Novel Orang-Orang Bertopeng (6)

Dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002

Teguh Winarsho AS

Sementara itu, para perempuan yang tadi menemani Hamidah satu persatu pamit pulang. Kini di rumah tinggal Hamidah dan Fatma. Dua perempuan beda usia yang sama-sama sedih. Sama-sama kecewa.

“Jadi, benar, sudah dua hari Hasan belum pulang?” Fatma merasa perlu mengulang pertanyannya, meski sebenarnya ia sudah menduga apa yang terjadi menimpa Hasan, tunangannya. Sedikit banyak ia sudah mendengar kabar itu dari orang-orang yang tadi dijumpainya di jalan.

“Begitulah, Fatma, Ibu sedih sekali. Ibu selalu ingat Hasan. Ibu tak pernah bisa tidur nyenyak sekarang. Setiap malam pasti terjaga oleh mimpi buruk. Makanpun rasanya juga tidak enak. Ah, entahlah Fatma, mungkin Ibu sudah mau mati….”

“Jangan bilang begitu, Bu. Hidup dan mati seseorang ada di tangan Allah. Manusia tak boleh mendahului kehendak-Nya.”

“Tanpa Hasan, hidup Ibu rasanya jadi hampa, sepi. Kamu tahu sendiri, selama ini Hasan-lah yang menghidupi Ibu. Dulu ketika masih bekerja di Jakarta, setiap bulan Hasan selalu kirim uang pada Ibu. Sekarang Hasan tidak ada…..”

“Sabar, Bu. Hasan pasti pulang,” suara Fatma terdengar berat bergetar. Hatinya risau. Tapi Fatma tak mau menunjukkan kerisauannya di depan Hamidah. Perempuan tua itu tentu jauh lebih tersiksa dari pada dirinya. Fatma tak sanggup membayangkan kesedihan dan kekecewaan seperti apa yang dialami perempuan tua yang kini duduk didepannya.

“Sampai kapan aku harus bersabar?” suara Hamidah nyaris tak terdengar.

“Sampai Hasan pulang, Bu”

“Pajan? Kapan?”

Fatma diam beberapa saat. Matanya menerawang. Fatma bingung tidak tahu bagaimana caranya menghibur perempuan tua itu, sementara hatinya sendiri risau dan gelisah. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Hamidah semakin membuatnya tersuruk dalam kesedihan panjang. Tapi ia tetap berusaha tenang meski berat sekali. Karenanya sesekali ia pamit ke kamar mandi hanya untuk mengusap air matanya yang tak sanggup ia bendung. Kesedihan dan kebahagiaan seperti dua sisi mata uang yang tak mungkin bisa bertemu. Dan bagi Fatma, kebahagiaan yang dulu pernah ia rengkuh bersama Hasan kini hanya menjadi cerita usang. Menjadi serpih kenangan yang menempati ruang lengang hatinya.

“Kapan Hasan pulang, Fatma?”

Fatma tergeragap. Tapi dengan cepat ia bisa menguasai diri. Tersenyum. “Kita berdoa saja, Bu. Hasan cepat pulang…”

“Hampir setiap menit aku berdoa. Tapi Hasan tak kunjung pulang juga….”

“Jangan putus asa, Bu. Kita wajib berdoa dan berusaha. Allah pasti akan mendengar dan mengabulkan doa hambanya yang sungguh-sungguh.”

“Yah…. Aku akan terus berdoa…” Hamidah mengangguk-angguk.

Sesaat lamanya dua perempuan yang sama-sama sedih itu terdiam hanyut oleh pikiran masing-masing. Sementara di halaman luar bayangan pepohononan tampak memanjang. Meliuk-liuk diterpa angin. Tentu matahari sudah bergeser ke arah barat. Udara terasa lebih sejuk. Angin sesekali berhembus masuk lewat jendela yang dibiarkan terbuka menerpa kerudung Fatma.

Ruang tamu ukuran lima kali enam meter itu berubah sepi. Fatma duduk termangu menatap foto Hasan di dinding kusam. Kenangan-kenangan indah yang belum lama ia lalui bersama Hasan mengalir deras dalam benaknya seperti luapan air bah. Ya, belum lama rasanya kebahagiaan itu singgah di hatinya, kini ia harus berpisah. Sampai kapan? Fatma tak berani menduga-duga. Fatma hanya berharap semoga Hasan cepat pulang dan segera melamar dirinya. Apalagi teman-teman sebayanya semua sudah menikah.

Kesunyian tiba-tiba pecah ketika Hamidah terbatuk keras hingga bahunya berguncang. Fatma segera menyongsong calon Ibu mertuanya itu. “Sebaiknya Ibu istirahat di kamar saja. Angin sore tidak baik untuk kesehatan Ibu,” kata Fatma membimbing lengan keriput Hamidah. Perempuan tua itu menurut.

“Kamu sudah pamit mau menginap di sini, kan?”

