Allamah Syaikh Dalhar
Saya suka asbak. Saya pun seringkali menyulap diri saya sebagai sok kolektor asbak. Semata-mata bukan karena saya seorang perokok, tetapi sebentuk penghikmatan pada asbak. Apapun alasannya, saya sudah mencecap nyala, sedangkan asbak mewarisi abunya. Ehm. Namun, sisi istimewa asbak sebenarnya terkait hal-ihwal memori. Memori yang menyimpan jejak panjang masa lalu. Meskipun memori masa lalu tak kuasa melulu berperan sebagai penghulu waktu, tetapi setidaknya bisa dijadikan ancar-ancar untuk memposisikan diri dalam menapaki kekinian. Sok bijak nih!
Sebenarnya, koleksi asbak saya tidak banyak. Namun, semua asbak saya menyimpan memori manis. Sayangnya, sebagaimana memori yang agung dan sakral tapi mudah retak, tidak semua asbak saya sempurna sebagai jejak, bahkan bernasib tak berjejak. Tercatat, ada tiga asbak saya yang pecah, padahal di asbak itu melekat sekian peristiwa dari tempat luar biasa. Pertama, asbak tembikar, tanah liat dibakar, dari kawasan Borobudur, Magelang. Saya mendapatkannya ketika mengikuti acara Borobudur Writer and Cultural Festival, pada 2010. Kedua, asbak tembikar dari kawasan kompleks peziarahan Gunung Pring, Muntilan, Magelang, pada 2011. Ketiga, asbak hadiah dari kawan berupa helm kecil dari bahan keramik putih, pada 2009, ketika saya melacak naskah “Babad Madura” di Museum Radya Pustaka, Solo. Saat itu, kawan ini menjadi manajer area perusahaan rokok di kawasan negerigung Surakarta.
Namun, dalam kesempatan ini, saya ingin menuturkan kisah khusus asbak dari Gunung Pring. Alasannya klise, asbak itu menyisakan tilas memori yang mendalam, meskipun modelnya paling sederhana. Tanpa ada hiasan atau motif apa-apa. Tentu bukan karena ukuran asbak Gunung Pring itu paling besar di antara koleksi lainnya, tetapi yang istimewa karena memori itu terkait dengan puisi. Lebih tepatnya, kenangan itu begitu menyentuh, tepat ketika saya merasa begitu lama disapih puisi, lalu diperkenankan menyusu lagi, meskipun dengan tertatih-tatih.
Disapih puisi itu menyeramkan, Saudara. Apalagi bagi mereka yang menganggap puisi sebagai sebuah kebutuhan. Sungguh, saat saya mengalaminya, saya merasa menderita. Selain karena saya menganggap menulis puisi sebagai kebutuhan, puisi juga sebagai obat penawar. Yup, hal itu karena puisi sering menyaru sebagai penawar gejolak diri saya agar masih merasa tetap waras, dapat berdialog dengan diri dengan bebas dan tidak tergilas rutinitas dan realitas sehari-hari yang kadang meminggirkan kita ke sudut kemanusiaan tak terkenali. Meskipun selama ini posisi saya hanya seorang penulis puisi jadi-jadian, yang tidak kalis dari darah-daging keseharian.
Yup, peristiwanya mengemuka pada awal tahun 2011, ketika saya sudah tinggal di Yogya. Mungkin karena terlalu sibuk dengan kuliah, tanggungan hidup yang bikin jantung berdegup lebih keras dari sebelumnya, dan kondisi isteri yang sedang hamil tua anak kedua dan ‘mengungsi’ di rumah mertua, kedirian saya merasa terbelah, dan saya merasa puisi seperti terus berlari dari kehidupan saya. Berkali-kali saya berusaha merumahkan gelisah, pikiran, dan lain-lainnya, dalam sebentuk puisi sederhana, tetapi hasilnya nihil belaka.
Suatu malam, ketika saya sendiri di kamar kos di Jalan Arjuna, Sokowaten, Banguntapan, Yogyakarta, saya dihinggapi kengerian sepi diri yang akut. Tubuh sepi itu menjelma gurita raksasa yang mencengkeram diri saya, dan menyemprotkan tintanya, sehingga di sekitar saya hanya hitam semata.
