Teater Indonesia, Apa Masih Punya Masa Depan?!


Amien Kamil *

Teater Indonesia tak bisa diukur dengan metode standar kebanyakan ukuran yang umum dan normatif saja. Teater Indonesia bukan hanya urusan statistik ataupun logika matematika yang dangkal yang coba diterapkan sekedar untuk mengajukan anggaran pembinaan ataupun ajuan proyek atas nama kesenian.

Teater sesungguhnya juga berurusan dengan ekspresi estetika dan penghargaan sekaligus rasa hormat terhadap kebebasan berpikir yang sama sekali tiada hubungannya dengan urusan birokrasi perijinan gombal nan menyebalkan dan perlu juga diketahui oleh handai taulan komunitas teater dimanapun berada, bahwa kurator teater itu sesungguhnya bukanlah sekedar kerak telor ataupun calo kesenian yang cuma mengajukan kelompok teater yang menjadi kroni-kroninya demi mempertahankan eksistensi dan perpanjangan ego pikiran dan lidahnya saja.

Perlu diketahui bahwa dalam eksistensi dan estetika Teater Indonesia tiada rumus yang aksioma. Sebab dalam perjalanan sejarahnya, Teater Indonesia justru terus berkembang dengan pikiran-pikiran baru yang kadang liar dan sulit diprediksi serta tak pernah sedikitpun terlintas dalam proses kreatif dramawan era 60-70an apalagi tercetak dalam buku panduan di perpustakaan ataupun konsep kerja seminar-seminar teater di hotel bintang 5 yang penuh “cermin tipu daya”, maupun rumus-rumus konvensional yang hadir di ruang-ruang kelas akademi teater institusi manapun ataupun rumus-rumus basi yang diadopsi namun sudah kadaluarsa. Hal diatas sesungguhnya justru menjauhkan Teater Indonesia dari etos kerja tradisi yang sudah dibangun dan diperjuangkan oleh para pioner pendahulunya melalui gagasan pemikiran ; “Kegagahan Dalam Kemiskinan : Teater Modern Indonesia” ataupun konsep “Teater Tanpa Penonton” ataupun sejumlah konsep-konsep lainnya.


Teater Indonesia sangat tidak mungkin hadir, bertahan dan berkilau menghadapi tuntutan jaman bila ekspresi artistiknya hanya mengandalkan jurus copy-paste dari ekspresi yang sudah ada yang menyumbat pola pikir kreatif. Bila hal ini dibiarkan terus berlangsung kondisi seperti ini, maka bukan saja tiada perkembangan yang signifikan tapi sesungguhnya dramawan dan para pemikir teater Indonesia sedang menggali liang kuburnya sendiri. Padahal Teater Indonesia Kontemporer akan bisa melesat menembus masa depan dan sangat mungkin melahirkan paradigma baru bila diberi ruang kebebasan serta sarana atau equipment standar guna mendukung dramawannya melahirkan aneka karya baru, demi memperkaya khazanah Teater Indonesia serta memberi pencerahan kepada masyarakat luas serta mampu bersaing dalam festival-festival teater mancanegara.


Bagi kami; Republic Of Performing Arts, Teater bukanlah sekedar kerja mengisi waktu luang ataupun aktivitas iseng daripada menganggur. Teater adalah juga sebuah cermin untuk kita berkaca. Mengolah diri untuk menjadi manusia seutuhnya yang merdeka dan mandiri serta mampu untuk berdiri di atas kaki sendiri. Sesungguhnya Teater adalah juga sebuah usaha untuk “Memanusiakan”
***

*) Amien Kamil, lahir di Jakarta 1963. Tahun 1983, sempat belajar di Sinematografi Institut Kesenian Jakarta. Tahun 1986-1996, bergabung dengan Bengkel Teater Rendra, terlibat dalam beberapa pementasan di kota-kota besar di Indonesia. Tahun 1988, ikut serta dalam “The First New York International Festival Of The Arts”, sempat juga mengikuti workshop di “Bread & Puppets Theatre” di Vermont, USA. Tahun 1990, pentas di Tokyo & Hiroshima, Japan. Tahun 1999, Tour Musik Iwan Fals di Seoul, Korea. Lighting Design untuk konser musik Iwan Fals hingga tahun 2002, pentas di seluruh kota-kota besar di Indonesia. Tahun 2003-2005, kolaborasi dengan penyair Jerman Brigitte Oleschinski. Pentas multimedia di Berlin, Koln, Bremen dan Hamburg. Selain itu juga memberikan workshop teater di Universitas Hamburg, Leipzig dan Passau. Mengikuti International Literature Festival “Letras Del Mundo” di Tamaulipas-Tampico, Mexico.
Tahun 2006, Sutradara “Out Of The Sea”, Slavomir Mrozek, Republic of Performing Arts, Teater Utan kayu, Jakarta. Tahun 2007, Antologi puisi “Tamsil Tubuh Terbelah” terbit dan masuk dalam 10 besar buku puisi terbaik Khatulistiwa Literary Award 2007. Tahun 2008, Poetry Performing “Tamsil Tubuh terbelah”, kolaborasi dengan Iwan Fals, Oppie Andaresta, Irawan Karseno, Toto Tewel, Njagong Percusion, Republic of Performing Arts, di Teater Studio, Taman Ismail Marzuki. Tahun 2009, Pameran lukisan & Instalasi “World Without Word” di Newseum Café. Tahun 2010, Sutradara Performing Arts “Elemental”, kolaborasi dengan pelukis mancanegara, Jakarta International School. Tahun 2011, Sutradara “Sie Djin Koei”, Republic of Performing Arts, Mall Ciputra, Jakarta. Di bulan April, Sutradara & Perancang Topeng “Macbeth”, William Shakespeare, Produksi Road Teater, Gedung Kesenian Jakarta. Mei-Juni, Kunjungan Budaya ke Denmark, Germany dan Norway. Juli, Mengikuti “ International Culture Dance Festival 2011” Sidi Bel Abbes, Algier, North Africa.

Leave a Reply

Bahasa »