Novel Orang-Orang Bertopeng (16)

Dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002

Teguh Winarsho AS

Malam semakin larut. Beberapa orang pamit pulang. Tapi segera disusul oleh kedatangan beberapa orang lain lagi. Alhasil, warung Cut Hindar tak pernah sepi. Sebagai janda yang boleh dibilang masih lumayan muda, Cut Hindar memang pandai memikat pembeli. Kerling matanya yang aduhai sering membuat anak-anak muda betah tinggal di situ. Bahkan diam-diam banyak laki-laki terutama dari luar kampung yang tergila-gila dan bermaksud meminang Cut Hindar.

Tapi Cut Hindar tidak mau. Cuh Hindar takut jika bersuami lagi warungnya jadi sepi. Sebab lain, Cut Hindar masih trauma dengan suami pertamanya yang diam-diam punya simpanan di kota. Cut Hindar tak mau cintanya dikhianati untuk kedua kalinya. Bagi Cut Hindar, seorang anak perempuannya yang kini berusia lima tahun sudah cukup untuk menghibur hatinya.

“Hai, Salman, berani juga kau keluar malam. Tidak takut diculik lagi, hah?” seseorang tiba-tiba berteriak menyambut kedatangan Salman. Salman hanya tersenyum kecil menanggapi gurauan itu. Salman menjatuhkan pantatnya di kursi bambu dengan sikap malas-malasan. Matanya merah seperti sudah berhari-hari tidak tidur. Pakaiannya kumal, kusut.

“Dari mana, Man?” tanya laki-laki di sebelah Salman.

“Dari rumah.”

“Tidak takut sendirian saja?”

Salman menggeleng. Malam ini Salman memang memberanikan diri keluar rumah, mencari hiburan, sebab di rumah tidak bisa tidur. Berulangkali Salman mencoba mempratekkan teori mempercepat jatuh tidur, tapi hasilnya nihil. Memang, sudah beberapa hari ini, tepatnya sejak terakhir berkunjung ke rumah Fatma, pikirannya selalu gelisah. Lebih gelisah dibanding hari-hari sebelumnya.

“Kopi!” suara Salman parau.

Cut Hindar mengangguk. Dan hanya sebentar segelas kopi kental panas sudah terhidang di atas meja Salman. Sejenak Salman mengendus asap kopi yang mengepul. Hidungnya kembang kempis.

“Biasanya jam tujuh sore kau sudah tidur, Man” ucap Cut Hindar usai menghidangkan kopi.

“Sudah beberapa malam ini aku susah tidur….” Salman menjawab acuh tak acuh.

“Penyakit orang yang sedang jatuh cinta memang susah tidur,” Cut Hindar menyahut. Genit.

Orang-orang yang mendengar perkataan Cut Hindar menahan senyum. Salman hanya tertawa pelan seraya menyandarkan punggungnya di bangku. Jauh di dasar hati, Salman membenarkan ucapan Cut Hindar; dirinya memang sedang jatuh cinta! Ah, mungkin tidak sekadar jatuh cinta lagi, tapi sudah meningkat pada taraf tergila-gila!

Bagaimana tidak, semua prosedur sudah ia laksanakan dengan baik. Butiran halus berwarna hijau itu sudah ia masukkan ke dalam gelas minuman Fatma. Juga mantra pengasihan itu sudah ia baca berulang-ulang sambil menatap tak berkedip wajah Fatma. Tapi mana hasilnya? Jika Fatma mengetahui perbuatannya, konon misinya memang bisa gagal. Tapi ia yakin Fatma tidak mengetahui perbuatannya. Serbuk itu ia tuang saat Fatma masuk ke dalam kamar.

Tadi pagi Salman sudah mendatangi orang pintar itu dan menanyakan kenapa hingga beberapa hari ini ramuan itu masih belum bereaksi. Tapi jawaban yang didapat sangat mengecewakan kalau tidak boleh dibilang menyakitkan; ia diminta agar bersabar. Bersabar? Ya, bersabar. Katanya, kemujaraban ramuan itu antara lain terletak pada kesabaran pemakainya. Semakin si pemakai sabar, semakin mujarab ramuan itu. Begitu pula sebaliknya. Tapi persoalannya, sampai kapan harus bersabar? Sampai kapan? Bukankah kesabaran sebagaimana juga kemarahan, kebencian, kesetiaan, kerinduan, selalu ada batasnya?

