Novel Orang-Orang Bertopeng (24)

Dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002

Teguh Winarsho AS

LIMA BELAS

UMI mondar-mandir dari dapur ke ruang tamu. Wajah Umi muram, gelisah. Gelisah karena Fatma belum pulang. Fatma sengaja pergi meninggalkan rumah, begitu kira-kira kesimpulan Umi. Tapi diam-diam orang-orang kampung mulai tahu apa yang melatarbelakangi kepergian Fatma. Apa yang membuat gadis cantik dan pendiam itu tiba-tiba pergi dari rumah tanpa pamit. Mereka tidak sepenuhnya menyalahkan Fatma.

Tapi benarkah Fatma sengaja pergi meninggalkan rumah? Bukan diculik oleh gerombolan orang bertopeng atau dibawa pergi makhluk halus yang konon suka iseng membawa pengantin perempuan pada malam pertama? Tiba-tiba Umi ragu dengan pikirannya semula. Apalagi ketika Umi ketemu dengan Hasbil, perempuan tua yang dikenal sebagai paranormal. Hasbil membenarkan dugaan Umi yang terakhir.

Hasbil bilang bahwa semalam ia melihat kelebat bayangan jubah hitam melintas di udara, melayang-layang lalu menghilang di dalam hutan. Menurut Hasbil, pemilik jubah hitam itu adalah makhluk halus yang suka membawa pengantin perempuan di malam pertama. Makhluk itu berwujud laki-laki, tinggi besar, berwajah buruk, bertaring tajam seperti drakula. Gerakan makhluk itu sangat cepat, tak bisa ditangkap oleh mata manusia biasa. Hanya orang tertentu yang bisa melihat gerakan makhluk itu. Meski tidak jelas kebenarannya, tapi seperti biasa cerita itu segera menyebar sampai pelosok kampung.

Mula-mula cerita itu disampaikan Burhan kepada orang-orang yang sedang berjaga-jaga ditepi jalan. Orang-orang itu mengangguk-angguk, percaya. Apalagi sumbernya dari Hasbil. Semua orang kampung kenal dengan perempuan tua yang sering menyepi di tempat-tempat keramat itu. Akhirnya cerita dengan cepat menyebar. Bahkan lebih cepat dari langkah kaki Burhan sendiri.

Buktinya, ketika Burhan bertemu dengan satu dua orang di tengah jalan, atau yang tiba-tiba lari dari teras rumah menyongsong dirinya, pertanyaan yang diajukan hampir sama: “Di mana makhluk halus itu membawa Fatma pergi?” Atau, “Kau lihat sendiri seperti apa wujud makhluk halus itu?”

Umi masih mondar-mandir dari dapur ke ruang tamu. Sementara Abah duduk di kursi teras rumah. Wajah Abah terlihat sangat tegang. Sesekali Abah menghisap rokoknya dalam-dalam dan membiarkan asapnya keluar sendiri lewat hidung atau mulut hingga sesekali wajahnya tidak kelihatan. Orang-orang yang datang dan pergi silih berganti di rumah itu, tak ada yang berani mengajak bicara Abah, kecuali Abah sendiri yang memulai.

Salman adalah orang yang paling sibuk. Hampir semalaman ia tidak tidur. Semua teman-teman dekatnya ia kerahkan untuk mencari Fatma. Bahkan Salman berjanji akan memberi hadiah uang kepada siapa saja yang berhasil menemukan istrinya dalam keadaan selamat. Tentu saja Salman tidak main-main dengan janjinya itu.

Tapi sayang, keinginan teman-teman dekat Salman untuk memiliki lembar-lembar uang dari Salman akhirnya musnah ketika tiba-tiba Fatma muncul dari jalan depan. Langkah Fatma gontai, sempoyongan. Rambutnya kusut. Wajahnya lelah. Orang-orang segera mengerubungi Fatma, kawatir jika tiba-tiba Fatma terjatuh. Tak terkecuali Umi yang larinya paling cepat disusul Abah. Melihat kondisi Fatma yang begitu buruk, Umi tidak jadi marah-marah. Beberapa perempuan segera berebut memapah Fatma, memijit-mijit tengkuknya, kepalanya, seolah merekalah orang pertamakali yang menemukan Fatma.

“Minggir! Minggir!” seseorang berteriak dengan penuh semangat menyibak kerumunan.

“Awas, awas, kasih jalan! Kasih jalan!” seseorang lain menyahut.

“Hai, Rukis, Tuni, siapkan air panas. Dan kau Atimi, jangan bengong saja. Ambil minyak angin di laci meja. Cepat!!” Umi ikut-ikutan berteriak. Rukis, Tuni dan Atim segera lari ke dalam.

“Panggil Hasbil. Suruh kesini!”

“Tidak usah, tidak usah…..” tiba-tiba mulut Fatma bersuara. Lirih.

Mendengar suara itu Umi lega. Konon orang yang baru kembali (atau dipulangkan) dari tempat persembunyian makhluk halus tiba-tiba jadi bisu. Tapi ternyata Fatma tidak.

Fatma direbahkan di atas ranjang. Seorang laki-laki, masih muda, duduk bersila di lantai, di samping Fatma. Matanya terpejam. Mulutnya komat-kamit membaca mantera untuk mengusir roh halus di tubuh Fatma. Asap kemenyan terus mengepul dari pojok kamar. Salman yang berdiri di belakang laki-laki bersila itu terbatuk beberapa kali. Wajah Salman mulai terang. Kedua matanya tak berkedip menatap sesosok tubuh molek di atas ranjang.

