Novel Orang-Orang Bertopeng (13)

Dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002

Teguh Winarsho AS

FATMA memang mendengar bunyi ketukan pintu di luar, tapi Fatma tidak menduga jika orang yang mengetuk pintu itu adalah Salman. Umi yang memberi tahu. Tapi kenapa Salman? Ada apa? Fatma bertanya-tanya dalam hati sembari menyisir rambut di depan cermin, selesai mandi. Ada berita pentingkah? Atau apa? Fatma jadi ingat kisah beberapa tahun lalu ketika ia menolak cinta Salman. Pemuda itu kemudian tak pernah lagi terlihat lagi batang hidungnya. Tapi, kini, Salman berani datang ke rumahnya. Ada apa?

“Salman ingin ketemu kamu,” begitu kata Umi beberapa menit lalu. “Dia menunggu di ruang tamu. Segeralah kesana.”

Fatma sudah selesai menyisir rambut. Meraih kerudung lalu melangkah ke ruang tamu. Benar. Di situ Salman sudah menunggu. Pakaian Salman bagus, rambutnya klimis disisir rapi. Pakai minyak wangi.

“Kudengar beberapa hari ini kamu sakit,” Salman memulai pembicaraan. Mengeluarkan sebungkus rokok kretek berikut korek api.

“Hanya kurang enak badan saja…..” jawab Fatma pelan. “Alhamdulillah, sekarang sudah baik.”

“Hmm, aku bisa memahami kesedihan yang kamu rasakan. Aku turut sedih kehilangan Hasan. Hasan teman yang baik…..” Salman merasakan kata-katanya tersendat, tidak bisa mengalir lancar, seperti ada sesuatu yang tiba-tiba menyekat tenggorokannya. Padahal sejak berangkat dari rumah ia sudah menyiapkan kata-kata yang bagus. Kata-kata itu berikut titik dan komanya sudah tersusun rapi di kepala. Tapi begitu berhadapan dengan Fatma kata-kata yang tersusun rapi itu raib entah ke mana.

Beberapa saat lamanya dua orang itu diam. Fatma menunduk. Kesempatan ini tidak disia-siakan Salman untuk mencuri lihat kecantikan Fatma. Ya, jantung Salman selalu berdebar hebat setiap kali menatap kecantikan Fatma. Fatma jauh lebih cantik dari foto milik Hasan yang pernah ia lihat. Waktu telah membuat kecantikan Fatma semakin sempurna sebagai seorang wanita dewasa. Salman terkesima. Takjub. Berkali-kali menelan ludah.

“Ehm, begini, kedatanganku kemari ingin memberikan foto ini. Sesuai pesan Hasan…..” Salman mengambil sebuah foto dari saku, disodorkan pada Fatma.

Fatma tampak terkejut. Matanya membelalak hingga kedua bola matanya menyembul keluar. Diraihnya foto dari tangan Salman. Dipandanginya foto itu sebentar. Lalu, “Hasan bilang apa?” Wajah Fatma berubah sayu.

“Ehm, apa, ya?” Salman meletakkan jari telunjuk di jidat seperti mengingat-ingat sesuatu.

“Hasan bilang apa, Salman?” Fatma tak sabar. Diremas-remas jari-jemarinya yang mendadak dingin.

“Hasan tak bilang apa-apa. Ia hanya menyuruh aku agar memberikan foto ini jika sesuatu buruk menimpanya.”

“Hanya itu?”

Lagi Salman berpikir keras. Jidatnya berkerut persis kulit jeruk kering.

“Seingatku hanya itu…..”

Umi keluar membawa minuman. “Ini minumnya. Ayo diminum,” ucap Umi bergegas masuk ke dalam. Salman mengangguk hormat. Jika tamunya bukan Salman mungkin Umi tidak akan menyuguhi minuman. Maklum, keluarga Salman cukup terpandang.

Angin pagi menerobos masuk, memain-mainkan ujung kerudung Fatma.

“Aku hampir tak bisa mempercayai kejadian yang menimpa Hasan,” suara Fatma lirih tak jelas ditujukan pada siapa.

Salman menghisap rokoknya dalam-dalam.

“Seperti mimpi saja…” Fatma melanjutkan, menyandarkan punggungnya di kursi.

“Semua sudah berlalu. Jangan disesali…. ” Salman menyahut. “Lupakan masa lalu dan mulailah berpikir tentang masa depan.”

“Aku memang sedang berusaha melupakannya.”

“Bagus, bagus…..” Salman mengangguk-angguk. “Terus apa rencanamu selanjutnya?”

“Masih belum pasti. Tapi mungkin aku akan cari kerja di kota.”

“Itu ide bagus. Cepat atau lambat aku juga akan kerja di kota. Kebetulan ada teman yang menawariku pekerjaan di sana. Gajinya memang tidak seberapa, tapi cukuplah sebagai permulaan. Kalau tinggal di kampung susah bisa berkembang. Apalagi kudengar keadaan kampung masih belum aman betul.”

“Memang belum aman. Tapi sudah lumayan dibanding dua bulan lalu. Dulu tidak ada yang berani keluar rumah malam-malam.”

“Mudah-mudahan keadaan akan segera pulih seperti dulu lagi.”

