Muhammad Yasir
Ada sebuah gereja yang terbuat dari batu-batu besar di tepi Sungai Warswei. Pada hari Minggu yang cerah, para jemaat yang hanya dua puluh satu orang itu dengan pakaian terbaik mereka, tampak berjalan beriringan. Tentu saja, anak-anak berjalan paling depan. Sementara orang-orang dewasa dan senja usia berjalan paling belakang. Bagaimana pun, sepasang mata mereka telah dimangsa rabun dan ketakutan. Karena itu, anak-anak yang masih polos itu adalah penunjuk jalan yang tidak perlu diperdebatkan. Dan, sepuluh kaki dari iring-iringan itu, sepasang anjing pemburu menguntit.
Matahari indah betul hari ini! Langit berwarna emas-kebiruan dan awan-awan keperakan membuat Sungai Warswei yang airnya terbentuk dari lelehan emas, berkilauan. Maka, jika engkau dan aku ada di sana, lenyaplah segala persoalan kehidupan. Lihatlah! Burung-burung gereja bertengger di ujung Salib, memperhatikan dengan seksama jumlah jemaat dan penampilan mereka. Dan, di antara para jemaat itu, hanya ada seorang anak lelaki yang sejak tadi berjalan menunduk tidak seperti kawan sebayanya. Semacam ada suatu hal yang mengganjal di hatinya.
Dua belas tahun lalu, seorang perempuan yang memenangkan perjudian nasib hidup dan mati memberikan nama Reu kepada bayi lelakinya – anak lelaki yang berjalan menunduk tadi. Bagi orang kebanyakan di tepi Sungai Warswei, Reu artinya seseorang yang setia, berbelas-kasih, dan penyayang. Akan tetapi, Reu tidak pernah mengetahui makna dari namanya. Musim baru, musim pembunuhan, dalam perjalanan masa kanak-kanaknya telah membuat orang kebanyakan, termasuk dirinya, kehilangan waktu untuk mencari tahu apa makna dari namanya.
Namun Bapa Missael, seorang pendeta muda yang baru saja ditunjuk menggantikan pendeta sebelumnya, mengatakan pada Reu bahwa namanya mengandung kemuliaan hidup. Untuk itu, sebelum terlambat jauh, Bapa Missael berpesan: “Kemuliaan yang diberikan Tuhan untukmu, pergunakanlah untuk berbuat kebaikan di muka Bumi. Sekali pun, dentum meriam dan hujan peluru bisa datang kapan saja. Bahkan, ketika engkau memimpikan dunia yang damai, Reu!” Dan, lagi-lagi, Reu tidak mengerti apa makna pesan Bapa Missael minggu lalu kepadanya. Oleh karena itu, pada hari Minggu yang indah ini, dia ingin membuat pengakuan dosa.
Setelah kata “Amen!” diucapkan para jemaat untuk menutup ibadat hari ini, Reu memisahkan diri dari kawan sebayanya dan menunggu para jemaat meninggalkan gereja. Sepuluh menit kemudian, perlahan-lahan Reu berjalan menuju ruangan pengakuan dosa.
“Bapa Missael-ku, pembawa pesan Tuhan agung,” kata Reu. “Minggu ini, aku punya Abang di Merauke mengirim lima kaleng susu kambing etawa dan sepucuk surat.”
“Oh! Bagus itu. Susu kambing etawa baik untuk tumbuh-kembangmu, Reu.”
“Betulkah, Bapa Missael-ku?”
“Betullah. Tuhan mendengarkan kita.”
“Tapi, Bapa Missael-ku, aku hanya bisa membaca sedikit saja dari surat itu. Bagian susu kambing etawa itu. Sungguh! Aku punya Mama ambil surat itu dan membacanya di beranda rumah. Dan, Bapa Missael-ku, pembawa pesan Tuhan agung, Aku punya Mama menangis setelah membaca surat itu. Aku tanya mengapa, dia berlalu pergi ke pelataran dan tidak berkata sepatah kata pun, selain menangis.”
“Mungkin engkau punya abang ada ujian kehidupan dari Tuhan.”
“Ujian? Aku punya Abang sudah tidak sekolah, Bapa Missael. Dia juga jarang pergi ke gereja.”
“Maksudku, ada semacam masalah yang menimpanya.”
“Oh, begitukah, Bapa Missael-ku? Masalah itu datang dari mana, toh?! Mengapa orang-orang dewasa seperti aku punya Abang diberi masalah?”
“Bapa Missael tidak tahu, Reu. Coba tanya engkau punya mama.”
Reu menunduk, kecewa.
“Jangan khawatir! Sekarang engkau berdoa kepada Tuhan sudah. Dan, akui dosamu segera!”
Reu mengeluarkan sepucuk surat dari saku celananya, kemudian berkata, “Ini, Bapa Missael-ku. Ini dosaku minggu ini! Aku mengambilnya bawah Mama punya bantal. Sekarang, aku ingin Bapa Missael-ku membacanya untukku. Bisakah?”
Bapa Missael mengulurkan tangan melalui sebuah lubang dan Reu segera menyerahkan sepucuk surat itu.
“Baik, Reu! Aku akan membacakan untukmu, ya! Jangan kasih tahu mamamu, karena ini dosa!”
“Oh! Baik Bapa Missael-ku, pembawa pesan Tuhan agung.”
Sebelum membacakan sepucuk surat itu untuk Reu, Bapa Missael lebih dulu membacanya untuk dirinya sendiri. Sebelum kata salam di pojok kiri bawah surat terbaca, Bapa Missael menghentikan dirinya. Airmatanya meleleh, kemudian gugur ke lantai ruangan pengakuan dosa.
