Sastra Lisan Dayak Golik

Hari Purwiati *
insidepontianak.com, 29 Mei 2020

Sebagai bagian kebudayaan yang pernah hidup dan berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat, sastra lisan mempunyai fungsi dan kedudukan di kehidupan masyarakat penuturnya, seperti sebagai sarana penghibur, sarana pendidikan, dan sarana komunikasi. Bahkan, (Syahril, 2018:92) menjelaskan bahwa karya sastra baik lisan maupun tulisan tentunya mengandung ajaran, pesan, dan aturan yang terjadi dan berkembang serta berlaku pada masyarakat tersebut. Seiring kemajuan dan perkembangan zaman, terjadi pula perubahan di tengah masyarakat, tidak terkecuali masyarakat Dayak dan Melayu Kalimantan Barat. Perubahan ini berakibat pula perubahan pada keberadaan cerita rakyat di tengah masyarakat pendukungnya.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan perubahan tersebut; pertama, minat masyarakat terhadap sastra lisan mulai berkurang sehingga keberadaan cerita rakyat mulai terabaikan. Kedua, mulai langkanya penutur cerita rakyat karena banyak yang telah lanjut usia bahkan sebagian telah meninggal dunia. Ketiga, kemasan dari cerita rakyat dalam penyajiannya, cerita rakyat haruslah memiliki daya tarik sehingga cerita rakyat khususnya dan sastra lisan pada umumnya, bisa menjadi bacaan yang menarik dan menjadi tuntunan bagi penikmatnya. Keempat, adanya pandangan masyarakat yang menganggap bahwa cerita rakyat sebagai bacaan kanak-kanak belaka. Padahal cerita rakyat banyak mengandung nilai moral yang berguna bagi masyarakat.

Mengingat hal tersebut di atas, inventarisasi sastra lisan merupakan pekerjaan yang harus segera dilakukan sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan untuk beberapa keperluan.

Pada cerita rakyat, relasi antara isi cerita dengan sosial budaya masyarakat sangat kentara. Hal ini sangat masuk akal karena sebagai hasil karya kolektif, cerita rakyat diciptakan selain untuk pelipur lara juga memiliki manfaat lain. Manfaat lain tersebut di antaranya sebagai pengukuhan sistem yang ada pada masyarakat penutur sastra lisan tersebut. Selain itu, sebagai ragam sastra lisan yang hidup, tumbuh, dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, cerita rakyat juga mengandung banyak nilai budaya.

Koenjaraningrat (1984: 26) mengatakan, nilai budaya adalah lapisan pertama dari kebudayaan yang ideal atau adat. Nilai budaya berupa ide-ide yang mengonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam tatanan kehidupan masyarakat. Suatu sistem nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dan tumbuh dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat dan itu pun berkaitan erat dengan hal-hal yang mereka anggap amat bernilai dalam kehidupan.

Sastra Lisan Golik: Cerita Tujuh Bersaudara

Ada suatu kerajaan yang dipimpin seorang raja yang mempunyai tujuh anak laki-laki. Kegemaran anak-anaknya adalah berburu ke hutan. Bagi mereka, apa saja hasil buruan yang didapat tidak masalah, yang penting mereka mendapat hasil dalam berburu. Pada suatu hari mereka pergi berburu ke tempat yang jauh karena di hutan yang dekat dengan tempat tinggal mereka, sudah mulai jarang ada binatang. Setelah berjalan jauh, mereka belum juga mendapatkan binatang buruan. Namun demikian, tidak seberapa lama mereka melihat sebatang pohon yang di atasnya banyak bersarang burung. Pohon itu adalah pohon ketapang. Pohon ini aneh karena pangkalnya di langit dan pucuknya di dekat bumi. Tumbuh pohon ini terbalik dan terdapat banyak burung di situ.