Setelah mampir satu jam ngobrol, Salman pamit pulang. Bagi Fatma tak ada yang istimewa pertemuannya dengan Salman kecuali pemberian foto titipan dari Hasan. Tapi tidak dengan Salman. Sepanjang jalan pulang Salman terus bersiul-siul gembira. Salman mendadak berubah jadi orang yang ramah. Setiap ketemu penduduk ia pasti menyapa lebih dulu. Ah, beruntung aku sempat mengambil foto Fatma dari dompet Hasan, jika tidak, susah mencari alasan untuk ketemu Fatma, batin Salman sambil terus bersiul-siul selama dalam perjalanan pulang.

Sejak itu Salman sering datang ke rumah Fatma. Sebenarnya Fatma kurang suka Salman terlalu sering datang ke rumahnya. Apalagi tanpa maksud dan tujuan jelas. Pernah Fatma bersikeras tidak mau menemui Salman. Tapi Umi terus mendesak agar ia keluar. Akhirnya dengan terpaksa ia keluar juga menemui Salman. Tapi di depan Salman, ia mencoba bersikap biasa, tidak menunjukkan perasaan terpaksa. Tapi rupanya hal ini sering diartikan lain oleh Salman. Terbukti di depan teman-teman dekatnya Salman sering bilang bahwa Fatma kini telah jadi pacarnya. Sebentar lagi akan menikah. Untung perkataan itu tidak sampai telinga Fatma.

Sejak mendengar kabar kematian Hasan, Fatma berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menikah apalagi pacaran dalam waktu dekat ini. Apalagi sebagian hatinya masih tertambat pada Hasan. Tidak mudah melupakannya.

Tapi di sisi lain belakangan ini Umi sangat gelisah melihat anak gadisnya yang sudah berumur tapi belum menikah. Umi takut Fatma tidak laku dan jadi perawan tua. Apalagi teman-teman sebaya Fatma sudah menikah semua, bahkan sudah dikaruniai anak dua atau tiga. Hanya Fatma yang belum menikah. Umi sering kelabakan menjawab pertanyaan tetangga kanan kiri yang menanyakan seputar masalah pernikahan Fatma. Lebih dari itu, sudah sejak lama sebenarnya Umi ingin menggendong cucu.

“Kukira Salman menyukai Fatma,” kata Umi tengah malam pada Abah di tempat tidur.

“Lantas?” Abah acuh tak acuh.

“Kalau memang begitu, alangkah baiknya kalau mereka cepat-cepat menikah saja….” suara Umi datar, mengambang. “Bagaimana menurutmu?”

Abah mengangkat bahu kelihatan tidak bergairah membicarakan masalah itu.

“Abah jangan diam saja. Abah juga harus memikirkan nasib Fatma. Kasihan kalau berlarut-larut. Apa Abah tega melihat Fatma bernasib sama seperti Ana, Hayuni, atau Ida yang sampai umur empat puluh lima tahun belum laku kawin?”

“Orang tua mana yang tega melihat anak gadisnya seperti itu, hah?” Abah menggeliat.

“Makanya Abah juga harus cari jalan keluar. Jangan diam saja.”

” Fatma belum lama kehilangan Hasan. Apa tidak sebaiknya menunggu dulu sampai dia benar-benar bisa melupakan Hasan. Mungkin hatinya masih berduka. Ah, kamu ini seperti tidak pernah jatuh cinta saja…”

“Tapi ini sudah satu bulan lebih. Masak Fatma belum bisa melupakan Hasan. Sampai kapan? Kukira Fatma sudah bisa melupakan masa lalunya. Dan kalau misalnya memang belum, bukankah satu-satunya cara untuk melupakan masa lalu itu dengan jalan menempuh perkawinan? Ingat kasus yang menimpa Ana dan Hayuni, konon awalnya mereka hanya patah hati. Tapi karena berlarut-larut, tidak ada laki-laki yang mau sama mereka. Terus terang, aku kasihan kalau kelak Fatma juga begitu,” Umi bangkit berjalan menutup pintu. Kawatir jika pembicaraan itu di dengar Fatma.

“Salman kelihatannya pemuda baik dan shaleh. Keluarganya juga termasuk orang berada……” lanjut Umi merebahkan tubuhnya di samping Abah.

“Kelihatannya memang begitu. Tapi jangan melihat orang dari penampilan luarnya saja.”

“Aku tahu betul siapa keluarga Salman…”

“Itu saja belum cukup.”

“Maksud Abah?”

“Meski dari keluarga baik-baik, belum tentu anaknya juga baik. Haji Nurdin contohnya. Kurang apa Haji Nurdin? Sudah empat kali beliau berangkat haji, tapi anak-anaknya tidak bisa baca Qur’an….”

“Jangan samakan Salman dengan anak-anak Haji Nurdin. Aku pernah dengar Salman mengaji di masjid. Suaranya bagus.”

Abah menghela nafas panjang. “Kalau memang Salman dan Fatma sama-sama suka, sebagai orang tua aku tidak keberatan mereka cepat-cepat menikah. Tapi sebaiknya dipikirkan lagi masak-sasak. Jangan gegabah.”

Mendengar ucapan Abah yang seolah memberi harapan, Umi yang sudah mulai mengantuk bangkit menyibak selimut, lalu menatap lekat wajah laki-laki disampingnya dengan sorot mata tidak percaya. “Betul?”

Abah mengangguk-angguk. Umi tersenyum tipis. Malam kian terasa dingin menusuk. Tiba-tiba ada kerling indah pada bola mata Umi. Abah paham. Malam pun kemudian menggeliat bersaksi.

(bersambung)

***

2 Replies to “Novel Orang-Orang Bertopeng (13)”

Leave a Reply

Bahasa »