Di Balik Nama Kafka dan Katarina

Sigit Susanto

Bukan di Praha, juga bukan di Berlin, tapi di kota kecil Boja dan Limbangan, Kendal, Jawa Tengah.
Sekitar tahun 2005 di warung remang di depan Taman Ismail Marzuki di Jakarta, nongkrong beberapa teman penyuka sastra dari komunitas Apresiasi-Sastra (APSAS). Mereka memintaku bercerita tentang pengalamanku mengikuti Reading Group novel Ulysses di Yayasan James Joyce di Zürich, Switzerland, sekaligus bercerita tentang ziarahku ke makam Franz Kafka di Praha.

Sebulan kemudian aku membaca pada sebuah blog dari salah satu teman yang ikut nongkrong itu mengucapkan terima kasih kepadaku, bahwa saat aku bercerita, istrinya sedang hamil besar dan ketika bayinya lahir laki-laki diberi nama Muhamad Kafka.

Kisah itu sudah lama dan sudah semakin terkubur waktu. Sekitar tujuh tahun silam, ada sepasang keluarga muda di kota kecil Limbangan, Kendal, Jawa Tengah, memberi nama anak lelakinya Kafka Dhrya Pradipta. Kenapa anaknya diberi nama Kafka, tak lain karena sang ayah termasuk penggemar karya Franz Kafka.

Dua tahun silam, pasangan anak muda Heri Condro Santoso dan Akhil Bashiroh dari dusun Slamet, desa Meteseh, kecamatan Boja, kabupaten Kendal, Jawa Tengah mempunyai anak perempuan. Sang ayah bertanya kepadaku, sekiranya bisa mencarikan nama perempuan dari para tokoh fiksi atau tokoh sastra dunia.

Aku mengajukan, Molly Bloom, tokoh perempuan sebagai istri Leopold Bloom pada novel Ulysses karya James Joyce. Juga kusodorkan nama Penelope, istri Odysseus pada novel Odyssey. Terakhir aku menyodorkan nama-nama pacar Franz Kafka, Felice Bauer, Grete Bloch, Milena Jesenska, Julie Wohrycek, dan Dora Diamant.

Ternyata sang ayah tak mengambil nama-nama perempuan di sekitar Kafka, namun ia lebih tertarik kisah Kafka saat dengan pacarnya Dora Diamant bertemu bocah perempuan yang menangis karena kehilangan boneka di sebuah taman di Berlin.

Bocah kecil itu bernama Katharina dengan panggilan Katja dan berusia enam atau tujuh tahun. Kafka berlutut di depan bocah itu dengan pura-pura bertemu si boneka. Dan ia akan membawa surat dari boneka bernama Mia itu di lain hari.

Di luar dugaan, bocah kecil itu mendadak berhenti menangis dan sejak itu Kafka selama empat minggu berturut-turut menulis surat fantasi dan dibawa ke taman untuk diserahkan kepada Katja.
***

Kafka menceritakan ulang surat yang dibuatnya sendiri atas nama boneka Mia, “Boneka Mia itu dari taman berjalan menuju ke stasiun. Di stasiun kereta api, dia tak punya uang. Untungnya ada anak muda yang menolong membelikan tiket kereta api. Mia akhirnya berada di pantai selama beberapa hari. Namun di pantai pun ia anggap membosankan. Si Mia ingin pergi ke seberang samudra. Datanglah sebuah kapal dan ia naik kapal pada waktu malam. Mia inginnya akan pergi ke Amerika. Sayangnya, kapalnya hanya mendarat sampai di Afrika.”

Begitulah isi tiga pucuk surat tentang petualangan Si Mia hingga berlabuh di Afrika. Kafka lagi-lagi berada di taman menunggu bocah Katja yang baru pulang dari sekolah. Ia masih belum bisa baca tulis. Namun Kafka menuliskan, “Mia juga senang bepergian, namun nanti pada perayaan natal ia ingin pulang.”

Setelah surat yang kesekian kali, Kafka mulai sibuk menulis tema lain, seperti buku harian, surat untuk Max Brod, novel dan coret-coretan lain.

