Muhammad Yasir
Tahun 1941, sahlah aku menjadi seorang terdidik dari Zending Vervolgschool; sekolah milik Belanda di Kasongan. Dan, entah kenapa, tidak sekali pun terbesit dalam kepalaku untuk menjadi Belanda, meskipun Meneer Dedrick van Defras; seorang guru bahasa Belanda yang baik dan selalu menyuruhku untuk datang ke rumahnya setiap sore hari, menyuruhku untuk melanjutkan pendidikan ke Hollandsche Indische Kweekschool di Batavia. Aku memilih Kalimantan, karena tubuhku dan hidupku terbentuk dari kemuliaannya. Secara diam-diam, aku telah memantap diri dan keyakinanku untuk menjadi seorang guru. Dan, tanpa sepengetahuan Menner Dedreick Van Defras, aku melanjutkan pendidikan sekolah guru ke Kioin Josejo di Sampit.
Perjuangan untuk mewujudkan keinginanku menjadi seorang guru, sukar kuceritakan kepadamu, anak-anak zaman neon. Ketegangan dan ketakutan hanya berjarak satu kaki di hadapan dan belakangku. Saban hari, aku melihat orang-orang hidup dalam rodi. Sialnya, tidak ada kemampuan dalam diriku untuk membebaskan mereka, selain menanamkan semangat pembebasan dalam kepala anak-anak mereka yang bersekolah di Sekolah Rendah di Rantau Pulut, Seruyan Tengah dengan bahasa kami; bahwa hanya dengan bahasa kami, Belanda tidak akan mengerti. Akan tetapi, Belanda adalah Belanda. Mereka selalu memandang curiga orang-orang boemipoetra terdidik. Kata Meneer Dedrick van Defras, orang-orang boemipoetra yang melakukan pembelotan di Jawa adalah anjing-anjing yang tidak tahu balas budi. Mereka tidak menghormati keagungan dan keluhuran putih yang membuat mereka bisa membaca dan menulis.
Namun, kehidupan yang dihantui ketegangan dan ketakutan telah mengubah keyakinanku 100 persen.
Semua bermula pada pertengahan tahun 1946, ketika seorang kerabat datang kepadaku dan menyerahkan surat. Tertulis dalam surat itu bahwa akan datang seseorang yang berbeda, seseorang yang terhormat, seorang Penyelidik Militer Chusus bernama Kapten Mulyono yang mendapat tugas dari Tjilik Riwut untuk menemui seorang Guru Sekolah Rendah sepertiku pada suatu waktu di musim panas yang telah terbagi menjadi dua; perang dan kematian. Dia tidak datang seorang diri. Ada sebelas prajurit terbaik dari tanah Jawa bersamanya, di antaranya opsir muda Marconi R. Mangkin; seorang lelaki tampan berdarah Dayak Ngaju yang terpilih menjadi Opsir Angkatan Laut Republik Indonesia.
Berhadapan dengan Kapten Mulyono, tidaklah seperti berhadapan dengan anak-anak pedalaman dalam teror Nederland Indische Civil Administrative dan Meneer Dedrick van Defras. Sepasang matanya yang pijar menandakan bahwa hasrat terbebas dari kolonial menyala-nyala di dadanya.
“Namamu telah tercatat sebagai seorang Kapten Angkatan Laut Republik Indonesia Divisi IV. Jadi, engkau mesti bersiap-siaga. Berhentilah membuat pelajaran sekolah sementara waktu. Belanda sialan ini tidak akan tinggal diam. Dan, kupikir, mereka telah mengendus perjalanan kami. Engkau yakin dengan perjuangan ini?!” kata Kapten Mulyono yang membuat sepasang lututku bergetar.
“Tijel?”
“Bagaimana namaku bisa tercatat, Kapten?”
“Tidak ada waktu untuk menjelaskan. Engkau tidak perlu berpikir panjang untuk mempertimbangkan posisimu, karena semakin engkau mempertimbangkan semakin banyak orang-orang ditindas. Tjilik Riwut, tidak kuasa menyaksikan keadaan ini!”
“Tapi…”
“Tegaslah terhadap dirimu, Tijel Djelau! Apakah engkau juga akan menjadi terdidik yang berkhianat kepada republik?!” Kapten Mulyono bangkit setelah menghantamkan tangannya kemeja.
“Engkau tahu, Tijel? Sehormat-hormatnya manusia adalah ketika mereka terbebas dari penjajahan! Dan, engkau sungguh memiliki keberanian untuk menentang cita-cita republik di hadapanku! Baiklah. Aku akan pergi sekarang!
“Tunggu, Kapten. Bolehkah aku bicara sedikit?”
Kapten Mulyono kembali duduk di kursi dan mencoba mendengarkanku.
“Aku memiliki seorang teman Belanda,” katakku, “namanya Meneer Dedrick van Defras. Tahun 1941, dia memintaku untuk pergi ke Batavia dan bersekolah di Hollandsche Indische Kweekschool. Aku menolak, karena aku Kalimantan. Aku ingin menjadi guru di sini, di tanahku, sekali pun hanya sebagai guru Sekolah Rendah. Dan, secara diam-diam, aku menanamkan kepada murid-muridku semangat pembebasan. Akan tetapi, bagaimana mungkin aku bisa membebaskan rakyat kita hanya dengan diriku seorang. Untuk itu aku berkali-kali pergi, secara diam-diam pula, orang-orang dengan semangat yang sama. Tapi, aku tidak menemukan itu…”
“Cukup, Tejal! Jangan membuat dirimu seperti seorang pendosa. Tuhan tidak akan bersama orang-orang seperti itu. Sekarang jawab pertanyaanku, apakah keyakinanmu itu akan membuatmu jadi pengkhianat Kalimantan dan republik?!”