“Bapa Missael-ku, kenapa engkau lama sekali? Apakah Abang punya surat itu rusak?”
Bapa Missael terdiam.
Bagaimana pun, Bapa Missael harus menahan dirinya membaca surat itu untuk Reu. Akal sehat dan nuraninya tiadalah memiliki kekuatan seperti seorang presiden atau seorang serdadu yang berani-beraninya menguasai seseorang dan orang kebanyakan dengan kuasanya. Surat itu membuat hatinya benar-benar tersengit. Betapa tidak? Dalam setiap kata yang tertulis, seakan-akan memiliki ruh untuk menyampaikan kepadanya, bahwasanya dua orang serdadu yang hanya lulusan akademi telah memiliki kuasa menginjak kepalanya. Dua hari sebelumnya, dari sebuah koran daerah, Bapa Missael membaca berita seorang Papua di Merauke yang memiliki kehormatan dan kemuliaan yang sama di mata Tuhan, telah menjadi korban kekerasan kekuasaan dan kejahatan ras oleh dua orang serdadu yang bukan mereka. Hatinya tersengit dan dia menangis. Akan tetapi, dia tidak tahu jika korban adalah abangnya Reu. Jadi, minggu ini, dia memutuskan untuk berbuat dosa; berbohong kepada Reu tentang surat itu.
“Jadi, engkau punya abang, Reu, akan segera pulang dari Merauke dan membawa pakaian baru untuk engkau dan mama pergi ke gereja. Engkau punya mama menangis, karena dalam surat ini engkau punya abang berkata: “Maaf, Mama. Anak lelakimu belum mampu membeli kain yang terbuat dari emas.” Oh! Reu, engkau punya abang membanggakan sekali.”
“Jadi itukah sebab aku punya Mama merasa terharu, Bapa Missael-ku?”
“Ya, Reu. Tiada lain.”
“Baiklah, Bapa Missael-ku, pembawa pesan Tuhan agung. Kalau begitu, aku pulang dulu. Terima kasih, Bapa Missael-ku.”
Bapa Missael tidak menjawab. Dia bergeming, membisu. Tapi lihatlah Reu! Dia merayakan kebanggaannya di dalam hati! Hanya di dalam hati! Andaikata, para petugas penjaga distrik tahu bahwa Reu dan Bapa Missael membahas kekuasaan mereka, aku jamin! Mereka akan datang ke gereja dan ke rumah Reu untuk membuat Reu dan Bapa Missael berjanji di hadapan moncong senjata untuk tidak melakukan perbuatan yang mengganggu stabilitas keamanan negara.
Menjelang sore. Langit berwarna merah-darah. Riak Sungai Warswei terdengar seperti suara tangis seorang perempuan. Di antara batu-batu di tepi sungai, ada sebuah batu besar yang menurut cerita para tetua batu itu terbentuk dari jiwa, kesedihan, kasih-sayang, dan cinta para penduduk terdahulu yang ditinggalkan orang-orang tercinta. Mereka menyakiti jiwanya untuk merasakan bahwa kehilangan itu menyedihkan dan menyakitkan. Untuk itu, mereka akan serta menghantarkan kepergian orang-orang tercinta dengan melukai.
Di sebuah rumah kayu, kesepian hidup di seantero sudut. Tidak ada bunyi pisau mengiris bawang atau bau bawang yang digoreng. Di sanalah Reu tinggal bersama mamanya. Akan tetapi, beberapa hari belakangan ini, Reu merasa ada yang aneh dengan sikap mamanya. Seperti hari ini. Menjelang sore ditelan malam, dia tampak berjalan tergesa-gesa di jalan setapak yang tertutup dedaunan kering dan dedahanan pohon yang lapuk menuju batu besar itu! Reu yang mencari-cari, mendengar suara tangis tidak jauh dari batu itu. Dia bergegas menghampiri. Cahaya bulan berwarna kebiruan, menampakkan seseorang bersimpuh di atas batu itu sembari menangis! Reu mengenali suara itu. Itu mamanya! Tiada lain. Kemudian dia berlari dan dengan mudahnya naik ke atas batu itu.
“Apa Mama buat di sini? Sudah menjelang malam begini?!”
Tidak ada gubrisan.
“Oh! Mama! Apa yang Mama buat ke Mama punya jari? Mengapa ini?!”
Reu menangis ketika melihat jari tangan kiri mamanya yang tinggal satu, putus karena sebuah batu kecil. Diapun merampas batu itu dan melemparnya ke tengah sungai. Dengar! Bukankah suara batu berdarah membentur air Sungai Warswei itu terdengar seperti kemarahan yang tidak sempat meledak?!
“Mengapa Mama lakukan ini?! Padahal, aku ingin kasih tahu bahwa aku punya Abang membanggakan! Dia membelikan baju untuk kita pergi ke geraja!”
Dalam tangisnya, mama berkata, “Benar. Baju-baju itu kemudian dirampas serdadu-serdadu gagah di Merauke, karena melakukan perlawanan, mereka menginjak kepala mama punya anak tua! Jadi Iki Palek1 ini adalah satu-satunya cara untuk merasakan apa yang dia rasakan!”
Reu akhirnya sadar bawa Bapa Missael, pembawa pesan Tuhan agung, telah berbohong tentang isi surat itu. Kemudian dia bangkit dan menatap air Sungai Warswei. Cahaya bulan memantul ke wajahnya, tampaklah Bintang Kejora pijar di sepasang matanya. Dendam, jadi hidup di darahnya.
Surabaya, 2021.
* Iki Palek: Tradisi memotong jari di Papua