Damiri Mahmud
Analisa, 7 Agu 2011
Nada panggil ponsel saya malam menjelang Isya itu saya biarkan berlalu berulang. Saya pernah berkali-kali menjawab panggilan dari nomor yang tidak saya program dan selalu menerima kekecewaan, “Maaf, salah sambung…” jawab saya terbata-bata, ketika yang memanggil di seberang sana langsung menerpa karena menganggap sudah kenal.
“Salah sambung? Siapa rupanya situ…?” Hebat orang Medan. Dia yang salah sambung awak yang kena damprat.
Berselang sekitar setengah jam kemudian ponsel saya bordering lagi. Nomor yang sama. Saya berkesimpulan si pemanggil tentulah punya kepentingan yang serius.
“Maaf, Bang, adik Abang, Ichwan…” Ichwan Azhari? Sudah lama saya tak berjumpa. Selintas, lima tahun yang lalu, di Garuda Plaza saya melihat sosoknya ketika menjadi panelis di sebuah diskusi. Dia telah menjadi Doktor sejarah jebolan Universitas Hamburg. Waktu saya memberikan tanggapan, Ichwan berkomentar, “Saya ingat bang Damiri ketika dia membawa saya menjajakan sastra masuk sekolah…”
Itu sekitar tahun 1979. Dia menulis esai dan cerpen kemudian menerbitkan bulletin “Selokan” yang bertahan satu tahun. Tahun 1978-1981 menjadi redaktur sastra remaja “Suara Pembangunan”.
Dalam pembicaraan telepon malam itu, dia mengatakan berhasrat menerbitkan naskah saya.
“Ada dananya, Bang…” Kami janji bertemu di Taman Budaya. Saya membawa naskah tentang Amir Hamzah yang dimintanya.
Pembicaraan tentang Amir Hamzah memang telah selalu saya lakukan. Pernah di Univa, kemudian di Pemda Tebing Tinggi. Kemudian atas prakarsa Edi Elison KR, didiskusikan pula di Sei Karang. Ikut pada waktu itu NH Dini sebagai penulis biografi Amir Hamzah dan putri tunggalnya T. Tahura. Ada pula di UISU, bersambung ke USU. Kemudian dalam diskusi yang digelar oleh Dewan Kesenian Sumatera Utara. Pertemuan Sastrawan Sumatera Utara 1997 di TBSU. Terakhir di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur dalam Seminar Sastra Bandingan Antarbangsa, 2007.
Dalam omong-omong kami itu, Ichwan buka kartu. “Ada pejabat dari Jakarta yang mau mendanai naskah abang itu. Dia pengagum Abang… Namanya Suhaimi.” Agak heran hati saya. Seorang pejabat yang mengagumi sastra. Sudah selalu sekali diresahkan di negeri ini bahwa sastra minus pembaca. Barangkali sosok ini merupakan kekecualian. Walau bagaimanapun saya tak mengenal nama itu. Kami bikin janji akan bertemu di Tip-Top, karena Sang Pendana akan pulang ke Medan dua hari lagi.
Tip-Top di Kesawan, Sabtu malam itu sungguh penuh pengunjung. Berbagai warna kulit bergabung di situ. Kuning, putih, abu-abu dan sawo matang. Ditambah dengan aura awal abad dua-puluh zaman keemasan Toean-toean Kebon di Deli. Ada pula orkes mengiringi santap malam yang mengalunkan lagu-lagu Medan tempo doeloe. Ini Medan Bung!
Meskipun hujan menderas ditingkah guruh dan petir, bahkan menambah romantika omong-omong kami, hingga pukul sebelas malam itu. Pendana itu adalah T. Suhaimi Idris, pernah menjadi jaksa di Medan kemudian menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Tanjung Pinang. Kini menjadi pejabat salah satu instansi di Jakarta. Ternyata sosok ini akrab dengan puisi. Dia punya nama pena pula lagi. TSI Taura! Mendengar nama itu saya terperangah. Sekitar awal delapan-puluhan, nama itu banyak mengisi rubrik budaya di harian Medan dengan tulisan-tulisannya berupa cerpen dan terutama puisi. Begitu juga puisi-puisi dan cerpennya banyak termuat di ruang Rebana dan RRPA harian Analisa. Dia masih akrab bercakap-cakap tentang sastra. Bahkan di samping kesibukan rutinitasnya, TSI Taura ini masih terus bergulat dengan puisi, hingga sekarang. Dia menunjukkan dua berkas naskahnya kepada saya yang rencananya akan diterbitkan pula. Dalam naskah itu secara sepintas saya lihat beberapa topik dia tulis, tentang diri dan keluarga, impresi tentang tempat di mana bertugas, tragedi tsunami Aceh dan Padang, hingga ke memorial Rendra dan Mbah Surip.
