Sejak membuka segel buku ini pada tanggal kematian Budi Darma, saya terus membaca setiap pagi di bawah matahari. Ditemani secangkir kopi dan beberapa ‘panganan’ lawas seperti rengginang, pisang goreng, singkong goreng, awug, surandil, gegetuk, atau ketan serundeng, saya membaca lambat-lambat buku ini.
Ya, saya bukan tipe pembaca cepat yang bisa melahap seluruh isi buku dalam waktu satu atau dua jam. Saya bisa menamatkan pembacaan buku selama berhari-hari, berminggu, berbulan, bahkan bertahun-tahun. Saya selalu ingin menikmati setiap huruf, kata, kalimat, dan paragraf yang saya baca tanpa tergesa.
Buku “Budi Darma, Karya dan Dunianya” yang ditulis oleh Wahyudi Siswanto ini saya selesaikan kemarin pagi, tepat 7 hari setelah kematian Budi Darma pada 21 Agustus 2021 lalu. Malam harinya, saat keluarganya (mungkin) menggelar tahlilan 7 hari kepergiannya, saya mencoba merenungkan kiprah seorang Budi Darma dalam dunia kepenulisan.
Buku yang saya beli pada sekitar tahun 2007 ini belum pernah saya baca sama sekali. Ada beberapa alasan yang mendasarinya. Pertama, saya tak begitu mengenal penulisnya. Kedua, sampul bukunya tidak artistik. Ketiga, saya kurang begitu tertarik pada karya-karya (cerpen) Budi Darma yang baru saya baca beberapa saja di koran yang ada rubrik sastranya. Keempat, ya malas saja.
Tega betul saya membiarkan buku yang telah saya beli belasan tahun lalu, tapi tak pernah saya baca. Maka, pada tanggal kematian Budi Darma seminggu yang lalu, saya mulai membacanya dengan perasaan berdosa yang sangat.
Setelah selesai membacanya kemarin pagi, saya betul-betul menyesal. Andai saja saya langsung membacanya sejak tanggal pembelian buku ini pada belasan tahun lalu, mungkin saya bisa belajar banyak hal lebih awal tentang Budi Darma dan dunia kepenulisannya.
Dalam buku ini saya menemukan beragam informasi terkait Budi Darma mulai dari kehidupannya di masa kecil, remaja, dewasa, hingga ia menjabat sebagai rektor sebuah universitas di samping pekerjaannya sebagai pengarang.
Obsesi seorang Budi Darma sejak kecil begitu berpengaruh terhadap karya-karya yang dihasilkannya. Tak jarang karya-karyanya menorehkan prestasi yang sangat membanggakan. Tercatat, novel “Olenka” yang ditulisnya akhir tahun 1979 memenangi Sayembara Mengarang Novel Dewan Kesenian Jakarta 1983. Novel ini banyak dibahas dan dibicarakan ahli sastra, baik di dalam maupun luar negeri (Siswanto, 2005:164).
Melalui buku ini saya dapat melacak jejak-jejak kepengarangan seorang Budi Darma begitu lengkap. Wahyudi Siswanto begitu tekun mengulas cerpen-cerpen Budi Darma yang bertebaran di surat kabar dan majalah. Majalah Sastra Horison menjadi majalah yang paling sering memuat cerpen-cerpen Budi Darma sejak tahun 1970-an.
Ketiga novel yang dihasilkan Budi Darma, yakni “Olenka” (1983), “Rafilus” (1988), dan “Ny. Talis” (1996) tak luput diulas Siswanto begitu tajam. Maklum buku yang ditulis Siswanto ini berangkat dari disertasinya. Tak heran jika membaca buku ini, saya seperti menemukan kekakuan dalam gaya penulisan layaknya tulisan-tulisan ilmiah.
Namun, saya patut berterima kasih pada Wahyudi Siswanto yang telah memberi gambaran tentang apa dan siapa Budi Darma. Seorang pengarang kalem yang karya-karyanya penuh kemuraman ini ternyata banyak menginspirasi pengarang-pengarang generasi berikutnya. Budi Darma layak mendapat tempat terhormat di dunia kesusastraan Indonesia.
Terima kasih, Pak Darma. Selamat beristirahat di keabadian!
Cimahi, 28 Agustus 2021