Novel Orang-Orang Bertopeng (1)

Dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002

Teguh Winarsho AS

SATU

MALAM dingin. Kersik angin, ranting patah, daun gugur, tetes embun, menimbulkan irama lain di malam pekat itu. Mengalun merdu. Sesekali meliuk-liuk, menukik-nukik bagai belati terlempar di udara subuh tertimpa cahaya lampu. Lalu sunyi. Sunyi itu mengalirkan kenangan masa lalu. Satu persatu peristiwa kemudian saling berdesakan di kelopak mata seperti ingin minta dibaca dan dikenang kembali. Tapi masih adakah waktu untuk mengenangnya lagi? Adakah sebuah tempat yang nyaman untuk sekadar berbagi rasa kepada seorang sahabat, saudara, anak atau istri sembari minum kopi di warung atau teras rumah tanpa dicurigai?

Dingin malam merayap pada tembok tebal dan lonjoran-lonjoran besi tua berkarat. Anyir darah, asap rokok, bir, vodka, bangkai tikus, menelusup lewat lubang angin, mengingatkan cerita tentang sebuah pesta kematian ditepi jurang, di antara belukar dan pohon jati oleh orang-orang yang selalu membungkus wajahnya dengan topeng atau kain hitam hingga tak terlihat sedikitpun bentuk maupun ekpresi wajahnya. Yang terdengar hanya gelak tawa dan denting gelas saling beradu ujungnya.

Malam pecah di bibir gelas. Gemetar hingga pucuk pepohonan bergoyang, bergeretak seperti dihantam angin kencang. Lagu perih terus mengalir bersama hembus angin menerbangkan daun-daun kering. Sebuah pesta, segerombolan orang bertopeng, malam pekat, seperti hantu gentayangan menebarkan rasa takut kepada siapa saja.

Malam masih pekat. Masih mengalirkan kesunyian panjang. Lonjoran-lonjoran besi tua itu kian terasa beku, dingin dan angkuh. Tak ada keangkuhan melebihi kesunyian yang tak mau bertegur sapa. Tapi mendadak sunyi pecah ketika terdengar derap langkah sepatu mendekat, suaranya nyaring mirip dentang lonceng dikejauhan. Semakin lama semakin keras menghentak kesadaran dua orang pemuda, Hasan dan Salman, yang hampir dua belas jam meringkuk di ruang pengap ukuran tiga kali tiga, serupa ruang bawah tanah. Segera, dengan susah payah Hasan dan Salman menegakkan kepalanya yang masih terasa nyeri dibagian belakang.

Sesaat keduanya saling bertatapan. Tetapi tak ada seorangpun yang berani bersuara. Ketakutan akan maut yang selalu mengintip di setiap celah tarikan nafas telah membungkam mulut mereka sejak bertahun-tahun lalu. Mungkin sejak Keucik Ibrahim diseret sepanjang jalan kampung berdebu lalu digantung di bawah pohon beringin di pojok kampung dengan luka memar sekujur tubuh dan corat-coret spidol dibajunya.

Atau, sejak Cut Leiha diperkosa ramai-ramai dipinggir hutan jati lantaran tak bisa menunjukkan keberadaan suaminya yang hanya seorang petani dan guru SD biasa. Cut Leiha digiring seperti seekor kambing. Mayat Cut Leiha ditemukan tiga hari setelah kejadian, mengapung di parit pinggir hutan, tidak jauh dari tempat Keucik Ibrahim digantung. Tubuh Cut Leiha membusuk digerogoti ikan dan belatung. Wajahnya nyaris tak bisa dikenali. Bahkan oleh suami dan anak-anaknya sendiri.

Atau barangkali sejak pasangan suami istri muda, Bandi dan Yusnah suatu kali pulang larut malam dari Sidikalang. Dengan tuduhan cuak, mata-mata, Bandi dan Yusnah ditangkap lalu dibawa ke rumah kosong jauh di dalam hutan. Jika pun berteriak, sekeras apa pun, tak akan ada orang yang mendengar teriakan mereka. Di situ, di rumah kosong itu, mereka diinterogasi, dicerca berbagai pertanyaan, sebelum akhirnya disuruh melepas pakaian lalu dipaksa bersetubuh. Sesekali cambuk melayang ke tubuh Bandi dan Yusnah.

Sambil melayangkan cambuk, orang-orang yang menutup wajahnya dengan topeng atau kain hitam itu, tertawa-tawa seolah baru mendapat tontonan menarik; bersulang membagi botol, mengedarkan minuman, menyulut rokok, berceloteh; mabuk! Tapi barangkali nasib Bandi dan Yusnah sedikit lebih baik dari Keucik Ibrahim atau Cut Leiha, sebab setelah itu dibebaskan. Meski sejak peristiwa itu mereka kemudian jarang terlihat keluar rumah kecuali pada malam hari. Orang-orang kampung merasa kehilangan Yusnah sang penari seudati yang lincah. Juga Bandi yang biasa menjadi aneuk cahi, pembaca syair dalam tarian seudati.