Saya masih ingat, saat itu adalah malam Jumat. Saya tak dapat pulang ke Pati atau ke Surabaya, dan terpaksa di kos sendiri. Begitu menengok angka jam di gawai menunjuk pukul 23.45, yang ada dalam pikiran saya hanya satu: keluar dari kamar kos! Ketika sedang bersiap-siap, entah ilham itu datang dari mana, mendadak nama Gunung Pring mengemuka dalam pikiran saya yang sedang kalut. Saya pun langsung memutuskan ke sana, meskipun jarak Banguntapan ke Gunung Pring tidak dapat dikatakan sepelemparan batu, apalagi waktu hampir tengah malam.
Malam itu, saya tak peduli soal jarak. Dari tempat kos, saya mengendarai motor keluaran 2006 sendirian ke arah utara, lalu menyusuri kota Yogya, dan menuju ruas jalan ke arah Magelang. Saya tahu rutenya dengan pasti, karena malam itu, bukan pertama kali saya ke Gunung Pring. Tiga bulan sebelumnya saya pernah ke sana, tetapi siang hari. Harinya juga tepat Jumat. Bahkan, saya sempat ikut salat Jumat di Masjid Gunung Pring, yang arsitekturnya menunjukkan ketuaan usia, kesejukan yang tidak mengada-ngada, berhias ornamen klasik nan sederhana sebuah masjid desa tempo doeloe.
Awal saya mendeteksi alamat peziarahan Gunung Pring secara kebetulan. Hampir tiap bulan, saya pulang-pergi Yogya ke Pati untuk menengok anak-isteri, sehingga saya sering ngebis dari terminal Jombor Yogya—Semarang—Pati, dan sebaliknya. Begitu bus melewati kawasan Muntilan, saya selalu terpana dengan papan penunjuk arah: Watucongol, yang segera mengingatkan saya pada sosok legenda KH. Dalhar (1870—1959), pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang, yang selanjutnya saya sapa Mbah Dalhar. Entah kenapa, ada keinginan besar untuk sesekali sowan ke makamnya di Gunung Pring.
Tak heran, perjalanan pertama saya ke Gunung Pring, terus terang, karena saya begitu tertarik dengan sosok Mbah Dalhar, karena beberapa tokoh hebat lain yang juga dimakamkan di sana, saya sama sekali belum mengenalinya. Sebagai santri kampung di Jawa Timur, sosok Mbah Dalhar hadir sebagai sosok guru yang luar biasa. Tentu saja, kehadirannya dalam kisah-kisah masa kecil saya, tak dapat dilepaskan dari cerita sepak terjang Gus Mik.
Sungguh, kisah-kisah kesabaran Mbah Dalhar menghadapi Gus Mik muda saat berguru di Pesantren Darussalam Watucongol menguasai imajinasi saya sejak kecil, apalagi saya hanya santri gapji, gagap ngaji. Tentu saja, saat itu, saya belum tahu persis kesejarahan Mbah Dalhar bahwa ia masih terbilang cucu seorang panglima, Panglima Pangeran Diponegoro dan masih berdarah biru karena keturunan raja-raja Mataram tempo doeloe. Yang jelas, pada peziarahan pertama, siang itu, pascajumatan, sesampai di areal pemakaman Gunung Pring, satu-satunya yang saya tuju adalah makam Mbah Dalhar.
Alhasil, malam itu, ketika sepi mirip belati menusuk-nusuk relung hati, saya pun melaju ke Gunung Pring, meski sendiri dalam membelah dingin malam dalam perjalanan Banguntapan–Watucongol. Saya sampai di lokasi dinihari, sekitar pukul 01.00, karena saya tidak melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Saya menarik gas secara standar. Mungkin rata-rata sekitar 60—70 km perjam, atau bahkan kurang.
Sesampai di areal Gunung Pring, saya melewati pintu belakang, yang naiknya lewat undakan baru —sebagaimana jalur peziarahan pertama saya ke sana. Sebelum berziarah, seperti biasa, saya ngopi, ngemie dan ngudud di areal dekat tempat wudu dan toilet yang baru dibangun, di sebuah warung sederhana yang dikelola para santri. Selain kopi dan mi instan, di warung itu dijual pula minyak wangi, tasbih, dan asbak. Begitu melihat ada asbak dijual, dan pilihannya hanya dua, yaitu besar dan kecil, saya pun memilih asbak tembikar bundar berwarna hitam-cokelat yang besar. Sebuah oleh-oleh yang menjadi penawar resah diri.