“Ya.”

“Jangan lupa kunci semua pintu dan jendela. Kamu tahu sendiri sekarang keadaan kampung lagi gawat. Banyak orang jahat berkeliaran.”

“Ibu tahu siapa mereka? Apakah orang kampung sekitar sini juga?”

“Tak ada orang yang tahu. Mereka pakai topeng.”

“Topeng?” Fatma tiba-tiba teringat cerita Cut Sari, sepupunya.

“Ya, topeng. Tapi kadang mereka hanya menutup wajahnya dengan kain hitam saja. Yang terlihat hanya kedua belah matanya….”

“Menyeramkan sekali….”

“Mereka beringas, tak segan-segan membunuh orang. Aku tak habis pikir mereka sebenarnya manusia atau binatang. Wujudnya manusia tapi kelakuannya persis binatang. Bahkan mungkin lebih buruk dari binatang. Makanya kamu harus hati-hati jika keluar malam. Kalau bisa tidak usah keluar. Konon mereka suka memperkosa gadis-gadis cantik. Seperti kamu….”

Fatma merinding. Selain dari Cut Sari, sepupunya, sebenarnya Fatma sudah sering mendengar cerita-cerita semacam itu. Tapi entah kenapa baru kali ini ia merasa sangat ketakutan. Mungkin karena kali ini ia mengalami sendiri; bagaimana Hasan, kekasihnya, lenyap dari kampung tanpa diketahui di mana keberadaannya. Fatma juga melihat langsung bagaimana ketakutan membayang di wajah setiap penduduk. Bagaimana keresahan tumbuh di jantung warga, menjalar seperti virus mematikan.

Sebagaimana anak-anak lain, Fatma memang dibesarkan dengan cerita-cerita mengerikan. Cerita-cerita yang membuat anak-anak pasif kehilangan daya pikir kritis. Wajarlah jika kemudian mereka tumbuh sebagai anak-anak penakut. Pengecut. Tapi mungkin suatu saat ketika rasa takut terakumulasi dan sudah tidak bisa dipertahankan lagi, ia akan menjelma bara api yang menyulut semangat keberanian. Ya, keberanian yang menyala di dada setiap orang. Keberanian yang terus berkobar hingga tetes darah penghabisan.

Seperti halnya kesabaran, bukankah rasa takut juga ada batasnya? Tidak hanya itu, setiap apa pun di dunia ini selalu memiliki batasan. Dan kelak, mungkin, pada suatu malam yang gerah kentongan akan dipukul bertalu-talu, obor dinyalakan, dan orang-orang bergegas keluar rumah menghunus senjata tajam. Menganyun-ayunkan pedang, golok atau rencong.

“Kenapa diam saja Fatma? Apa yang sedang kamu pikirkan?” Lagi-lagi suara Hamidah mengejutkan. Fatma tergeragap, menggosok-gosok mata sekadar untuk menyembunyikan kegugupannya.

“Oh….. tidak, tidak apa-apa, Bu?”

“Jangan bohong Fatma. Aku melihat ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Ayo, katakan saja pada Ibu.”

Fatma diam sejenak. Jelas pikirannya kacau. Itu terlihat dari raut mukanya yang tegang. Tapi mendadak kepala yang tertutup kerudung merah jambu itu menggeleng. “Benar, Bu, tidak ada apa-apa. Sebaiknya Ibu tidur saja.”

“Aku memang capek sekali. Aku mau tidur dulu. Kalau kamu lapar ambil sendiri di dapur. Tadi orang-orang banyak yang membawa makanan ke sini…”

Fatma mengangguk.

Di luar hari mulai gelap. Lampu-lampu pinggir jalan mulai menyala. Tapi jalan di depan rumah tetap lengang. Hanya sesekali terlihat seseorang melintas, itupun dengan langkah tergesa-gesa seperti dikejar setan. Habis itu sepi lagi. Orang-orang tentu sudah mulai tak berani keluar rumah sembarangan kecuali jika ingin mendapat celaka. Fatma bangkit dari tempat duduk berjalan mengunci pintu. Ia tak tahu apakah malam ini bisa tidur nyenyak sementara sebagian atau mungkin malah semua pikirannya tertuju pada Hasan yang entah di mana keberadaannya.

Setelah menyalakan lampu-lampu rumah, Fatma menengok Hamidah. Tapi hanya sebentar. Perempuan tua itu sudah lelap tidur. Tapi bahkan dalam tidurnya yang lelap, kesedihan itu tetap membayang di wajah perempuan tua itu. Sebelum melangkah keluar, dengan hati-hati Fatma membenahi letak selimut Hamidah yang berantakan. Fatma tidak ingin perempuan tua malang itu terbangun akibat gerakannya.

(bersambung)

***

2 Replies to “Novel Orang-Orang Bertopeng (6)”

Leave a Reply

Bahasa »