PEREMPUAN, SUBLIMASI, DAN KARNAVAL TEKS LAKI-LAKI


S. Jai *

KEINDAHAN kisah cinta kerapkali (meski tak berarti selalu) identik dengan romantika, romantisme, senti-mentalia ‘khas’ perempuan; kepekaan, kelembutan, perasaaan yang tak lain, segala itu adalah warisan tradisi romantik dan fenomenologi, bahwa betapa Keduanya sama-sama bertopang pada asumsi bahwa seni tak sepenuhnya bisa dinalar.

Dengan kata lain, keindahan, daya tarik kisah-kisah cinta bermuara pada sentuhan-sentuhan perasaan yang nilai tertingginya diwakili umumnya oleh ‘kejeniusan’ rasa kaum perempuan, meski keindahan yang dimaksud sesungguhnya hakiki bagi personal individual keperempuanan.

Maka, di situlah kemudian laki-laki ambil bagian, atau mengambil hampir semua bagian ‘kejeniusan’ rasa perempuan sejak Edmund Burke (1729-1797) meneguhkan epistemologi filsafat keindahan. Laki-laki sanggup menem-puh jalan demikian—mengambil hampir semua bagian ‘kejeniusan’ rasa perempuan—oleh karena perempuan telah mengalami pelbagai bentuk represi baik oleh sejarah sosial politik, sejarah seni, bahkan oleh sejarah estetika. Dengan kata lain, sesungguhnya perempuan hampir sama sekali tak memiliki sejarah filsafat pemikiran dalam kesenian, juga kesusastraan.

Sastrawan, penyair, juga pengarang laki-laki yang berbicara perempuan, tak lain adalah suara laki-laki. Entah dalam pelbagai sudut pandang lelaki atau perempuan. Bisa dikatakan Epistemologi seni Romantik, Romantisisme tentang proses pengetahuan yang melatari penciptaan karya seni dan pemahaman atas karya seni, sulit menemukan (meski tak berarti absen) perihal sastrawan perempuan berbicara tentang perempuan sebagai perempuan, entah dalam pelbagai sudut pandang lelaki atau perempuan.

Maka, terang adanya karya yang demikian adalah suatu pemberontakan-perlawanan, yang bakal mengubah pemahaman tentang apa itu pengalaman estetis, setidaknya secara individual. Perlawanan terhadap pengalaman estetis dari kepekaan ‘kejeniusan’ perasaan individual menuju pengalaman estetis sebagai suatu gerakan merawat keunikan personal setiap perempuan.

Sejumlah daya tarik yang menarik untuk ditelisik pada Cerita Pendek Kunang-Kunang Tanpa Cahaya karya Pradhini HK; bicara tentang perempuan, menyoal perihal karya seni, ditulis oleh perempuan akan tetapi dari sudut pandang laki-laki.
***

AKU, Ihsan, pemuda 27 tahun, pelukis asal Jogjakarta, telah 5 bulan berada di Sarajevo—sebuah wilayah yang membuatnya nyeri oleh imaji konflik etnis di tahun 1990an. Tepatnya tragedi pembantaian masal sekitar 12 ribu penduduk setempat.

Ihsan, mengagumi tempat-tempat eksotis disana sekaligus tersandera jiwa, oleh pertanyaan; apakah pelukis semacam dirinya pantas mengabadikan Sarajevo dalam karya?

Kecamuk diri telah bermula sejak pilihannya menjadi pelukis, tak lain adalah buhul dari kegagalan studi magister seninya, yang diawali dari melukis pemandangan alam. Kecamuk lainnya, dalam keluarga miskin itu, ia harus menempatkan diri sebagai laki-laki pengganti ayahnya, di hadapan kakak perempuan yang telat kawin dan ibunya yang sudah menua.

Menjadi pelukis menerbitkan tekad untuk meninggalkan semuanya, termasuk ibunya. Ia pindah tempat dan melang-lang buana ke Sarajevo.

Di Sarajevo Ihsan, berjumpa, Zubaidah, perempuan keturunan Bosnia- Perancis. Kedua orangtuanya bertemu di tenda pengungsian tragedi Bosnia. Kisah cinta mereka semacam dongeng modern yang membuat anak-anaknya berdecak kagum. Ayah dan ibunya adalah simbol kasih sayang sejati yang menaungi keluarganya. Dua orang berbeda negara yang saling jatuh cinta di tengah konflik.