Tapi Fatma masih terbaring lemah di atas ranjang. Matanya terpejam. Rapat.

Kalau bukan karena suara ribut-ribut di luar mungkin Salman masih akan terus menatap tubuh istrinya. Tapi suara itu jelas mengganggu konsentrasinya. Dengan penuh keengganan Salman keluar. Di sana Salman mendapati orang-orang berkerumun, merapat, dengan sorot mata ketakutan. Anak-anak kecil dan gadis remaja masuk ke dalam rumah.

“Ada apa?” tanya Salman keheranan.

“Ada suara tembakan. Berkali-kali,” jawab Abah memendam cemas.

“Di mana?”

“Di dekat sungai. Pinggir hutan.”

“Gerombolan orang bertopeng itu mungkin akan mengacau lagi,” sahut seseorang.

“Aku sudah menduga semua ini pasti akan terjadi lagi.”

“Ya. Sudah lama mereka tidak kelihatan batang hidungnya.”

“Mungkin kemarin mereka sedang menyusun kekuatan.”

“Sekarang sudah saatnya kita melawan!”

“Ya, melawan!”

Suara itu sahut-menyahut membuat suasana gaduh.

“Baiklah, sekarang ambil senjata dan kita mulai bergerak. Ayo, cepat!” Tiba-tiba Salman berteriak. Keras.

Orang-orang segera lari ke rumah masing-masing mengambil senjata. Dan hanya sebentar mereka sudah kembali berkumpul. Rencong, Parang, sabit, pedang, golok, berkelebat di udara. Suasana semakin gaduh. Penuh teriakan histeris.

“Diam semuanya! Diam!!” seseorang berteriak keras. Suasana sedikit reda.

“Sekarang kita bagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama menyisir sepanjang aliran sungai Kiwang sampai perbatasan kampung. Kelompok kedua menyisir tepi hutan dan bukit-bukit yang ada di sekitarnya. Sedang kelompok ketiga berjaga-jaga di setiap sudut kampung. Amati setiap gerak-gerik yang mencurigakan. Jangan sampai lengah. Ayo, lekas berangkat!”

Sesuai dengan kelompok masing-masing mereka segera berangkat. Ada dua belas orang dalam kelompok yang dipimpin Salman. Mereka mendapat jatah menyisir tepi hutan dan bukit-bukit yang ada di sekitar Buntul Kemumu. Tugas ini agak berat di banding tugas dua kelompok lainnya. Tapi kelompok ini kebanyakan anak-anak muda.

Begitulah, dua belas pemuda itu terus mengikuti langkah Salman melewati jalan setapak bebatuan. Ini adalah jalan pintas menuju kampung Buntul Kemumu. Seseorang memberi tahu Salman, bahwa gerombolan orang bertopeng biasanya berada di hutan dekat kampung Buntul Kemumu. Jalan menuju hutan Buntul Kemumu cukup berat. Jika tidak hati-hati bisa terpeleset jatuh masuk jurang. Tapi Salman dan dua belas temannya sudah tahu bagaimana caranya berjalan di jalan seperti itu.

Belum ada lima ratus meter Salman dan teman-temannya melintas jalan setapak menuju hutan Buntul Kemumu, diam-diam dua pasang mata, tajam, terus mengawasi gerak-gerik mereka dari balik gerimbun daun sembari mengarahkan moncong senapan. Siapapun orangnya tidak akan mengenali pemilik dua pasang mata itu karena yang seorang wajahnya ditutup dengan topeng, sedang seorang lagi dibebat kain hitam. Yang terlihat hanya dua bola mata merah mencorong penuh api dendam.

Tepat ketika Salman berhenti sebentar, menyulut rokok, lalu melemparkan sisanya kepada teman-temannya, terdengar dua kali ledakan keras, membuat orang-orang yang sedang asyik menikmati hisapan rokok itu tanpa basa-basi menjatuhkan diri ke tanah, tiarap. Cukup lama mereka bertiarap dan mungkin akan lebih lama lagi jika mereka tidak mendengar suara orang merintih kesakitan. Semakin lama suara itu semakin terdengar keras.

“Salman!!” tiba-tiba seseorang berteriak keras, menghambur ke arah Salman tanpa mempedulikan keselamatannya sendiri karena boleh jadi akan ada tembakan susulan.

Tindakan orang itu rupanya segera diikuti oleh teman-teman lainnya. Tapi percuma, sia-sia, Salman keburu tewas dengan mata melotot dan bentuk bibir meregang, penyot, seperti menahan rasa sakit luar biasa setelah satu peluru menembus dada dan satu peluru lagi menghunjam tepat di antara kedua matanya. Darah segar berlumuran membasahi pakaian Salman.

Empat orang segera membopong tubuh Salman dibawa pulang. Sisanya meneruskan tugas.

Tidak jauh dari tempat itu, di balik gerimbun daun dan barisan pohon jati lebat, dua orang laki-laki berjalan cepat dengan cara merundukkan badan. Yang seorang memakai topeng, sedang seorang lagi membebat wajahnya dengan kain hitam dan masih diikat lagi dengan kain merah.

(bersambung)

***

2 Replies to “Novel Orang-Orang Bertopeng (24)”

Leave a Reply

Bahasa »