Ketika jam sudah menunjuk pukul 02.00, saya baru beranjak dari warung, naik tangga sedikit, lalu ke areal makam di sebelah kanan. Saya langsung menuju makam Mbah Dalhar. Ada satu orang pria yang juga berziarah di depan pusara Mbah Dalhar. Dia berusia 45-an tahun, berpakaian lazimnya seorang santri, berkopyah hitam, berbaju koko putih, dan bersarung gelap, dan membaca Yasin dan tahlil. Adapun saya pakai jaket hitam, kaos oblong hitam, dan celana jeans, belum tahu apa yang akan dibaca.
Sebelum umik-umik, saya tepekur dan diam di depan pusara Mbah Dalhar. Entah kenapa dinihari itu, saya seperti menemukan sosok guru yang mau mendengar suara rintih hati seorang pengelana, yang mendakukan diri sebagai murid, dari jauh. Entah kenapa saya begitu lama di sana. Sungguh, selama di sana, saya lebih banyak diam daripada umik-umik. Entah kenapa saya tidak sebagaimana biasanya di makam orang-orang hebat, hanya umik-umik sebentar, lalu bergegas, meneruskan kegiatan. Dinihari itu, saya merasa sedang sorogan diri, membaca berulang-ulang, karena selalu tidak presisi. Mungkin ini melebihi sorogan puisi…
Baru pada pukul 03.00, saya bangkit. Pria tadi sudah tidak ada di tempat. Saya pun tergerak untuk melihat situasi sekitar, meskipun situasi sangat lengang. Hanya satu dua orang yang masih tampak di areal makam, itu pun dengan kesibukannya sendiri-sendiri di makam lain, yang tidak saya kenali. Baru pada dinihari itu, saya berusaha untuk mengenali beberapa tokoh yang dimakamkan di sana. Saya melihat ada makam Raden Santri yang jiratnya berlogo Kasultanan Yogyakarta, Kiai Jogorekso dan isteri, dan cukup banyak nama-nama lainnya, yang dalam pandangan awam saya: mereka semua tokoh hebat karena disemayamkan di Pesarean Gunung Pring.
Di depan beberapa pusara tersebut, saya umik-umik sebentar sambil menyebut namanya, kecuali di makam Raden Santri. Di depan pusaranya, saya mengambil sikap bersila, lalu umik-umik sebisanya. Suasananya agak remang-remang dan saya sendirian. Tidak lama, ketika saya sedang umik-umik, saya merasa tanah tempat saya bersila seperti diguncang gempa. Saya merasa dari arah dalam makam, terdengar suara buldoser yang begitu menghentak. Saya pun langsung bangkit dan lari terbirit-birit menuruni tangga belakang menuju parkiran. Saya sempat melihat arloji, jam sudah menunjuk pukul 03.45, berarti menjelang subuh. Hmmm. Ternyata, persitiwa barusan itu gempa lokal, karena orang-orang yang sedang begadang di bawah, dekat parkiran, tenang-tenang saja.
Sejurus kemudian, saya pun balik ke Yogya. Sungguh, kepulangan dari Gunung Pring ternyata lebih cepat dari berangkatnya ke sana. Saya sampai di Yogya baru pukul 04.40. Jalanan masih sepi. Hanya satu dua kendaraan melintas. Saya sendiri tidak tahu melajukan motor dalam kecepatan berapa. Pokoknya saya hanya mengingat ngegas, lupa dengan ngerem.
Begitu masuk ke kamar kos, kepala saya masih berputar-putar seputar para ‘avatar’, demikianlah saya menyebut orang-orang yang dimakamkan di Gunung Pring, mungkin karena saya suka dengan film kartun Avatar. Entah kenapa, saya masih jelas mendengar beragam suara berdengung di telinga —seperti suara burung-burung, meskipun Gunung Pring begitu hening dan suwung. Saya pun langsung membuka laptop, lalu sebuah puisi meloncat keluar. Judulnya “Titah Avatar”. Karena mulai tidak menggunakan teknik otomatisme dalam penulisan puisi, pada tahun 2017, saya mengedit puisi tahun 2011 tersebut.