Mulanya Zubaidah adalah kawan diskusi yang bergairah dalam banyak hal, bagi Ihsan yang kerap didera angin deras kerinduan dan ingatannya atas tanah air, utamanya ibu-ayah, masa kecil, saudara perempuan, juga wanita-wanita yang pernah singgah. Pada akhirnya, Ihsan jatuh cinta, dengan cara yang unik, di negara rawan konflik, pada mahasiswa pascasarjana yang sedang melakukan riset mengenai konflik Bosnia itu.

Kenangan Ihsan akan masa remaja, dengan sejumlah perempuan; Menik, Gayatri, Saroh meneguhkan penda-patnya mereka harus tunduk pada aturan turun-temurun keluarganya; dijodohkan. Perempuan yang dijodohkan tidak mempunyai banyak pilihan. Mereka diharuskan tunduk terhadap budaya patriarki, seberapa cantik atau tinggi jabatan mereka.

Baginya, juga kakaknya Rani selaku generasi pedesaan yang mengenyam bangku perguruan tinggi, merasa miris menyaksikan kenyataan. Bahkan meski terdidik berpikiran terbuka, ironisnya Rani juga harus tunduk pada tradisi konyol itu, lebih karena watak, sifat dan pribadinya.

Diceritakan, Ihsan terpaksa meninggalkan Zubaidah lantaran dirinya terpanggil atas sakit yang didera ibundanya di Jogjakarta. Selama di Jogjakarta, ibundanya ditangani oleh seorang dokter yang, mempertemukan kembali dengan Gayatri—perempuan etnis Tionghoa dari keluarga kaya raya yang pernah menaruh hati padanya, sementara Ihsan pernah mengisi hari-harinya tanpa mengungkapkan cinta.

Bagi Gayatri dan keluarganya, Ihsan lelaki berbakti, berbakat seni, tampan, santunmu, spesial, memiliki kestabilan berpikir, emosi yang baik, juga rasa hormat tinggi kepada orang lain.

Bagi Ihsan, kesahajaan Gayatri meski dari keluarga kaya raya–ayahnya seorang China Muslim yang memiliki beberapa bisnis di Yogyakarta dan kakeknya pewaris sebuah pabrik gula di Semarang yang asetnya tak terhitung—memukau Ihsan.

Meski Ihsan, bersikap sentimentil, Gayatri yang tak menuntut kesempurnaan Ihsan, serta tiada kesangsian keluarga China Muslim itu, menyakinkan Ihsan untuk tak lama lagi menjadi bagian dari keluarganya.

Sementara itu, saat Ihsan terus bimbang karena jiwanya terbelenggu oleh pilihan Zubaidah dan Gayatri, disusul kabar meninggalnya Zubaidah akibat virus Covid-19.

Ihsan sangat terpukul, dan selepas masuk rumah sakit, dirinya musti menjalani dunianya yang baru.
***

PRADHINI melatari kehidupan tokoh-tokoh ceritanya, di sejumlah tempat di kota Sarajevo (Bosnia-Herzegovina) dan Jogjakarta serta pelbagai situasi psikologis tertentu. Dengan kata lain, Pradhini menghadirkan konteks-konteks sosial tertentu atas teks-teksnya demi tafsir, pemaknaan, pemahaman yang tak harfiah, tak pasti dan tak bertabiat otoritatif. Maka dari situlah, Pradhini telah mentradisikan bahwa ceritanya bagaimanapun romantikanya, mengha-rubirunya, membetot sisi kemanusiaan terdalam, perasaaan pembaca, melankolia, tetaplah berwatak menuntut untuk dirasionalisasi mengedepankan nalar, dan sudah barangtentu ceritanya otonom sebagai kemungkinan eksistensialnya, memantik pelbagai horizon pemahaman lain yang tersirat di atas yang tersurat.

Tafsir estetis atas konteks-konteks ini sebagaimana dialami pelukis Ihsan yang semasa di Jogjakarta melukis pemandangan alam beberapa orang petani memanen padi yang menguning dengan latar belakang sinar matahari cerah, sementara selama di Sarajevo tumbuh pandangan keseniannya, yang kelak menyebabkan lukisannya tentang Sarajevo yang dilelang dengan harga fantastis.

“Ihsan, aku sampai lupa kutanyakan, sudah kau pikirkan apa yang akan kau lukis? Lukis saja suasana perang Sarajevo di malam hari.”

