Taufiq Wr. Hidayat *
Ia mengenangkan hari-hari ketika semuanya masih utuh. Pohon mangga. Dan tikungan jalan yang dilewati gadis kecil saat petang. Perjalanan yang panjang, membawanya pulang, merebahkan desah pada harapan, menidurkan kelelahan ke dalam mimpi malam. Di situ, ia dipanggil-panggil kekasihnya. Menawarkan padanya mata air kesadaran, mata air yang menganugerahkan kesembuhan dari segala rasa sakit yang selalu menghebat ketika malam dengan kepedihan yang tak tertahankan.
“Siapakah pemuda yang mengiba di bawah panas matahari yang menghanguskan punggung manusia itu?” tanya Marsuto Jamalon pada Penyair Matjalut.
“Itulah pemuda. Itu seorang penyair. Ya. Penyair!” jawab Penyair Matjalut.
“Penyair?”
“Tepat! Pemuda itulah sang penyair. Penyair yang selalu menulis puisi. Tapi selalu membakar puisi-puisinya atau menghanyutkan puisi-puisinya ke sungai sembari mengenangkan wajah kekasihnya dengan hati yang tercabik-cabik.”
“Berarti hatinya terbuat dari kain, sehingga bisa tercabik-cabik.”
“Hahaha! Ya! Sedang hatiku terbuat dari besi. Sesulit apa pun, tetap bisa dipatahkan. Sehingga gampang patah hati.”
“Seharusnya hati terbuat dari air yang tak mungkin tercabik-cabik atau dipatahkan.”
“Tapi bisa dididihkan!”
Penyair Matjalut dan Marsuto Jamalon tertawa. Keduanya menghisap rokok. Menjaga jarak dan mencuci tangan pakai sabun, mematuhi protokol kesehatan guna memutus mata rantai penyebaran wabah virus corona. Tapi keduanya malam itu, melepaskan masker agar tak menghalangi mulut untuk menghisap rokok dan meminum kopi.
Potongan Marsuto Jamalon tinggi. Dadanya datar dan kokoh. Dia adalah kawan ngopi Penyair Matjalut. Bertetangga. Sehari-hari, Marsuto Jamalon berjualan Pentol Cilok dengan menggunakan sepeda motor. Kalau malam, dengan sebungkus rokok, ia datang ke rumah Penyair Matjalut. Keduanya ngobrol sampai larut malam. Dulu Marsuto Jamalon pernah kuliah di Fakultas Ekonomi sebuah perguruan tinggi swasta. Tidak lulus. Tapi berjualan Pentol Cilok. Di musim pandemi, Marsuto Jamalon dilarang berjualan oleh petugas. Hidupnya kerepotan. Tapi selalu tertawa bersama Penyair Matjalut. Kalau Marsuto Jamalon berpapasan dengan Penyair Matjalut, ia akan menyapa: “Awas! Cuci tangan pakai sabun. Jaga jarak. Bau!”
Penyair Matjalut tertawa. Dan pasti akan membalas: “Pedagang Pentol Cilok harap jaga jarak. Kemiskinan mudah menular!”
Marsuto Jamalon tertawa. Lalu memaki: “Penyair edan!”. Orang yang melihat heran. Keduanya memang karib.
“Sekarang lanjutkanlah kisah perihal penyair kesepian itu, Penyair Matjalut,” ujar Marsuto Jamalon sambil menghisap tembakau dalam-dalam.
“Baiklah, Marsuto Jamalon,” kata Penyair Matjalut. Penyair Matjalut menyalakan rokoknya.
Penyair itu bernama Penyair Basori Sumarlin. Tatkala kekasihnya meninggalkan kota, ia tak mendengar kabar. Ia mendapat kabar beberapa saat setelah kekasihnya pergi.
“Penyair Basori Sumarlin, kenapa engkau tak turut kekasihmu? Dia telah pergi meninggalkan kota ini beserta orang-orang yang mengaku mencintainya,” kata seseorang.