TITAH AVATAR
dalam gemuruh dan riuh-rendah zaman, kupasu sepi dari percakapan hati dan batu. bila aku terasing dari bising, aku menyaru burung peking yang melengkingkan kicau dari balik gerumbul rumpun pring. kusapa anjing-anjing dalam diri, kutemui hantu-hantu yang mencipta ngeri di perigi, sungai, gunung-ngarai, dan wingit tanah yang belum tersigi, kurayakan pesta bawah tanah tempat arwah-jasad dijamu malaikat dan bidadari.
aku pun bertopeng pemberani karena ‘lah kulempar ketakutanku ke pusar jalan, ke bandar nasib, ke lobang hitam takdir, agar ia tawar sebagai bisa ular yang mampu membunuh jiwaku nan liar. bila aku merupa pertapa, karena aku tak ingin mati sendiri dalam perjamuan racun dunia. aku pun bersetubuh dengan riuh, sambil menenggak inti sunyi dari gemuruh. o renjana ruh!
kelak kugelar kesepianku dalam geletar pasar dan percakapan sumbang burung-burung jiwa menuju altar, sambil mengutip titah avatar yang ‘lah membakar kesendirianku di dalam kubah, yang bernama waktu. bila aku sering melanglang ke waktu lain, ziarah itu hanya piknik sementara agar aku tidak hancur berkeping-keping…
Yogyakarta, Februari 2011/Sidoarjo, 2017
Ziarah kedua itu memang menyisakan sebuah kenangan tak terlupakan, terutama dengan adanya pengikat kenangan bernama asbak. Selain malam Jumat tersebut, kira-kira pada tahun 2012, juga pada malam Jumat, saya berziarah kembali ke Gunung Pring. Kali ini, saya mengajak kawan Mahwi Air Tawar. Hal itu karena selama di Yogyakarta, saya sering ke rumahnya di tepi Kali Bedog, Gamping. Bahkan, saya menganggap rumah Mahwi sebagai rumah kedua saya di Yogya, selain kos saya, yang sempit.
Namun, malam itu, tidak semenantang peziarahan saya kedua ke Gunung Pring, karena kami berangkat tidak terlalu malam. Peziarahan yang saya lakukan dengan Mahwi malam itu, juga tidak semenantang peziarahan yang kami lakukan ke dua kompleks makam bersejarah lainnya. Pertama, tahun 2011, ke makam raja-raja Mataram di Imogiri, pada malam hari, lewat jalur belakang karena pintu depan sudah ditutup dengan dikawal Mas Ahmad Hanafi. Kedua, tahun 2012, ke makam KH. Muntaha di Kalibeber, Wonosobo, juga malam hari, dan bertolak dari rumah Mas Yusuf AN, dengan melewati jalan yang super sulit dan mendebarkan menuju makam kiai hebat itu di atas sebuah bukit. Hmmm. Petualangan yang tak mungkin terlupakan, meskipun tanpa kenangan berupa asbak dan petualangan tidak dibuhul dalam puisi, meski abstrak.
“Kalau sampeyan tidak menulis petualangan kita di Wonosobo, sampeyan kejam!” tutur Mas Mahwi, kala itu.
Seingat saya, saya berziarah ke Gunung Pring lagi pada tahun 2014. Kasusnya hampir sama dengan pada 2011. Setelah puisi saya “Munajat Buaya Darat” terbit pada 2013. Saya merasa disapih puisi, meskipun merasa menemukan dan kebanjiran puisi saat lawatan ke Larantuka dan Lembata pada 19—22 Maret 2014. Saat itu, tanggal 10 April 2014, saya ke Yogya untuk mengurus studi yang sempat terkatung-katung, dan seakan-akan menemui jalan buntu. Saya pun menyempatkan diri mampir ke peziarahan Gunung Pring. Kali ini pada siang hari dan mencoba melewati pintu masuk berbeda. Lewati pintu depan.