Pintu berderak, terbuka pelan. Selarik cahaya lampu 15 watt menerobos masuk bagai blitz kamera. Hasan dan Salman silau menggosok-gosok mata. Terasa perih mata keduanya. Tiga orang laki-laki bertopeng, tinggi, besar, tiba-tiba menendang pintu yang belum sepenuhnya terbuka. Keras. Membuat Hasan dan Salman tersentak kaget saling merapat. Malam kian mencekam. Hasan dan Salman menggigil ketakutan, mundur merapat tembok. Belum pernah dua pemuda kampung ini mengalami ketakutan sedemikan rupa. Bau alkohol meruak dari mulut ketiga orang bertopeng itu membuat perut Hasan dan Salman teraduk-aduk mau muntah.

Hasan bermaksud menutup hidung dengan sebelah tangannya, sementara satu tangannya lagi ia siagakan di dada berjaga-jaga seandainya ada sebuah tendangan susulan melayang menghampirinya. Tapi Hasan kawatir jika ketiga orang bertopeng itu tersinggung melihat sikapnya lantas justru memukul tengkuknya dengan gagang senapan atau batu seperti yang dialami Salman beberapa jam lalu. Alhasil, Hasan hanya menahan nafas agar tidak terlalu banyak menghirup udara. Tapi tetap saja bau alkohol itu terus menyelinap masuk ke dalam ronggo hidungnya.

“Ayo, keluar! Keluar!” bentak salah seorang bertopeng sambil berjalan dengan langkah-langkah lebar menghampiri Hasan yang menggigil ketakutan. Secepat kilat orang itu mengangkat senapannya diarahkan persis di jidat Hasan. Hasan diam, beku. Kepalanya tertunduk lesu. Entah kenapa tiba-tiba kakinya terasa berat untuk digerakkan. Tubuhnya kaku seperti dibalut lem.

“Ayo, keluar!!” lagi orang itu berteriak keras hingga ludahnya muncrat, sebagian menerpa wajah Hasan. Hasan ingin menghapus bekas ludah itu, tapi lagi-lagi ia kawatir jika orang didepannya justru semakin marah. Hasan sadar dirinya tak bisa berkelahi. Tak pernah diajari berkelahi. Tidak seperti Salman yang sedikit-sedikit pernah belajar ilmu bela diri di rumah Teuku Jabar. Tentu hanya dengan sekali pukul saja, dirinya akan sempoyongan, tersungkur mencium lantai. Tiba-tiba Hasan menyesal kenapa dulu dirinya tak pernah belajar ilmu bela diri.

Jam berdentang tiga kali. Suaranya menggema panjang seperti berasal dari sebuah puncak bukit. Sesekali angin berkesiur menghempas daun-daun jati dan mahoni, melayang-layang sebentar di pekat udara malam sebelum terserak di atas tanah kerontang. Batang-batang rumput saling bergoyang dan bergesek mengibaskan manik-manik embun yang berkilauan serupa logam perak di bawah sinar cahaya bulan. Hasan menyaksikan semua itu lewat pintu di depannya yang menguak lebar. Tapi, serta-merta pandangannya berubah gelap ketika dua orang bertopeng berdiri persis di depan pintu. Sorot mata dua orang bertopeng itu berkilat tajam seperti ingin melumat tubuhnya.

“Hai! Kalian tuli!”
“Kalian tak punya telinga!? Hah!”
“Dasar babi busuk! Keluaaarr!!”

Suara itu sahut menyahut. Susul menyusul. Satu tendangan kuat tiba-tiba kembali melayang tepat mengenai pantat Hasan. Hasan sempoyongan, meringis menahan sakit. Seorang yang lain mendorong tubuh Salman, lalu Hasan, lalu Salman, Hasan, Salman, begitu seterusnya hingga sampai depan pintu. Hasan dan Salman kemudian digiring keluar. Berulangkali Hasan memegangi kepalanya yang berdenyut-denyut, terasa basah. Hasan berharap sesuatu yang basah itu hanya keringat dingin, bukan darah. Tapi kepalanya terus berdenyut dan seperti ada sesuatu yang mulai menetes dari alis turun merembes di pipi. Semakin lama semakin banyak disertai rasa perih. Lalu, perlahan, Hasan merasakan bintang-bintang di langit jatuh berserakan memenuhi batok kepalanya. Berputar-putar.

Sementara detak sepatu tiga orang bertopeng di belakang terdengar semakin nyaring di malam gelap sunyi, seperti mengiringkan proses kematian. Seperti memanggil malaikat maut agar segera datang. Untuk kesekian kalinya Hasan bergidik, merinding. Takut.

(bersambung)

***

One Reply to “Novel Orang-Orang Bertopeng (1)”

Leave a Reply

Bahasa ยป