Mereka mulai untuk berburu. Mereka menembak burung di pohon itu. Semua bersiap, dari Si Sulung sampai Bungsu. Ternyata yang mencapai dahan pohon itu adalah sumpit Si Bungsu. Sesaat setelah sumpit mengenai dahan lalu keluarlah getah mengucur dari pohon dan akhirnya menjadi seutas tali besar yang menjuntai ke bawah. Dengan tali ini mereka bisa naik ke pohon. Sulung yang pertama naik, setelah beberapa saat naik sudah cukup tinggi lalu dia bertanya, “Sebesar apa aku, Dik?”. “Sebesar kera,” jawab adiknya. “Oh ternyata aku masih kelihatan.” Lalu dia terus naik dan naik lagi, lalu dia bertanya kembali kepada adiknya, “Sebesar apa aku Dik?”, “Sebesar tupai,” jawab adiknya. “Oh aku sudah tampak kecil ya,” lalu dia takut untuk meneruskan naik lagi ke pohon itu dan dia turun kembali.

Selanjutnya, giliran anak kedua untuk naik pohon itu dan dia juga melakukan hal yang sama dengan Si Sulung. Setelah naik cukup tinggi lalu dia bertanya sebesar apa dia, dan setelah terlihat sebesar tupai turunlah dia. Begitu seterusnya sampai pada giliran terakhir anak bungsu naik ke pohon itu. Ketika Si Bungsu naik, dia terus naik ke pohon dan bertanya, “Sebesar apa aku, Kak?”, “Sebesar Bonci,” jawab abang-abangnya. Bonci adalah tupai yang kecil. “Oh aku masih kelihatan.” Lalu dia naik terus ke pohon itu sampai tidak terdengar suaranya. Kemudian, dia naik ke pohon dan melihat banyak sekali burung. Berbagai macam jenis burung ada di situ. Dia mulai menembak burung-burung itu dengan sumpit. Burung-burung pun berjatuhan. Keenam abang yang berjaga di bawah tugasnya adalah mengumpulkan burung yang jatuh.

Tanpa terasa hari sudah sore, mereka mendapatkan banyak buruan. Mereka membawa pulang bagian masing-masing. Namun, mereka cemburu dengan adik bungsu yang berhasil mendapatkan buruan paling banyak. Karena pasti Si Bungsulah yang menjadi perhatian orang tuanya.

Mereka pun mempunyai niat jahat. Tali yang tadi dipakai memanjat ke atas pohon dipotong. Sekejap, tali itu hilang. Si Bungsu yang masih ada di atas, tidak bisa ke mana-mana. Apalagi mau turun dan kembali ke rumah. Dia sudah ditinggalkan oleh abang-abangnya. Malam itu dia bermalam di sana hingga beberapa hari. Banyak sekali burung yang datang ke pohon itu.

Seekor burung yang paling besar, burung Enggang, mendekati dirinya. Burung itu bertanya, “Mengapa kamu di sini?” Si Bungsu heran, sebab ada burung yang bisa bicara. Dia pun bercerita mengapa bisa sampai ada di sana. “Oh seperti itu,” kata burung Enggang. “Baiklah nanti saya bantu, tapi biarkan aku makan dulu ya,” kata burung Enggang.

Setelah burung Enggang kenyang, dia berkata kepada Si Bungsu, “Sekarang kamu pukul-pukul badan saya ini supaya sayap ini bisa lepas dan rontok. Nanti kamu pakai sayap saya yang lepas seperti pakai baju. Biarkan saja saya di sini karena nanti sayap-sayap saya yang baru bisa tumbuh.”

Setelah dipukul-pukul oleh Si Bungsu, lepaslah sayap itu dan disuruh Si Bungsu itu memakainya. “Ini sekarang kamu pakai, memakainya seperti baju biasa, ini bisa kamu pakai untuk terbang,” kata burung Enggang. Burung Enggang pun mencari tempat yang bagus untuk istirahat supaya cepat tumbuh bulu baru. Si Bungsu telah memakai sayap pemberian burung Enggang tadi, dan terbang. Dia tahu di mana kerajaan tempat orang tuanya tinggal. Setelah terbang beberapa waktu, dia bertemu dengan kerajaan lain.

Di kerajaan yang dia temui, ada seorang bujang bernama Amang Lotur. Amang Lotur bertunangan dengan Dayang Putri Kumang. Kumang adalah seorang putri yang sangat cantik di kerajaan itu. Kumang bersama dengan kawannya pergi ke kebun tebu mereka. Mereka pergi dengan sampan ke hulu. Mereka juga ditemani oleh pembantunya yaitu Tengkulunong dan Tengkutobu. Setelah sampai di kebun, tiba-tiba ada seekor burung. Burung itu tidak lain adalah Limangmusu atau Si Bungsu tadi. Mereka mengejar burung itu. Namun burung enggang itu diam saja tidak mau lari, walaupun mereka semakin dekat. Akhirnya mereka tangkap. Setelah itu mereka mencari tebu lalu pulang membawa burung itu.