Ternyata, di pintu depan, saya mendapati cukup banyak warung, penjual pernak-pernik, dan buku tipis sejarah Peziarahan Gunung Pring. Bahkan, di beberapa warung, memasang foto seorang tokoh legenda Gunung Pring, yang akhirnya saya kenal dan menyisakan pertanyaan sendiri pada tahun 2011, yaitu Eyang Jogorekso. Pada saat itu, saya sempat menziarahinya. Kelak, pada tahun 2013, saya agak tahu tentang sosok satu ini, juga ketika saya membaca ulang kisah-kisah Gus Mik waktu muda. Konon, Eyang Jogorekso yang dianggap jadzab termasuk guru Gus Mik yang memperlakukan Gus Mik secara khari’ul adah. Sahdan, ia menampar Gus Mik tiga kali, lalu mendoakannya.
Entah kenapa, pada 2014 itu, ingatan saya melaju pada peristiwa 2011 yang lalu. Begitu sedang menyantap asem-asem daging di salah satu warung yang berderet di sana, yang dindingnya memasang foto Eyang Jogorekso, kuping saya seperti mendengar suara tembang-tembang dan nyanyian, meskipun sumbang, seperti suara batin saya sendiri yang gasang dan sungsang. Saya juga mengingat ‘gempa lokal’ dulu, yang berparalel dengan guncangan yang sedang mendera saya di Yogya.
TEMBANG GUNUNG PRING
siapa itu yang berbungkus kain panjang kafan
tapi bibirnya terus menembang maskumambang
mengundang malaikat-malaikat datang
malaikat berikat kepala atau berlepasan
rambutnya
dengan kilau perak, nan panjang berarak…
lisanku pun ikut bergerak menapaki undak-undakan
mengikuti jejaknya yang panjang, antara lempang
dan retakan…
tak ada jawab, kecuali lindu
yang menggetarkan nisan dan kelambu
gempa menggemparkan hati yang batu
—inti kalbuku
tiang-tiang penyangga perasaan pun merapuh
menyalakan api tubuh
–aku melepuh, aku melepuh!
lalu kusebut namamu dari kamus antah berantah
segugus aksara mencair dari cakrawala
di antara frasenya, mencipta ruang baca
dengan satu kursi, banyak meja,
dan melimpah gurat kata-kata kencana
entah bagaimana aku dapat mengutipnya
dengan sempurna…
haruskah aku biarkan ia abadi di sana
kerna aku tak ingin menyalin
kencana
berubah bencana…
lalu siapa itu yang berdiri di depan pintu
bersurjan biru, berlagu megatruh
di tangannya, bertudung sayap burung,
mengetuk jendela lewat bingkainya
mengecup ubun-ubun waktu di udara
mencatat malam tanpa kegelapan…
lalu siapa itu yang menyanyi
dengan notasi kinanti
rambut netranya panjang
mengintai
tak ada jawab,
kecuali senyap
senyap
senyap
Gunung Pring, 10 April 2014
Saya menganggap puisi saya itu, puisi yang lahir terlalu dini. Puisi prematur. Berkali-kali saya membacanya, saya hanya menemukan semacam dengkur orang tidur. Saya ingin mengeditnya ulang, tetapi saya tak kunjung melakukannya. Meski dangkal, saya merasa di sana ada kemurnian. Sebagai pembaca, saya memahami, kedangkalan itu adalah gambaran kedangkalan batin saya dalam menyelami perjumpaan saya dengan orang-orang yang ‘sumare’ di Gunung Pring, yang secara martabat sudah begitu tinggi melenting.
Pascatahun 2015 hingga pertengahan 2018, saya jarang ke Yogyakarta. Hingga pada 24 September 2018, saya kembali ke Yogyakarta dalam rangka mengikuti seminar bahasa dan sastra yang digelar Balai Bahasa Yogyakarta, yang kebetulan saya menjadi seorang pemakalah. Pada saat itu, buku puisi saya “Dangdut Makrifat” baru nongol ke muka bumi dan diterbitkan Basabasi. Mungkin karena itu, ketika saya dirundung rindu untuk ke Gunung Pring, dan saya mencuri waktu untuk berlalu ke Magelang, untuk berziarah lagi tepat pada hari Jumat, kata dangdut kembali menyapa saya, lalu munculah frase “Dangdut Filsafat”.