“Itu terlalu sentimental, Zubaidah. Aku tak ingin membangkitkan rasa kecewa keluarga korban yang masih hidup. Apakah mereka mampu menghalau hantaman psikologis jika menatap lukisanku yang kelam? .” (Hal.21)

Menghadirkan latar fisik dan psikis kota Sarajevo, tak lain adalah ikhtiar Pradhini untuk menempuh jalan kesubliman sebagai sisi lain keindahan. Inilah estetika. Yang dalam kosa kata Edmund Burke telah dikonsepsika tergenderkan bahwa kesubliman itu maskulin, keindahan itu feminin. Keindahan adalah perkara perasaan dan dipersepsi secara langsung melalui imajinasi, tanpa melalui perantara pikiran. Keindahan adalah Kelemahan dan kerapuhan. Kepekaan, rasa nikmat, cinta.1) Sementara segala apapun yang memunculkan ide tentang rasa sakit pada benak pemirsa atau bekerja seperti teror adalah kesubliman.2) Kesubliman adalah simulasi atau peragaan kengerian.

Teks Sarajevo adalah semiotika genocide, pembantaian etnis, tragedi kemanusiaan yang tafsir terhadapnya mener-bitkan keterpanaan, ketakjuban, kengerian, penghentian nalar, serta imajinasi teror, atau teror imajinasi.

Kepalaku nyeri menanggapi daya imajinerku yang terperosok ke dalam masa-masa konflik. (Hal.2)

Tak pernah kubayangkan kota ini memiliki keindahan maha dahsyat di tengah amukan badai kemanusiaan. Alam perbukitan dikelilingi sungai jernih, salju turun seputih kapas, sangat kontradiktif dengan fragmen isak tangis, kelaparan juga rasa takut yang pernah terjadi. Percampuran etnis juga ideologi menjadikannya semakin indah, menorehkan tinta keheranan mengenai kekejaman yang mengakibatkan dua belas ribu penduduk Sarajevo kehilangan nyawa. Aku bukan ahli sejarah. Bagaimanapun carut-marutnya keadaan politik di sebuah negara, kejahatan genosida tetap saja membenamkan manusia dalam kubangan luka fisik dan batin. Belum lagi segala konflik psikologis mengharuskan sebagian warga yang selamat dipenjara rasa bersalah seumur hidup. Bagiku, multikultur yang kutemui di Sarajevo tak bisa disalahkan. Kantor pos yang tersandera, bandara yang terputus jaringan komunikasinya, anak-anak kecil merintih di tengah musim dingin dengan pakaian compang-camping, toko makanan yang luluh lantak tentu saja menjadi teror tersendiri bagi orang-orang yang tinggal di sini. (Hal. 3)

Sejumlah tafsir sublimasi yang lain dihadirkan dianta-ranya penampakan dinding apartemen penuh lubang peluru, cerita jurnalis yang sejumlah rekannya terbunuh, kantor berita yang disegel, pengungsian, kelaparan, sakit, kematian.

Pada galibnya keindahan dan sublimasi bukanlah se-suatu yang benar-benar saling bertentangan, bahkan dapat dikatakan sebagai faktisitas saling mengutuhkan di atas eksistensial hidup sebagaimana dikisahkan Pradhini melalui kisah cinta orangtua Zubaidah yang berbeda negara. Mereka bertemu di tenda pengungsian tragedi Bosnia. Seorang jurnalis dan pengungsi. Kisah cinta mereka menjadi dongeng modern yang dikagumi anak-anaknya. Mereka adalah simbol kasih sayang sejati yang menaungi keluarga.

Dalam kontek yang lain, memahami ngeri bisa melalui teks tentang, juga kematian Zubaidah, akibat virus Covid-19 yang menyebabkan sang pelukis sulit membedakan yang nyata dan ilusi.

Kutemukan diriku terbaring lemah di dipan rumah sakit. Ruangan ini serba putih, kepalaku seakan meledak, tak mampu kuingat apapun. Aku bagaikan kunang-kunang tanpa cahaya yang tergolek lemah. Beberapa kabel bersarang di dadaku. (Hal. 59)

Dalam memahami yang ngeri dan yang nikmat, keindahan dan kesubliman. Cerita Pradhini banyak sekali memanggil intertekstualitas teks-teks lain yang boleh dikatakan sebagian terbesar berciri Romantik, bersumber pada pengalaman estetis individual, kepekaan-kehalusan jiwa, kejeniusan perasaan keperempuanan yang dalam sejarah estetika menempatkan teks-teks tersebut sebagai teks laki-laki (teks yang berbicara tentang perempuan sebagai laki-laki).

Instrumen Kiss The Rain, Simposium dan Republik Plato. The Lady of The Camellias Alexander Dumas, Romeo–Juliet, Qais dan Laila, Apollo yang jatuh cinta kepada Cassandra, Raja Louis XIV memproklamirkan diri sebagai penguasa absolut monarki Perancis, Revolusi Perancis, Peperangan Jerman-Perancis, Napoleon Bonaparte, Mitologi Yunini-Dewi Afrodit, Lenin, Stalin, Bethoven, Lelaki Tua dan Laut Hemingway, Einstein, Newton, Charlie Chaplin.

