Usaha Membunuh Sepi, tulisan kecil dari pulau Indonesia yang ‘terbelah’

Felik K. Nesi, Penulis Usaha Membunuh Sepi


Siti Rutmawati
Merdeka.com, 24 Maret 2017

Di Malang, pria kelahiran Kefamenanu ini merajut mimpi menjadi seorang penulis. Kefa, adalah sebuah kota kecil di pulau Indonesia yang terbelah.

Felik K Nesi, terinspirasi menulis sederetan cerita pendek saat dilanda sakit berkepanjangan di kota kecilnya, Kefamenanu, Nusa Tenggara Timur. Menggandeng Pelangi Sastra, tulisan tangan Felik saat didera sakit itu, dikumpulkan menjadi sebuah buku berjudul “Usaha membunuh Sepi”. Sebuah kumpulan cerpen yang mengobrak-abrik imajinasi klasik tentang kehidupan masyarakat desa, masyarakat kota dan mimpi.

Kefamenanu, atau lebih populer disebut Kefa oleh masyarakat setempat, merupakan sebuah kecamatan yang terletak di Lembah Bikomi, Timor Barat. Timor Barat sendiri merupakan sebuah wilayah yang mencakup bagian Barat pulau Timor. Karena, bagian Timur pulau Timor ini telah menjadi bagian distrik Oecussi-Ambeno, sebuah eksklave milik Timor Leste. Sehingga, secara administratif, Timor Barat merupakan bagian dari Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Di kota kecil itulah, Felik lahir dan dibesarkan, hingga akhirnya memilih menempuh pendidikan dan berkarir di Malang, Jawa Timur. Felik lahir di tengah keluarga Khatolik yang taat. Sejak beranjak remaja, Felik menerima saran kedua orang tuanya untuk menempuh pendidikan agama. Ia bahkan sempat mengenyam pendidikan untuk menjadi seorang Imam.

“Saya dimasukkan ke sekolah Seminari. Itu sekolah (SMA) untuk calon pastur, calon Imam di Atambua, sekolahnya 4 tahun. Sekolahnya mirip-mirip Pesantren, dengan asrama di dalam,” jelas Felik.

Sayangnya, keinginan orang tua Felik untuk menjadikan dirinya seorang Pastur, tak dapat dipenuhi Felik. Sempat menamatkan pendidikan agamanya, pria yang hobi membaca ini memilih untuk melanjutkan pendidikan ke Peguruan Tinggi. Saat itu ia memilih untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Merdeka Malang, dan fokus pada jurusan Psikologi.

“Saya keluar dulu dari sekolah, baru saya bilang (Pen: kepada orang tua). Kemudian saya berpikir untuk kuliah Psikologi. Bahwa dulu yang membantu saya memperkuat keyakinan, bahwa saya harus keluar itu adalah seorang pastur yang Psikolog. Dia sabar sekali. Akhirnya saya pikir, ‘Wah saya harus jadi Psikolog ini’. Akhirnya saya pilih psikologi,” aku Felik.

Tahun 2010, seolah menjadi masa awal bagi Felik menggali ketertarikannya di bidang menulis. Meskipun, ketertarikan tersebut telah muncul semenjak ia kecil. Namun, pengalian bakat di bidang sastra mulai dijajaki sejak duduk di bangku kuliah.

“Mulai menulis serius, tahun 2010-2011. Mulai tahu kalau di Indonesia itu ada yang namanya sastra,” jelasnya.

Tanpa disangka, goresan tangan Felik mulai dilirik pegiat sastra, khususnya puisi. Tahun 2014, sebuah media nasional menerbitkan beberapa puisi yang ditulisnya. Sebut saja, Racun Tikus, Pesan Kakek, Bisain Sore Hari, Berburu Sapi, Firasat Nenek, dan lainnya.

“2014 itu (puisi) diterbitkan Tempo, media Indonesia. Tahun 2015 saya diundang ke Makassar International Writers, untuk pertemuan penulis Indonesia Timur. Itu diundang sebagai penyair,” aku Felik.

Sayangnya, Felik justru didera sakit saat dirinya mulai merintis popularitas di dunia sastra, tahun 2015. Kala itu, ia didera sakit berkepanjangan, dan mengharuskannya kembali ke kampung halaman. Sebelum kembali ke kampung halaman, ia sempat menghadiri sebuah gelaran acara sastra, yakni Makassar International Writers.

Felik menghabiskan waktu selama setahun di kampung halamannya. Mengistirahatkan diri dari kesibukan sehari-hari, ternyata membuat Felik merasa gelisah dan bosan. Kegelisahan-kegelisahan itu kemudian ia goreskan di atas kertas, dan menyatu menjadi serangkaian cerita pendek. Beberapa cerpen yang berhasil ditulisnya saat itu, akhirnya melahirkan “Usaha Membunuh Sepi”. Sebuah kumpulan cerpen yang diterbitkan oleh Pelangi Sastra Malang, yakni komunitas sastra yang lahir tahun 2010 silam.

Berbalut sampul cokelat kekuningan dengan ilustrasi yang mengusik, Usaha Membunuh Sepi memikat dengan alur cerita yang seolah mengisahkan mimpi dari si penulis. Berisi sembilan judul, cerpen berjudul Ponakan, tampaknya menjadi satu kisah yang mewakili perasaan Felik kala itu.

Ponakan sendiri menceritakan tentang seorang pria yang memiliki keinginan besar menjadi seorang penulis. Pria desa yang sehari-harinya bekerja di kota itu, tampaknya mulai menunjukkan ketertarikannya pada dunia sastra. Suatu ketika, pria yang mulai merasa bosan dengan kehidupan kota itu, memilih untuk kembali ke kampung halamannya. Dalam imajinasi sang pria, kampung halaman yang dituju penuh dengan sawah, anak gembala di rumput hijau sembari meniup seruling, dan imajinasi klasik lainnya tentang desa. Sayangnya, saat menginjakkan kaki di desa, pria itu begitu terkejut dengan pemandangan yang didapatinya. Tak ada padang rumput, tak ada anak gembala, tak si peniup seruling dan lainnya.

Cerita itu, kata Felik, merupakan sebuah gambaran singkat tentang stereotip kehidupan masyarakat desa maupun kota. Baginya, bayangan masyarakat desa tentang kota yang menjanjikan tak benar adanya. Begitu pula sebaliknya, kehidupan desa yang asri layaknya khayalan masyarakat kota, tak selalu begitu adanya.

“Menurut saya adalah, orang kota dan orang kampung ini, biasanya sama-sama terjadi. Biasanya langsung memberikan stereotip. Meskipun apa yang dibayangkan tidak selalu sama dengan faktanya,” tandas Felik.

Selain Ponakan, cerpen lainnya yang dicantumkan dalam Usaha Membunuh Sepi yakni, Sang Penulis, Sebelum Minggat, Usaha Membunuh Sepi, Pembual, Kenangan, Belis, Indra, dan Penumpang Gelap. Berisi 67 halaman, sederetan cerpen tersebut disusun Felik berdasar pada tanggal penulisan. Semua cerpen tersebut merupakan karya yang ditulisnya sebagai sebuah usaha membunuh sepi, tatkala menghabiskan waktu tanpa kesibukan di kampung halamannya. Tak heran, jika “Usaha Membunuh Sepi” menjadi tajuk yang diusung untuk kumpulan cerpen tersebut.

***

Leave a Reply

Bahasa ยป