Penyair Basori Sumarlin terperanjat. Ia segera berlari. Berlari meninggalkan kota. Tanpa perbekalan. Ia berlari. Yang ia bawa hanyalah alat tulis.
“Apalah yang dimiliki seorang penyair selain alat tulis dan kata, bekalnya mengarungi kehidupan?” tanya Penyair Matjalut.
“Selain alat tulis, penyair punya hati. Hatinya seringkali disakiti. Merana sepanjang masa. Dan mendiami keterasingan,” jawab Marsuto Jamalon.
Penyair Basori Sumarlin menyeret kakinya di tengah padang yang dibakar matahari. Ia kehausan. Tetapi kedua matanya samar-samar menangkap bayangan rombongan sang kekasih. Di tengah kehausan yang hebat, ia masih kuasa menjerit. Menjeritkan nama kekasihnya. Tapi suaranya melemah. Ia sekarat karena kehausan. Dan nyaris berputus asa.
“Kekasihku! Kekasihku! Jangan tinggalkan aku. Tidak tampakkah olehmu, seorang penyair hina dan nista ini berlari-lari dari jauh, mengikuti jejak kudamu yang berdebu? Kekasihku! Kekasihku! Pujaan hatiku. Keindahan engkau bermain-main kekal di kedalaman mataku, kedua mata yang selalu terpukau. Hanya engkau yang sanggup menenangkan segala galau yang senantiasa parau. Mengenangkan wajahmu, aku selalu ringkuh, gugup dan kelu. Aku sekarat, kekasih. Tunggulah aku. Bersediakah kiranya engkau menerimaku yang tercabik kepedihan ini? Sudikah kiranya engkau membaca surat rinduku yang terbenamkan lautan ketakberhinggaan?”
Sampai di situ, pandangan Penyair Basori Sumarlin semakin kabur. Ia mengalami dehidrasi. Terkapar. Tak sadar. Panas matahari terus membakarnya dengan ganas. Sebentar lagi maut pasti membawanya. Tapi Penyair Basori Sumarlin mendengar suara memanggil-manggilnya. Suara itu begitu jauh, namun tegas dan beringas. Tubuhnya serasa tersiram kesejukan tiada terkira.
“Penyair Basori Sumarlin! Penyair Basori Sumarlin! Aku mendengarkan panggilanmu. Aku menunggumu, memikirkanmu dalam setiap langkahku. Bangkitlah. Aku menantimu.”
Itulah suara sang kekasih. Penyair Basori Sumarlin bangkit dari ketaksadarannya. Ia merasa mendapatkan sisa tenaga. Ia berlari. Berlari dengan segala daya upaya. Lalu terjatuh. Tapi sang kekasih telah berada di dekatnya. Memapahnya. Memberinya air. Dan ketika malam, sang kekasih memanggilnya.
“Kenakanlah selimut ini, agar kau tidak kedinginan. Selimut ini akan melindungimu dari dingin yang menusuk sampai tulang. Selimut ini adalah penjelmaan puisi-puisimu buatku. Puisi yang hanya kau persembahkan buatku, bukan buat lomba, festival, dan mabuk kebanggaan, atau antologi-antologi yang disponsori kekuasaan.”
“Begitulah,” ujar Penyair Matjalut. Ia menghirup kopinya.
“Siapakah sang kekasih itu?” tanya Marsuto Jamalon. Rokoknya habis.
“Itulah sosok manusia yang dirindukan. Yang kedatangannya selalu diharapkan. Kata-katanya meneguhkan ketakberdayaan. Senyumnya menawan dan manjur menyembuhkan segala kepedihan. Kehadirannya membuat kesedihan berubah menjadi kebahagiaan. Yang bingung, menemukan harapan. Yang menangis, perlahan tertawa. Ia yang mendengarkan dengan sepenuh hati segala keluhan dan penderitaan.”
“Iya siapa?”
“Sang kekasih.”
“Apakah sang kekasih itu hanya hidup di dalam fiksi?”
“Siapa saja yang mencintainya, ia akan menjelma dia.”
Tembokrejo, 2021
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.