Cerpen ini begitu banyak menampilkan kerinduan romantik—sesuatu yang diidealkan dan tak mungkin tergapai memuaskan. Inilah melankoli yang terhubung dengan pelbagai asosiasi baik masa lalu maupun masa depan, yang menyalakan obsesi perjumpaan, pencapaian, penyatuan, yang kerapkali tampil pula dalam bentuk yang lain sebagai suatu gaya; sentimentalism.

Mata birunya berbinar menghujam jantungku. Sepertinya ada yang akan melompat dari dalam tubuhku saat memandangnya. (Hal. 10)

Sejauh yang kutahu,wanita adalah makhluk yang mendambakan kestabilan dari lawan bicaranya. Darimana kupelajari hal semacam ini? Tentu saja dari ibu, Rani, juga Gayatri, tak lupa buku-buku feminis, bacaanku ketika kuliah. (Hal. 14)

“Kau tentu tak akan melupakanku,Ihsan! Kau adalah jodoh abadiku.”
“Aku sungguh bukan orang sempurna,Gayatri! Aku tak pantas bersanding denganmu! Sungguh! Cara berterimakasih pun aku tak tahu.” (Hal. 56)

Gayatri tak memberiku kesempatan untuk menyelesaikan kalimat. Ia mengunci bibirku dengan telunjuknya seraya menukas. “Aku tak pernah menuntutmu menjadi orang sempurna,Ihsan! Adakah kesangsian yang kau lihat di mata orangtuaku saat mereka bercengkrama denganmu? (Hal. 56)

Sebuah obsesi serta merta tak bisa disandingkan dengan realitas cinta. Semua orang pasti menyetujui jika jatuh cinta itu tak bisa direncanakan,tetapi logika tetap harus memimpin, karena kegilaan cinta tetap saja menjerumuskan. (Hal. 16)
***

“Bersanding dengan perempuan cantik tentu saja menimbulkan arus bahagia, namun aku penganut paham konservatif yang meyakini bahwa kecantikan seorang perempuan terpancar dari tingkah laku juga pemikirannya.” (Hal.20)

CUKUP bisa dipahami, dimengerti, dimaknai mengapa kiranya Pradhini, penulis yang berlatar pendidikan bahasa strata dua, seorang dosen dan aktivis sosial ini, dalam cerpen Kunang-Kunang Tanpa Cahaya memilih sudut pandang laki-laki.

Pada satu sisi Pradhini meneguhkan bahwa dirinya bicara tentang perempuan. Pada sisi lainnya, sekaligus menegaskan prespektif laki-laki. Pradhini berbicara tentang kecantikan, keindahan, kenikmatan namun demikian sekaligus mende-ngarkan pandangan laki-laki yang tak berpusar pada estetika perempuan dalam pengertian romantik-Edmund Burke.

Melalui tokoh Aku, Ihsan, seorang pelukis, barangkali Pradini hendak menampilkan pandangan dunia lelaki terhadap perempuan yang meski memiliki estetika kepe-rempunan yang selama ini telah menjadi mitos secara umum, namun sejumlah kata kunci telah disebutnya sebagai semacam panglimanya; terpelajar. Dengan kata lain intelektualitas. Pradhini menyebut inteleks, mahasiswa pasca sarjana, seniman (yang gagal masuk Magister).

Dengan kata lain lagi, dia yang meninggalkan keindahan-kenikmatan-perasaan, dan memasuki wilayah estetika yang tak musti berarti sublimasi Edmund Burke. Oleh karena sublimasi telah dikonsepsikan, yang dalam perkembangannya justru sebagai kelas khusus atau penguasa atas estetika sebagai tulisan-tulisan maskulinitas. Suatu penyalahgunaan, dominasi pikiran atas perempuan, perempuan sebagai objek kekerasan di sebalik jargon universalisme—diskursus patriarkhis, tipologis perempuan.

