Dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002
Teguh Winarsho AS *
Keesokan harinya Salman dimakamkan. Acara pemakaman dibuat sesingkat mungkin. Secepat mungkin. Tapi yang melayat cukup banyak karena selain orang tua Salman cukup disegani, kematian Salman boleh dibilang sangat tragis. Baru saja Salman melangsungkan pernikahan, mendapat istri cantik, kini ia harus menerima dua peluru yang sekaligus merenggut nyawanya. Abah, Umi dan Fatma turut hadir dalam upacara pemakaman itu meski harus sering-sering menunduk menghindari tatapan aneh terutama dari keluarga Salman yang seolah tidak bisa menerima kematian Salman yang terjadi hanya sehari setelah pesta pernikahan.
Hanya Jakfar, kakak tertua Salman yang terlihat tabah menerima musibah yang menimpa adiknya itu. Umar dan Ali terus menunjukkan wajah tidak ramah. Bahkan sesekali tampak urat-urat di sekitar mata Umar dan Ali bergetar, jari-jari tangannya terkepal.
***
SEJAK kematian Salman, Umi sering melamun dan enggan diajak bicara. Abah tidak pernah berhasil menghibur hati Umi. Tapi suatu malam, ketika Abah sudah lelap tidur, tiba-tiba Umi turun dari ranjang mendatangi Fatma. Wajah Umi terlihat gelisah penuh rasa bersalah. Fatma sebenarnya tidak tega melihat wajah Umi yang memelas. Tapi Fatma juga tak punya kata-kata bagus untuk menyampaikan perasaannya. Akhirnya Fatma hanya diam menunggu Umi mulai bicara.
Malam hening.
“Maafkan Umi, Fat,” Umi mulai bicara duduk di tepi ranjang. “Umi mengakui salah….”
“Sudahlah, Umi. Tidak usah dipikirkan.”
“Sekarang Umi tidak akan memaksa kamu menikah dengan laki-laki pilihan Umi. Carilah laki-laki sesuai pilihanmu. Tapi ingat satu hal, laki-laki itu harus seiman…. ”
Fatma mengangkat kepalanya, matanya berbinar, menatap lekat seraut wajah keriput didepannya. “Benarkah, Umi?”
Umi mengangguk.
“Ada seorang laki-laki yang sampai hari ini aku tak bisa melupakannya. Aku ingin membina rumah tangga dengan laki-laki itu…..”
“Cukup!” Umi tiba-tiba memotong. “Umi tak mau dengar nama Hasan kau sebut-sebut lagi!”
“Kenapa?”
“Tak usah kujelaskan mestinya kau sudah sadar. Sudah paham!”
“Aku tak mengerti maksud Umi,” Fatma menggeleng-gelengkan kepala.
“Justru Umi yang tidak mengerti apa maksudmu!” suara Umi sedikit mengeras membuat Abah terbangun. Laki-laki tua itu kemudian ikut bergabung.
“Ingat, Fat,” Umi mencoba pelan. Mengatur nafas. “Hasan sudah mati, bahkan kuburnya di mana kita tidak tahu. Kenapa kau masih terus mencintainya? Kenapa? Carilah laki-laki lain…. ”
Fatma tersenyum. Kini Fatma baru mengerti ke mana arah pembicaraan Uminya. Senyum Fatma kian mengembang lebih lebar, membuat Umi keheranan. “Makanya Umi jangan memotong dulu pembicaraanku,” kata Fatma di sela-sela senyumnya.
Umi terdiam. Menunggu Fatma melanjutkan kata-katanya. Tapi Abah lebih dulu bersuara. “Benar yang dikatakan Umi. Jangan pikirkan Hasan lagi. Kuburlah Hasan dalam-dalam. Jangan kau ingat-ingat lagi.”
“Baiklah,” Fatma menghela nafas berat. “Sekarang, dengarkan semua baik-baik. Sampai hari ini, detik ini, aku masih mencintai Hasan. Karena……”
“Fatma!!” Abah melotot.
“Tenang dulu. Aku belum selesai bicara,” Fatma berhenti sebentar menatap bergantian kedua orang tuanya. Lalu, “Sampai hari ini Hasan masih hidup. Sekarang dia berada di rumah Cut Hindar. Apa yang dikatakan Salman semuanya bohong. Salman sangat licik. Kita semua tertipu. Gerombolan orang bertopeng itu tak pernah menembak Hasan. Justru Salman sendiri yang berusaha membunuh Hasan. Tapi Hasan tidak mati. Allah melindungi Hasan!”
“Jadi, Hasan masih hidup?” Umi setengah memekik.
Fatma mengangguk. “Hanya saja sekarang kondisinya masih lemah.”
Fatma lalu menceritakan kejadian demi kejadian yang dialami Hasan. Mulai dari ketika Hasan ditangkap gerombolan orang bertopeng, dijebloskan ke dalam penjara, racun yang dituang Salman, sampai ketika Hasan dilempar ke jurang. Umi dan Abah merinding.
“Ajaklah Hasan kemari. Kita rawat dia bersama-sama,” kata Abah ketika Fatma selesai bercerita.
“Betul, Fat. Kasihan Cut Hindar juga…..”
Kembali Fatma mengangguk. Meski jauh di dasar hatinya Fatma masih ragu apakah Hasan mau menerima dirinya. Ya, masih maukah Hasan menerima diriku yang sudah janda? Pertanyaan itu terus melingkar-lingkar di kepala Fatma seperti baling-baling kipas angin.