“Hormat, Kapten. Tidak ada keyakinan yang lain daripada kemerdekaan!”
“Baik! Aku pegang sumpahmu.”
“Hormat, Kapten.”
“Beberapa hari kedepan, tahan dirimu. Jangan berkeliaran. Kami akan pergi ke Tumbang Majul dan Sepan Biha, kamp latihan militer Muhammad Noor 1001. Jangan tampakan batang hidungmu di jalanan!”
“Hormat, tidak akan.”
Menjelang subuh, Kapten Mulyono dan pasukan terbaiknya memohon diri untuk melanjutkan perjalanan.
Pada awal September 1946. Tersiar kabar bahwa Belanda berhasil menguasai pusat Kotawaringin Timur, Sampit, dan mereka mengirim pasukan pengawas ke Tumbang Manjul, wilayah hulu Seruyan. Tidak tanggung-tanggung pasukan pengawas itu terdiri dari Konongklijke Nederland Indische Leger dan Koningklijke Lands Macht atau Pasukan Angkatan Darat Kerajaan Belanda yang siap menggempur pasukan Muhammad Noor 1001 yang dipimpin Kapten Mulyono dan bermarkas di Sepan Biha.
“Kita akan menghabisi mereka dengan senapan dan mandau ini ketika tengah malam tiba. Aku akan memberitahu kapan jamnya. Terima kasih, sekarang bersiaplah,” Tulis Kapten Mulyono dalam Suratnya. Kemudian, dia menyuruhku untuk mengantarkan langsung surat lainnya yang ditujukan kepada Kapten F. J. Hips, seorang Wakil Controleur di Sampit untuk menyatakan perang di Tumbang Manjul. Dan inilah permulaan bagiku menjadi seorang tahanan KNIL!
Di dalam sebuah ruangan dua kali empat yang gelap dan pengap inilah aku akan segera dihabisi tanpa suatu pengadilan yang adil, tentu saja. Aku merasakan dinding penjara ini perlahan menyempit. Kepada Tuhan, segeralah matikan aku agar semangat revolusi yang bergejolak ini tak sesenti pun ternodai moncong senjata atau tiang gantungan anjing-anjing itu.
“Bawa dia keluar!” Teriak seseorang terdengar begitu dekat dari sini.
Lalu terdengar derap kaki mendekat. Terasa betul dunia tiba-tiba menjadi gelap di benakku. Tidak secercah pun cahaya matahari masuk ke sini, ke dalam hatiku. Dan, tak ada suatu apapun yang kutanggalkan untuk jalan perjuangan ini. Kepada Ibunda, sekarang ini, detik ini aku akan meninggalkanmu. Betapa rindu aku pada hangat pelukmu.
“Keluar!” Kata seorang sipir setelah membanting pintu.
Sekarang, aku dapat berhadapan langsung dengan seekor anjing Belanda yang kelaparan.
“Kapten Tijel Djelau, benar?” tanyanya.
Tidak sudi aku menggubris pertanyaan para pengkhianat ini.
Dia mengulangi pertanyaannya dan aku tetap tidak menggubris.
“Anjing pemberontak!” makinya sembari menumbuk perutku dengan bayonet yang gagah, kemudian dia membungkus kepalaku dengan kain hitam.
Mereka menyeretku seperti bangkai seekor anjing lainnya, tetapi aku masih bisa mendengar dengan jelas para tahanan revolusi bersorak: “Kita sudah merdeka! Kita harus merayakan ini! Kau mendengar satu kata dari Batavia yang menggelora: merdeka!”
“Diam!” Bentak seseorang. Sontak, hening menyelimuti seantero ruangan.
Tidak lama kemudian, aku didudukan pada sebuah kursi. Sepasang tanganku yang terborgol dilepas. Seorang KNIL yang membawaku mengambil tali tambang berwarna putih dan segera mengikat sepasang tanganku dengan ikatan seperti seorang tahanan yang akan segera dihukum mati. Dan, tangannya yang besar menampari wajahku tanpa ampun.
Dan, kurasa di sinilah aku akan segera berakhir. Selamat tinggal.
“Tijel Djelau, benar?”
Karena lebam, aku tidak dapat melihat jelas siapa yang bicara di hadapanku.
“Lahir di Kasongan, Agustus 1927?”
Aku bergeming.
“Guru Sekolah Rendah di Rantau Pulut tahun 1944-1947?”
Aku tetap bergeming sembari menahan darah di hidungku agar tidak terus menerus keluar.
“Kenal dan memiliki hubungan apa dengan Kapten Mulyono dan MN 1001/MTKI?”
Karena tidak ada suatu kata pun keluar dari mulutku, aku mendengar derap sepatu orang di hadapanku mendekat. Selanjutnya sepasang tangannya membuka mulutku, kemudian dia menarik lidahku.
“Kowe memiliki lidah, tetapi kowe tidak bicara?!”
Dia dan orang-orang di dalam ruangan itu tertawa terbahak-bahak.
Untuk kedua kalinya, tangannya yang kasar menarik lidahku. Namun kali ini, tidak seperti tadi. Dia melidahku dengan ujung cerutunya.
Aku berteriak kesakitan.
Untuk kedua kalinya, mereka tertawa.
“Sekarang jawab semua pertanyaanku, Anjing!”
Tidak. Aku tidak akan menjawab satu pun pertanyaan mereka. Dan, aku dibawa kembali ke dalam ruangan gelap dan dingin itu. Di sanalah, Kalimantan dan republik ini menjadi hidup di darah dan dagingku!
Surabaya, 2021