Katja merespon atas surat-surat itu kepada Kafka, “Jika Mia lebih suka tinggal di Afrika, lalu bagaimana?”

Kafka menjawab, “Mia telah jatuh cinta dengan seorang pangeran di Afrika yang tempatnya sangat jauh. Tak apa, selama mereka saling bahagia.”

Katja bertanya lagi, “Apakah dia lebih mencintai pangerannya atau aku?”

Katja setengah ragu untuk mengetahui kebenarannya, bersamaan dengan itu ia mulai meneteskan air mata. Perlahan-lahan ia sudah mulai menurut, bahkan ia ikut terlibat emosi, toh di Afrika juga ada pangeran.

Beberapa hari kemudian, kisah detil ini tetap diingat oleh Katja. Kafka melanjutkan suratnya yang menyebut, “Bahwa si Mia selama 24 jam berpikir keras dan diputuskan akan kawin dengan pangeran Afrika.”

Bagaimana Kafka menutup kisah boneka imajiner ini? Terjadi dua perbedaan pandangan antara Kafka dan Dora.

Dora menghendaki yang praktis, agar cerita surat ini lekas selesai, maka lebih baik membeli saja boneka baru dan diberikan ke Katja sambil dijelaskan bahwa sekarang Mia sudah berubah menjadi tua, karena perjalanan panjangnya, tapi tetap bernama Mia.

Kafka sebaliknya, ia ingin dalam menutup kisah itu ada sebuah pembelajaran bagi Katja, maka ia menulis surat penutup, “Aku sangat bahagia. Seandainya aku saat itu ikut Katja dulu diurus dengan lebih baik, tak mungkin aku akan berkenalan dengan pangeran.”

Seperti itulah Kafka berlatih mengasah cerita fantasi sambil mempratikkan secara spontan dengan kehidupan sehari-hari.

Ketika nama Kafka semakin tersohor, bocah kecil bernama Katharina di Berlin itu dicari lewat media dan berhasil ditemukan, ia sudah menjadi nenek.

Pertanyaannya, apa keistimewaan Kafka Indonesia itu?

Ketika Kafka Indonesia itu masih kecil sering dipanggil teman-teman dan keluarga dekat Kakak, bukan karena dia lebih tua, melainkan hanya nama yang aneh di telinga dan lingkungannya, nama Kakak lebih diingat ketimbang Kafka.

Namun kini di usia akan ke tujuh tahun pada Agustus 2021 nanti, teman-teman dan lingkungannya sudah bisa memanggil dengan benar nama Kafka.

Anggi menuturkan, Kafka saat masih kecil sudah bisa mandiri, tak menyusui lagi tanpa diminta dari ibunya, seolah ia tahu bahwa ibunya single parent.

Keistimewaan lain, Kafka kecil tanpa diajari berjalan ia sudah berani mencoba berjalan sendiri.

Kisah ini ada paralelnya dengan Franz Kafka ketika bertemu Dora Diamant di tempat liburan di pantai Ostsee pada September 1923. Kafka menyaksikan ada anak kecil jatuh dan berdiri sendiri, sontak ia memujinya.

Bagaimana dengan Katarina? Versi bahasa Jerman, nama Katharina dengan h dan versi Indonesia Katarina tanpa h. Adapun nama lengkapnya Kidung Katarina Namira.

Menurut penuturan sang ayah, Katarina yang berusia dua tahun itu punya kebiasaan minta dibacakan buku anak-anak. Ketika ayahnya membaca buku untuk orang dewasa, ia juga minta diceritakan isi buku itu. Antusias melonjak, ketika ayahnya menulis di laptop, ia ingin tahu apa yang ditulis.

Kejeniusan Franz Kafka memang sudah menjelajah ke berbagai belahan dunia. Jika Haruki Murakami melahirkan tokoh fiksi Kafka Tamura pada novelnya Kafka on The Shore, sebaliknya anak-anak Indonesia benar-benar diberi nama sastrawan besar di abad 20 itu.


Zug: 15.02.2021

Leave a Reply

Bahasa »