Sejatinya, puisi ini sok kenes, sebagaimana judulnya. Namun, yang jadi soal dalam puisi ternyata menyebut nama, dan saya sama sekali lupa konteksnya. Saya pun mencatat, puisi ini mengulang kedangkalan puisi saya sebelumnya. Bahkan, saya dapat melabelinya sebagai puisi yang dipaksakan kehadirannya.
DANGDUT FILSAFAT
: traktat jumat
seperti dangdut yang sedih, aku berlabuh ke lekuk tubuhmu nan letih. kita merayap bersama di atas bumi tua, sebentar tertawa, sejenak mendentingkan cipta. kita seperti berziarah pada takdir sendiri —kerna kita alpa mengerti, di mana letak detak dan ujung jari tubuh hidup yang pasti.
dengan menapak nusa luka, kita pun bersanggama dengan langit dan angkasa, sambil terbata-bata melantunkan puja dan gita—meniru arjuna; menitipkan darah putih ke cakrawala; siapa tahu, sebelum akhir dunia, anak cucu kita dapat memetik bunga dan buah moyangnya tanpa menerbitkan hasrat supata dan bersukma nirwana..
seperti dangdut yang sedih, aku bergoyang tanpa mabuk kepayang di atas bibir dan nafasmu yang sundih —menghirup aroma ayat-ayat tanah, menyemaikan benih darma di kelopak kembang; entah nanti, dari persuaan kita tumbuh tembang dalam langgam asmaradana atau megatruh kirana. entah kelak, ada yang menyiraminya dengan embun mimpi atau membiarkannya berbiak di tepi.
mari kita bergoyang, sayang. biarlah pinggul kita bergeser dari kanan ke kiri. biarlah kaki kita bergoyang dari barat ke timur lazuardi. biarlah dada kita menari dalam geletar getar atau laku gergaji —tapi kita tahu, irama yang kita pilih adalah liris dan sahdu, seperti perca cuaca kini bergerimis tapi kuyup rindu
Gunung Pring, 28 September 2018
?Hmmm. Sebuah puisi yang berikhtiar mengawinkan antara yang profan dan sakral, tetapi gagal! Namun, saya pun tak elok bila mengutuk ‘anak rohani’ saya ini karena sebuah karya sering menempuh jalannya sendiri, dan itu kadang di luar kendali penulisnya.
Mungkin bila nanti saya berkesempatan lagi ke Gunung Pring, yang ingin saya cari pertama-tama adalah sebuah asbak, entah bundar atau persegi –sebagai pengikat memori. Karena asbak yang saya beli hampir subuh, pada 2011 itu, telah pecah berkeping-keping, dan tak tersisa lagi.
Tentu saja, saya berharap momennya tidak lagi saya sedang disapih puisi, tetapi merayakan proses kelahiran puisi baru yang lebih membiru karena kuyup rindu dan mimpi. Sungguh, saya akan menerimanya dengan lapang hati bila puisi yang tergali, beredar di luar bahasa, di luar kata, tetapi di dalam diri, mengekal sebagai inti sunyi dan menguar sebagai pewangi hati. Mungkin seperti santri dusun sorogan ngaji pada kiai dan tak kunjung selesai, tetapi selalu mengamalkan sedikit ilmu yang sempat terpatri setiap hari…
MA, On Sidoardjo, 2021.
*) Mashuri, lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Karya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di beberapa antologi. Dia tercatat sebagai salah satu peneliti di Balai Bahasa Jawa Timur. Tahun 2018, bersama Sosiawan Leak dan Raedu Basha, dipercaya jadi kurator yang bertugas memilih narasumber dan menyeleksi para peserta Muktamar Sastra. Hubbu, judul prosanya yang mengantarkan namanya meraih predikat juara 1 Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), tahun 2006. Dia menggeluti hal-ihwal terkait tradisionalitas dan religiusitas. Mashuri, merupakan lulusan dua pesantren di tanah kelahirannya. Dia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di luar aktivitas pendidikannya, berkiprah di Komunitas Teater Gapus, dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya.