Dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002
Teguh Winarsho AS
TIGA BELAS
SEBUTIR peluru melesat dari moncong senapan dan sebuah botol minuman pecah berserak di atas tanah. Batang-batang rumput patah, tercerai-berai oleh pecahan kaca yang tajam bagaikan mata pedang. Daun-daun remuk oleh getaran peluru yang melesat kencang seperti kilat menyambar wuwungan. Lalu, sepi. Sunyi. Hanya asap tipis mengepul dari moncong senapan dan sepasang bola mata merah, tajam, mengamati pecahan kaca yang remuk itu sembari tertawa. Tak jelas bagaimana bentuk mulut orang itu ketika tertawa karena wajahnya tertutup topeng. Tapi jelas ia seorang laki-laki. Gagah. Kekar.
“Brangas, sudahlah, tak perlu berlatih lagi. Kukira kau masih mahir menembak,” kata laki-laki berikat kepala merah, menepuk pundak Brangas, laki-laki bertopeng.
“Ya, aku memang masih mahir. Dari dulu…..” suara Brangas pelan namun terdengar berat, bergetar.
“Jadi untuk apa kau membuang-buang peluru itu? Kau tahu berapa harga peluru sekarang?”
Brangas yang ditanya menggeleng.
“Harga sebutir peluru sama mahalnya dengan harga nyawa manusia. Kau tahu berapa harga nyawa manusia, Brangas?”
Lagi, Brangas menggeleng. Tapi laki-laki berikat kepala merah disebelahnya juga tak segera memberi jawaban. Brangas penasaran.
“Berapa harganya?”
“Tak ada harganya.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Karena dia seorang pengkhianat. Pembohong besar. Nyawanya tak ada harganya sama sekali. Lebih rendah dari seekor anjing buduk penyakitan. Pantasnya memang mati!”
“Jadi…..”
“Ya, seseorang yang akan kita bunuh adalah seorang pembohong besar. Pengkhianat. Untuk tugas ini kita sama-sama tidak menerima bayaran. Tapi dendam. Dendamku akan terlunasi dengan kematiannya,” laki-laki berikat kepala merah menyahut cepat. “Kau tahu, akibat ulah pembohong itu aku kehilangan banyak teman. Juga posisi yang sudah lama kutempati. Ah, betapa bodohnya aku ketika itu…..”
Brangas mengangguk-angguk sembari mengelus-elus senapan yang kini digantung di leher seperti sudah tak sabar ingin segera melampiaskan dendam sahabatnya. Sorot mata Brangas berubah tajam. Berkilat.
“Aku bisa merasakan sakitnya dikhianati,” ucap Brangas pelan.
“Kau pernah dikhianati?”
“Temanku sendiri yang melakukan. Dulu kami sama-sama di Magelang. Ini lebih menyakitkan.”
“Terus apa yang kau lakukan?”
“Kubakar rumahnya dan hampir saja kutembak kepalanya…”
“Hahaha…..” Laki-laki berikat kepala merah tertawa lebar. “Rupanya kau bernyali besar juga. Kenapa tidak kau tembak sekalian kepala si pengkhianat itu, biar isi otaknya hancur?”
“Istrinya sedang hamil besar. Aku tidak sampai hati…”
“Tapi kau sudah biasa membunuh orang, kan?”
“Aku hanya menjalankan tugas…”
“Sekaligus menyalurkan hobi. Hahaha….” Tawa laki-laki berikat kepala merah terdengar keras. Brangas hanya tersenyum.
Dua laki-laki itu kemudian meneruskan jalan di antara belukar hutan. Tidak butuh waktu lama mereka sampai di depan gubuk tua. Ada beberapa gubuk di situ yang hampir roboh, tidak terawat. Rumput ilalang tumbuh setinggi pusar orang dewasa. Tengkorak dan kulit binatang dipajang di dinding gubuk berderet dengan botol-botol minuman.
“Kita sudah sampai di Markas,” ucap laki-laki berikat kepala merah. “Lepas topengmu…”
Brangas melepas topengnya. Masih cukup muda. Tampak garis-garis keras di wajahnya. Sorot matanya terlihat semakin tajam begitu topeng dibuka. Ada tato kalajengking di samping alis kirinya.
“Dulu kami tinggal di sini. Ada seratus duapuluh orang lebih. Tapi sebagian sudah kembali ke kota. Sebagian lagi menyusup ke dalam hutan. Sekarang kami hanya berlima. Tidak jelas statusnya….” Laki-laki berikat kepala merah tertawa hambar.
“Maksudmu?”
“Ada seseorang yang mengkhianatiku. Akibatnya fatal. Kami salah sasaran sehingga teman-temanku banyak yang mati terbunuh. Kini aku yang menanggung dosanya….” Mata laki-laki berikat kepala merah menerawang.
“Jangan terlalu risau. Kukira sudah lumrah sesekali kita salah dalam menjalankan tugas.”
“Aku kehilangan banyak teman dan juga jabatan….”
“Ini bukan akhir dari segalanya. Kau masih bisa bangkit. Aku akan selalu bersamamu.”
“Ya, ya, untung kau datang.”
“Terus, kapan kita habisi si pengkhianat itu?”
“Tenang, tenang. Jika sudah tiba saatnya, kau akan kuberi tahu. Yaah… Hitung-hitung kau bisa menyalurkan hobimu menembak. Ha-ha-ha…”
“Memang, rasanya aku sudah tidak sabar lagi. Sudah terlalu lama aku tidak dapat sasaran empuk….”
Laki-laki berikat kepala merah tersenyum tipis mengangguk-angguk.
Sementara nun di atas bukit, langit sore tampak mulai mengelam. Sebentar lagi malam datang. Malam yang hitam di tengah kesunyian hutan. Tapi mendadak sunyi pecah saat terdengar derai tawa beberapa orang dari balik rimbun belukar. Sekian detik rimbun belukar itu bergoyang dan bergerak-gerak sebelum akhirnya muncul tiga laki-laki berbadan tegap dan kekar berjalan mengapit seorang perempuan muda yang terus menangis, meronta, kedua tangannya diborgol. Brangas sempat kaget melihat kemunculan tiga laki-laki itu. Brangas mengangkat senapannya.
“Siapa mereka?” tanya Brangas.
“Mereka teman-teman kita,” jawab laki-laki berikat kepala merah singkat.
“Perempuan itu?”
“Mungkin penduduk kampung. Entah di mana mereka mendapatkannya.”
“Ditahan?”
“Ah, masak kau tidak tahu. Sudah sekian bulan kita tinggal di hutan, tidak ketemu istri. Kita butuh sedikit bersenang-senang.”
Brangas mengangguk-angguk paham.
Semakin mendekati gubuk, perempuan itu terus meronta dan berteriak-teriak minta dilepaskan. Wajahnya kian pucat menggigil ketakutan. Mendengar teriakan perempuan itu, tiga orang laki-laki berbadan tegap dan kekar justru tertawa lebar hingga bahunya berguncang-guncang. Salah seorang tiba-tiba menjambak rambut perempuan itu hingga kerudungnya lepas melayang tersangkut pepohonan, lalu membisikkan sesuatu dengan kasar.
Perempuan itu didorong masuk ke dalam gubuk, tubuhnya huyung, limbung, membentur tiang penyangga gubuk. Tiga laki-laki berbadan tegap dan kekar sesaat saling berpandangan, tersenyum lalu menyusul masuk ke dalam gubuk. Sejurus kemudian terdengar jerit perempuan itu melengking keras disusul isak memanjang. Tapi itu hanya berlangsung sesaat. Tawa dan dengus napas tiga laki-laki berbadan tegap dan kekar jauh lebih keras mampu menggetarkan dinding gubuk.
“Kau tidak mau bergabung?” tanya laki-laki berikat kepala merah, berkali-kali menelan ludah.
Brangas yang ditanya menggeleng. Mengusap-usap moncong senapannya.
“Ayolah, kita bisa bersenang-senang…”
“Tidak. Aku di sini saja.”
“Kau belum pernah melakukannya?”
Brangas menggeleng.
“Baiklah…” Laki-laki berikat kepala merah menepuk-nepuk pundak Brangas lalu bangkit berjalan menghampiri gubuk. Langkahnya cepat, tergesa-gesa.
Gubuk reot itu kembali berderak-derak penuh tawa. Brangas merebahkan tubuhnya di atas rumput. Menatap langit malam yang tampak kian tua, kelam dan murung. Semilir angin hampir saja membuat Brangas tertidur, jika saja telinganya tak mendengar bunyi letusan senapan dari dalam gubuk. Dorr! Dorr! Dorr! Sejurus kemudian malam berubah sepi, seperti mati….
2 Replies to “Novel Orang-Orang Bertopeng (21)”