja di sebelah nampan. Sungguh diperlukan otak bersih dari syakwasangka untuk turun dari kursi, duduk bersila, tengadah langit, doa bumi. Segala ucap adalah marahbahaya mengintai.
4
Puisiku rusak rimanya, macet lariklariknya, berhenti pada bait pertama saat kalimat serapah diumpatkan : “runtuh, runtuhlah kuasamu, terpuruklah dalam ceruk terdalam dari duka nestapamu..!” Puisiku tersendat lagi oleh amarah, terlempar jauh dari kehendak tema.
5
Kutinggalkan pesan pada pohon asam jawa yang kutanam dekat sumur dibelakang rumah. Ia tundukkan semua dedaun, reranting pula tubuh batangnya, begitu khitmat terpekur : “jangan sekalipun kau kabarkan kepada pohon yang lain, pesanku ini..!” Pohon asam jawa mengangguk lalu tertunduk lagi.
Agustus, 2021
***
Dody Yan Masfa, lahir di Surabaya 15 Juni 1965, menulis puisi adalah kegemarannya sejak remaja, sebagai ngudo roso, katarsis, dan meneliti diri sendiri sejauh mana memiliki kepekaan rasa keindahan tentang bahasa tulisan. Prestasi karya bukan menjadi prioritas bagi dirinya. Menekuni teater sejak usia muda, sampai sekarang aktifitas itu menyeretnya untuk terus menulis. Dody adalah aktor dan sutradara teater Tobong. No Kontak: 085732439089 email : dodyyanmasfa@gmail.com