Menyimak Matapangara, Raedu Basha
Judul Buku: Matapangara
Pengarang: Raedu Basha
Penerbit: Ganding Pustaka
Tahun Terbit: 2015
Cetakan: Ketiga
Dimensi Buku : 13 x 19 cm+68 halaman
ISBN: 978-602-1638-30-9
Peresensi: Ardy Suryantoko *
Ada wangi Madura yang begitu khas berbaur wangian negeri asing. Seperti mencari wangi garam sambil mendengarkan aransemen musik Kitaro, kemudian melayang-layang menjelajah sahara, melintasi gunung sambi memerangi kesepian di Eropa hingga ke urban barat penuh warna dunia yang membedah mata. Pelbagai persoalan kehidupan dikemas dengan rapi, seperti diajak bermain menelusuri lintas negeri dengan masing-masing wangi yang khas. Menurunkan tempo detak jantung sebelum melepas nafas panjang.
Sajak “Ternyata Sudah Sangat Malam” menjadi pembuka yang penuh kegelisahan. Kesepian menggaruki jiwa setelah lepas dari tanah kelahiran menuju kota rantau. Seperti kesepian, kegelisahan, dam ketakutan yang dialami oleh Maximalianus di goa Tarthus. Seseorang yang pernah atau sedang pergi meninggalkan tanah kelahirannya pasti bisa memahami dan merasakan kegelisahan dalam perantauan. “Pergi dari sesuatu yang dikasihi, memberi kesempatan kepada seseorang untuk meninjau, menimbang dan merenungkannya. Pergi dari tanah kelahiran buat sementara, memberi kesempatan pada seseorang untuk kembali merenungkan hubungannya dengan tanah kelahiran itu.”[1]
Selanjutnya sajak-sajak yang ditulis juga tidak memaksa pembaca untuk mengikuti pola pikirnya. Membiarkan imajinasi pembaca tetap liar walaupun dalam sajaknya menggunakan wewangian lokalitas Madura yang memadukannya dengan wewangian negeri asing. Perpaduan sengaja dibuat sebagai penghubung dan pembanding lokalitas dengan globalisasi. Simbol-simbol yang timbul antara keduanya, akhirnya seperti kegelisahan seorang lelaki yang sedang suka dengan perempuan. Bagaimana perempuan menjadi sangat penuh dengan teka-teki dan sangat sulit untuk ditebak, tetapi tetap memberikan ruang kepada lelaki untuk mendekat serta memberikan pemaknaan terhadap perempuan tersebut. Tentunya dengan menggunakan rasa dan logika.
Pada masa pascakolonialisme ada ruang dalam karya sastra yang disebut “Bhabha” atau ruang ketiga yang dicetuskan oleh Homi K. Bhabha. Pemikiran ini diusung akibat adanya kolonialoisme (kapitalisme, liberalisme, sekularisme, dan globalisme). Seperti halnya pergerakan eskalator yang turun naik, ruang ketiga atau “ruang antara” ini muncul untuk menjembatani ruang pertama (upper area) dan ruang kedua (lowwer area) yang berhubungan timbal balik dan saling bergantian memasuki ruang ketiga (in between). Ruang ketiga dalam sepilihan sajak ini merekayasa identitas menjadi sebuah hubungan simbolik antara ruang pertama dan ruang kedua, atau globalisasi sebagai ruang pertama (penjajah) dan lokalitas sebagai ruang kedua (terjajah). Perpaduan antara identitas lokal dan global ini menimbulkan percikan, ibarat percikan korek api saat pertama menyala. Dengan adanya gesekan tersebut memunculkan sajak yang penuh dengan simbol-simbol dan pembaharuan.
Selanjutnya pengembaraan menjadi bagian atas lahirnya pengalaman empirik. Adat tradisi masyarakat, konflik-konflik sosial, dan kegelisahan atas bencana alam menjadi ibu dari ide-ide yang melahirkan puisi. Dari sudut pandang ini, karya sastra menjadi busur yang siap melepaskan anak panah. Bahwa karya sastra merupakan salah satu konduktor konvensi dalam masyarakat yang dipoles dengan invensi oleh penulisnya, seperti sajak-sajak di dalam buku ini.
Visualisasi lokalitas dengan cara membangun sajak dari sudut pandang penulis sebagai bagian masyarakat asli Madura, seperti terdapat dalam sajak “Hikayat Negeri Sorga”. Sebagai salah satu karya sastra yang mengangkat lokalitas, yang banyak diketahui oleh pembaca tentang Madura adalah lautan, garam, sampan, celurit, dan masih banyak yang lain. Kemudian muncul invensi pada sajak “Colloseoum 20 Abad Vulkanik” dan “Menatap Las Vegas”, bagaimana akhirnya invensi merombak konvensi dalam sajak-sajak yang berbau lokalitas. Kejutan diberikan dengan membangun imajinasi pembaca dari sesuatu yang sangat jauh dari Madura. Pada sajak “Menatap Las Vegas” pembaca dikejutkan dengan munculya kata gedung, bir, jalan tol, dan jembatan layang pada sajak ini.
Pada akhirnya, pertentangan dalam sajak-sajak di buku Matapangara sebenarnya merupakan simbol dan jembatan menuju pencapaian nilai estetik, bisa dikatakan sebagai penelusuran terhadap keterasingan dari dalam diri penulis. Dunia yang serba hibrid dan serba sibuk mampu menghilangkan lokalitas dalam jangka panjang, yang akan menyebabkan kekecewaan, kebimbangan, dan keterasingan. Hidup seperti tidak lengkap tetapi tetap harus dijalani dengan segala kejanggalan dan kelucuan cerita. Akhirnya pergerakan dan protes seorang penulis akan muncul dari timbal balik menuju pada pergerakan modernnitas yang tetap memiliki kesadaran terhadap lokalitas.
Sayang sekali jika buku kumpulan puisi semenarik ini tidak ada kata pengantar yang membantu pembaca menjelajah lebih jauh tentang penulis dan karya-karyanya. Selain itu penggunaan diksi yang belum segar akhirnya sedikit menggugurkan ide-ide yang penuh pembaruan. Entah kebetulan atau sengaja jika untuk mencapai sisi estetik belaka. Perlawanan invensi terhadap konvensi sebenarnya merupakan sebuah ide yang luar biasa, tapi akan lebih baik jika diimbangi dengan diksi-diksi yang segar dan cetar seperti dalam sajak “Colloseoum 20 Abad Vulkanik”. Sajak inilah yang seharusnya menjadi tolak ukur untuk membuat dan mengembangkan sajak-sajak selanjutnya.
Yogyakarta, 28 Februari 2015 (Jejak Imaji)
[1] Pengantar Ajip Rosidi pada buku puisi Ramadan K. H Priangan Si Jelita.
*) Ardy Suryantoko, kelahiran Wonosobo 19 Desember 1992 ini berstudi di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, dan bergiat di komunitas belajar sastra Jejak Imaji Yogyakarta.