Waktu menulis di Medan, dia segenerasi dengan Foeza M. Hutabarat (ketika itu masih memakai nama Foeza March Esha), Ichwan Ar, Bahman Signal, Koentara DM, Mihar Harahap, Wirja Taufan, Asro Kamal Rokan. Dia katanya akrab dengan Foeza, namun walaupun sekarang sama-sama mukim di Jakarta tapi sekali pun tak pernah berjumpa.
Untuk menyambung ingatan kita terhadapnya sebagai penyair, diturunkan sebait puisinya berjudul “Gelisah” (ditulis di Bandung, Juli 2006) yang terasa relijius dan kuyup dengan pengakuan dan kesadaran akan kefanaan:
Seusai sujud terakhir ini
Jika Engkau usir aku
Di depan pintuMu
Aku tidak pergi
Karena cintaku telah lahir dalam firmanMu
Telah kutemukan cahaya ghaib
Sebelum senja luruh
Malam yang ditingkah hujan yang menderas dan sesekali dikejutkan oleh petir yang memekakkan anak telinga tak membuat pertemuan kami menjadi kecut. Apa lagi suasana arsitektur Hindia-Belanda yang masih kental mewarnai tempat pertemuan kami itu membuat Ichwan, sang doktor sejarah itu bertambah bersemangat. Bertambah kuno satu peristiwa bertambah menarik baginya. Apa lagi kaitannya dengan sastra begitu erat. Disertasi doktornya di Universitas Hamburg berkaitan tentang sastra sejarah dalam naskah Melayu Klasik, dengan tema perlawanan wacana dunia Melayu terhadap ekspansi Majapahit.
Ichwan berkisah ketika baru-baru ini ke negeri Belanda dia telah menemukan seratus ribu dokumen tentang media koran dan majalah di Sumatera Utara pada zaman kolonial. Sepuluh ribu di antaranya telah dia rekam dan dibawanya pulang. Malam itu dia menunjukkan di layar laptopnya sebuah artikel yang berasal dari harian Medan (“Benih Merdeka”) terbitan tahun 1918 yang berbicara secara terbuka tentang kemerdekaan. Ichwan berkomentar:
“Di Jawa dan di Jakarta, para pemuda berbicara tentang Indonesia Merdeka baru pada akhir tahun dua-puluhan. Di Medan, koran Medan sudah bicara tentang kemerdekaan secara terang-terangan. Bahkan nama korannya pun “Benih Merdeka!””
Ada juga yang tak kalah menariknya. Ichwan mengatakan bahkan koran “Benih Merdeka” itu, dan “Soeara Jawa” (1916), telah memuat cerita.
“Itu kisah fiksi?” Tanya saya.
“Ya, fiksi! Cerpen… Bahkan novel!” jawabnya, “dimuat secara bersambung.”
“Kalau begitu, temuan ini bisa meledak juga,” komentar saya.
Saya menyebutkan, dalam sejarah Sastra Indonesia Modern, genre novel (atau roman) baru mulai tahun 1920 ketika Merari Siregar menerbitkan Azab dan Sengsara atau pada tahun 1922 ketika Marah Rusli menerbitkan Siti Nurbaja. Genre cerpen baru ditemukan sekitar tahun 1935 ketika M. Kasim menerbitkan cerita-cerita “penggeli hati” yang terkumpul dalam Teman Duduk terbitan Balai Pustaka. M. Kasim itulah yang dianggap sebagai Pemula Cerpen Indonesia.
Kalau apa yang ditemukan oleh Ichwan itu memenuhi persyaratan sebagai sebuah cerpen, sejarah sastra itu haruslah dikaji ulang.
Apa lagi Ichwan menambahkan pula, dia juga menemukan puisi-puisi di kedua harian Medan (tahun 1916 dan 1918) itu dan bukan syair atau pantun. Dalam pelajaran sastra Indonesia Modern dikatakan, puisi modern kita baru mulai setelah Rustam Effendi dan Mohammad Yamin mengadopsi bentuk soneta dari Itali ke dalam Bahasa Indonesia tahun 1926.
Ichwan juga punya rencana “yang mendebarkan hati” tentang kepedulian terhadap sastrawan. Dia, punya lahan dua hektar yang akan dibangunnya sebagai museum sejarah di Kota Cina, Paya Pasir. Direncanakannya nanti akan mengundang para sastrawan, satu orang selama satu bulan sebagai Sastrawan Tamu untuk dapat menulis dengan bebas. “Segala fasilitas akan kita penuhi,” janjinya.
“Sastrawan itu unik,” ungkap Ichwan. “Sejarawan tidak bisa dan tidak boleh seperti mereka. Penulis sejarah menulis berdasarkan fakta dan penyelidikan sementara sastrawan berkarya berdasarkan imajinasi dan rekaan. Di mata mereka tulang-tulang yang sudah lapuk pun masih bisa bercakap-cakap…” Maklum dia sangat akrab dengan sastra dan seperti katanya, “Pernah bermimpi jadi sastrawan besar…!”