ENAM BELAS
SUBHANALLAH. Benar-benar hari yang penuh kesibukan. Hari-hari yang penuh berkah kebahagiaan. Setiap hari ada saja tetangga dan kaum kerabat yang datang bertamu ke rumah Abah menjenguk Hasan. Kadang ruang tamu sampai penuh tidak mampu menampung jumlah tamu yang datang, yang di antara suara mereka yang hiruk-pikuk diikuti derai tawa membahana, di dapur Fatma sibuk mengerjakan sesuatu. Mencuci gelas, piring, membuat minuman, memasak dan lain-lain.
Tapi kesibukan itu sama sekali tak membuat Fatma merasa lelah. Karena setiap hari Fatma selalu bertemu dengan seraut wajah cerah, senyum ramah dan suasana kekeluargaan yang hangat dan akrab. Apalagi kesehatan Hasan berangsur-angsur mulai membaik.
Apalagi ketika pada suatu malam. Ya, malam yang penuh isak tangis, tapi tangis kebahagiaan: Umi dan Fatma baru saja selesai menyiapkan hidangan makan malam, lalu duduk menghadap meja makan, ketika dari kamar sebelah muncul sosok laki-laki muda gagah dan tampan. Kalau saja tak ada bekas-bekas goresan di lengan dan wajah yang merupakan garis-garis tipis dan samar-samar, serta kalau saja Umi tak merawatnya setiap hari dengan telaten, tentulah Fatma tak akan mengenali sosok laki-laki itu.
“Kenapa aku tak diajak makan malam?” kata laki-laki itu setengah bercanda.
Umi dan Fatma tersenyum. Tapi secepat itu, setelah mereka menyadari keadaan Hasan yang nyaris sudah pulih seperti sedia kala, tak kuasa Fatma menitikkan air mata.
“Hai, Fat,” tiba-tiba Hasan bersuara sambil berjalan menghampiri meja. “Kau bisa menangis tapi mulutmu terus mengunyah nasi,” kata Hasan membuat wajah Fatma merah padam. Menunduk. Tersipu malu. Tapi memang sejak malam itu, Fatma sering tersipu malu ketika tanpa sengaja matanya beradu dengan mata Hasan. Mata seorang laki-laki. Dan tersipunya hati seorang perempuan.
Sementara itu nun jauh di Ibu Kota Jakarta, seorang pemuda penjaja koran, berteriak lantang di dalam bus yang terus melaju kencang, menyebut daftar KKN mantan pejabat yang baru lengser berikut kroni-kroninya. Juga hujatan, caci-maki dan kata-kata jorok yang begitu ringan keluar dari mulutnya. Pemuda kerempeng itu tak peduli ada seorang laki-laki berpakaian tentara yang terus mengawasinya. Andai kejadian ini berlangsung beberapa bulan yang lalu, tentu akan lain ceritanya.
Orang-orang yang mendengar teriakan penjaja koran itu hanya tersenyum sembari membayangkan hari-hari depan yang lebih ceria. Lebih hidup. Lebih berarti. Wajah mereka tampak bercahaya, penuh optimisme. Sebuah era baru terbentang luas di depan mata seperti bentangan layar putih. Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Yogya, dan kota-kota besar lainnya di seluruh pelosok negeri, bolehlah berpesta pora menyambut era kebebasan ini.
Tapi orang-orang kampung Ulegle, Buntul Kemumu, Bernoun, Lelabu, Pegasing, dan sekitarnya apakah bisa begitu? Tengah malam sesekali mereka masih mendengar gemuruh suara tembakan diikuti lengking jerit kesakitan dari dalam hutan. Adakah kebahagiaan di situ? Rasa aman? Harapan?
Kebahagiaan, rasa aman, harapan, atau apapun namanya, bagi orang-orang Ulegle, Buntul Kemumu, Bernoun, Lelabu dan Pegasing, hanyalah omong kosong belaka. Atau kalau memang itu benar-benar ada, pastilah hanya milik Hasan dan Fatma yang sebentar lagi akan menikah.
Tapi, sampai kapan?
-USAI-
Yogyakarta – Depok, April 2001 -2004
*) Teguh Winarsho AS, cerpenis/novelis kelahiran Kulon Progo tahun 1973. Pernah mendapat kehormatan sebagai cerpenis terbaik se-Jawa Tengah versi Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto. Cerpen-cerpennya banyak menghiasi media massa, seperti Republika, Kompas, Horison, Media Indonesia, Koran Tempo, The Jakarta Post, Matra, Suara Karya, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Lampung Post, Bisnis Indonesia, Warta Kota, Pikiran Rakyat, Trans Sumatera, Jawa Pos, Surabaya Post, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Wawasan, Solo Pos, Annida, Sabili, Nova, Citra dll. Tulisan-tulisannya dalam bentuk antologi bersama adalah Tamansari (Pustaka Pelajar, 1998), Aceh Mendesah dalam Nafasku (Kasuha, 1999), Embun Tajalli (Aksara, 2000), Bunga-Bunga Cinta (Senayan Abadi, 2003), Wajah di Balik Jendela (Lazuardi, 2003), Jika Cinta (Senayan Abadi, 2003), Pipit Tak Selamanya Luka (Senayan Abadi, 2003), Jalan Tuhan (Lazuardi 2004), dll. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit, Bidadari Bersayap Belati (Gama Media, 2002), Perempuan Semua Orang (Arruzz, 2004). Salah satu cerpennya masuk dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas tahun 2003. Sementara novelnya Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian Suara Pembaruan, edisi 10 April – 07 Juni 2000. Novel Orang-Orang Bertopeng dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002.
One Reply to “Novel Orang-Orang Bertopeng (25 Tamat)”