Meski begitu Salman tetap berusaha menyabar-nyabarkan diri. Ia tak mau kehilangan Fatma. Hanya Fatma-lah satu-satunya harapan hidupnya. Belahan jiwanya.

“Heh, melamun!” seseorang menyentak bahu Salman.
Salman terkejut.

“Masih ada rokok?” tanya orang itu meraih bungkus rokok di meja Salman.

Salman mengangguk dan dengan gerak tangan menyuruh orang itu untuk mengambil rokok miliknya.

“Terimakasih, Man. Aku pulang dulu…” orang itu menyelipkan rokok di mulutnya lalu beranjak pergi.

Malam kian bertambah larut. Sesekali angin berhembus menerobos rimbun daun menimbulkan bunyi mirip hujan. Habis itu sepi. Hanya kemerosak radio dua band milik Cut Hindar yang digantung di dinding warung lupa tidak dimatikan. Salman sendiri tiba-tiba tak kuasa menahan kantuk, tertidur di atas bangku pajang. Orang-orang satu persatu pulang.

Hingga menjelang pagi hanya Salman yang tersisa di warung. Salman tidur pulas mendengkur. Sesekali dari mulut Salman keluar igauan dan racauan yang bunyinya macam-macam, aneh-aneh, ngeri-ngeri dan lucu-lucu yang hanya Cut Hindar sendiri yang tahu.

SEPULUH

GERIMIS yang turun semalam membuat pepohonan tampak lebih hijau dan segar. Sisa-sisa aroma tanah basah menguap saat matahari menyembul dari balik bukit. Pagi yang cerah. Pagi di mana siklus harian penduduk kampung Pegasing dimulai. Inilah saat keringat menetes menjadi mutiara. Allah telah memberkahi Ulegle dengan kesuburan tanah sawah dan ladang. Tapi rezeki tidak serta merta datang begitu saja. Perlu kerja keras untuk mendapatkannya.

Di antara kesibukan orang-orang yang berangkat ke ladang, terlihat Umi menyapu halaman rumah. Wajah Umi secerah matahari pagi. Wajar, cita-cita Umi untuk menikahkan Fatma sebentar lagi bakal terlaksana. Meski sejauh ini Umi tidak mengerti apa yang membuat anak gadisnya berubah drastis, mau menikah. Kenapa Fatma yang dulu keras kepala belum mau menikah, kini tiba-tiba hatinya terbuka. Memang Fatma belum mengatakan langsung pada Umi, tapi sebagai Ibu yang dulu pernah mengalami masa-masa jatuh cinta, ia bisa membaca perubahan itu. Fatma jatuh cinta pada Salman!

Sementara di dalam kamarnya, pagi ini, Fatma disergap rindu pada seraut wajah laki-laki yang belakangan ini selalu menganggu hari-harinya. Fatma tidak tahu apa yang sebenarnya tengah menimpa dirinya. Kenapa tiba-tiba ia selalu ingat laki-laki itu. Kenapa bayang-bayang laki-laki itu terus menghantui. Sesuatu entah apa, begitu lembut, begitu halus, kerap menelusup ke dalam tubuhnya, entah sejak kapan, membuat desiran-desiran aneh, seperti rasa dingin yang sering menyergap ketika malam tiba, lalu segalanya terasa begitu indah saat membayangkan laki-laki itu. Membuat Fatma kadang malu sendiri. Malu karena laki-laki itu dulu pernah ia sakiti.

Tapi benarkah aku jatuh cinta pada Salman? Benarkah bayangan laki-laki itu adalah Salman? Berkali-kali Fatma mendengungkan pertanyaan itu ke dalam hati kecilnya, tapi ia selalu tak menemu jawab, kecuali sebuah kerinduan yang tiba-tiba datang menghentak hingga rasanya seluruh hari-harinya ikut terbakar. Rindu seperti apakah hingga membuat Fatma mabuk kepayang? Cinta seperti apakah hingga Fatma terlena? Ah!

(bersambung)

***

2 Replies to “Novel Orang-Orang Bertopeng (16)”

Leave a Reply

Bahasa »