Tengkulunong di haluan dan Tungkutobu di buritan dan Kumang di tengah, dekat dengan burung itu. Mereka pulang menghanyut dengan sampan. Ketika Kumang mengupas tebu dengan pisau tanpa sengaja pisau itu terlepas dari tangannya jatuh ke sungai, tapi burung itu dengan cekatan mengambil dengan paruhnya. Hal ini membuat penasaran Kumang dengan burung ini. Karena dia merasa sayang, maka dipelihara burung itu di rumahnya. Di rumah Kumang, ada juga tunangannya yaitu Abang Lontur.

Setelah beberapa minggu berlalu, pada suatu malam si Bungsu keluar dari bajunya, kemudian dia bilang pada Tengkulunong dan Tengkutobu, “Coba kalian cari cabai, setelah itu kalian hidupkan api di bawah ya, dan bakarlah cabainya.” Abang Lontur sedang tidur di luar, asap dari cabai yang dibakar tercium. Dia batuk-batuk dan bersin. Merasa tidak mampu tinggal di situ lagi, dia lari pulang. Di akhir, dikisahkan Si Bungsu atas izin Jubata berubah wujud seperti manusia yang gagah dan membuat Dayang Putri Kumang jatuh cinta. Mereka berdua berumah tangga dan hidup bahagia.

Cerita Asal-usul Gua Tangraya

Di sebuah kampung suku Golik, sedang diadakan pesta atau gawai masa panen. Semua orang datang. Acara gawai meriah, penuh kegembiraan. Pada acara itu, datanglah seorang kakek dan seorang cucu laki-lakinya. Setelah kakek dan cucunya datang, tuan rumah menyuguhkan hidangan. Setiap hidangan yang diberi kepada kakek dan cucunya ini, selalu habis dalam waktu singkat. Setiap diberi lagi, tidak lama habis lagi, begitu seterusnya.

Semakin lama persediaan makanan semakin berkurang, namun anak ini tidak pernah kenyang. Ada ide supaya anak ini berhenti makan. Diambil kulat getah, kulat getah adalah getah torehan yang tidak dibuat kepingan, tetapi dibekukan sendiri, dicampur dengan kulit pohon, kemudian diiris. Anak yang tidak bisa berhenti makan tadi diberi irisan kulit getah kulat. Setelah dimakan, dia merasa aneh karena kulat getah tidak pernah putus walaupun digigit, tetapi dia terus saja menggigit kulit getah itu.

Melihat cucunya seperti itu, kakek merasa kasihan. Dia merasa cucunya sedang dihina dan diolok-olok orang. Kakek pun mengambil seekor anjing untuk dihias dan dipakaikan baju, supaya terlihat lucu. Setelah itu, disuruhnya anjing itu berjalan keliling kampung. Melihat keanehan itu, semua orang terbahak. Ketika semua orang terbahak, kampung mulai gelap dan datanglah awan hitam bersamaan dengan angin kencang, disertai petir dan guntur.

Hujan turun, bukan air, tapi batu. Peristiwa itu disebut lobur, artinya kampung yang kena hujan batu dan membentuk sebuah goa. Di dalam goa sampai sekarang ditemukan meja makan dan tempat perapian dapur.

Keberadaan Sastra Lisan Dayak Golik

Eksistensi dimaknai keberadaan sastra lisan pada saat ini di masyarakat Dayak Golik. Ini penting untuk dilihat dalam sudut penyelamatan sastra lisan Dayak Golik. Dari data yang didapat di lapangan, dapat disimpulkan bahwa dari dua cerita ini hanya judul cerita Gua Tangraya inilah yang diketahui oleh generasi muda. Akan tetapi, cerita utuh tentang Gua Tangraya sebagian besar tidak diketahui. Dengan demikian, mengenalkan kembali sastra lisan kepada generasi muda merupakan suatu keharusan dalam rangka pelestarian nilai budaya kepada generasi muda.

*) Hari Purwiati, peneliti Balai Bahasa Kalimantan Barat.

Leave a Reply

Bahasa »