Sederet pandangan umum tentang laki-laki dan perempuan itu, misalnya;

“Melukis merupakan upaya yang dilakukan seniman untuk menuangkan buah pikiran! Gayatri bilang kau sangat berbakat dalam hal ini, bahkan demi menggali ide, kau rela pergi ke Bosnia.” (Hal. 53)

“Pantas anakku menyukaimu, selain tampan dan masih muda, sopan santunmu cukup lumayan,dan tepat seperti yang diceritakan istriku,kau memiliki sesuatu yang cukup spesial, kestabilan berpikir, emosi yang baik, juga rasa hormat tinggi kepada orang lain. Hanya selera humormu perlu dipoles agar relasimu semakin banyak.” (Hal. 54)

Tersebab mengulik keindahan dan kesubliman, adalah perihal kenikmatan-kengerian, kelembutan-kekerasan, perasaan-pikiran, lelaki-perempuan maka hal ini menjadi makanan empuk bagi dekonstruksi. Meski demikian, cerita Pradhini tak dimaksudkan sebagai dekonstruktif–pemihakan terhadap perempuan. Boleh jadi justru penolakan atau setidaknya tak secara tegas memperlihatkan keberpihakannya, kecuali dalam pilihan dirinya memutuskan dalam sudut pandang penceritaan lelaki.

Memang, cukup terang ia mempersoalkan hal itu: perihal estetika maskulin yang cenderung melakukan objektifisasi perempuan. Sehingga dapat dikatakan, konflik mendalam di cerpen Kunang-Kunang Tanpa Cahaya sesungguhnya bisa ditelisik pula dari bagaimana sesuatu yang diidealkan pengarang melalui tokoh-tokohnya saling mengkontaminasi, baik atas perempuan maupun pada laki-laki.

Dalam diri pelukis Ihsan, misalnya, meski mengidealkan perempuan yang intelek, terpelajar, yang ‘maskulin,’ sebagai laki-laki dalam dirinya menyimpan benih yang telah lama tertanam perihal kelembutan; Tipe wanitaku lemah lembut,tidak belingsatan, berambut panjang, dan pintar. (Hal. ?) Kontaminasi cinta dan cemburu, kaya dan miskin seperti kutiban berikut;

Wanita tak pandai menyembunyikan suasana hati, baik bahagia maupun sedih, tapi yang pernah kubaca, mereka pandai menyembunyikan rasa cinta kepada lelaki impian selama bertahun-tahun, namun jika sudah dihadapkan pada rasa cemburu,wanita akan menjadi tiga kali lipat lebih gusar dan menyerang. (Hal. 19)

Tak bisa kubayangkan kesahajaan Gayatri yang kukira tidak sekaya ini. Ia tak pernah pamer tas bermerek, sepatu keluaran terbaru, atau perawatan apa yang sedang dijalaninya. Seperti yang kubilang, ia lebih senang disebut orang biasa, dengan kecantikan khas Cina peranakan yang tidak mencolok, sama sekali tidak mencerminkan seorang calon pewaris aset yang tak kutahu jumlahnya. (Hal. 53)

Apakah aku pernah jatuh cinta? Tentu saja sebagai lelaki normal kujawab pernah. Seorang kawan SMA bernama Gayatri. Ketua Osis sekolah yang tak mungkin kugapai. Akhirnya, kuabadikan saja dia dalam angan-angan dan lukisanku. (Hal. 16)

Aku sadar. Biarlah semua menjadi kenangan layaknya cinta Madamoiselle Marguerite Guitier dengan Armand Duval, tragedi menyedihkan abad 19. (Kusempatkan membaca buku karangan Alexander Dumas berjudul The Lady of The Camellias, yang menceritakan kepahitan hidup seorang perempuan penghibur kelas atas karena ia terjebak cinta dengan seorang pemuda bernama Armand Duval dan memperjuangkan sisa umurnya akibat serangan tuberkolosis). Hal. 16)

Tampaknya, tersebab penolakannya pada keberpihakan yang tegas atas perempuan, konflik itu lebih sebagai kemampuan menjaga semacam pandangan dunia, spirit untuk menemukan pengertian baru kekhasan individual dalam estetika; yakni otentisitas estetis, apa yang disebut oleh kaum feminis ‘merawat keunikan-keunikan personal setiap perempuan.’3) Spirit tentang pandangan dunia keperempuanan yang tak mau menerbitkan dominasi atas laki-laki, sebagaimana telah laki-laki lakukan atas perempuan dalam banyak bidang—sejarah politik, pemikiran, juga kesenian.

Begitulah, kisah cinta selalu menarik. Bukan saja tersebab tak satupun sesuatu di jagad ini luput darinya. Terlebih bagi manusia—lelaki, perempuan, remaja, anak-anak– melainkan juga cinta kerapkali demi menguji kemanusiaan, kenikmatan dan kengerian, keindahan dan kesubliman.

Menafsirkan kisah cinta dalam cerpen Kunang-Kunang Tanpa Cahaya, karya Pradhini adalah memahami; begitu menariknya cinta, juga segala kisah cinta, maka cinta hampir di semua kisah-kisahnya menuntut daya tarik, meminta diri dirawat keunikan-keunikannya sebagai fakta kemanusiaan. Dengan kata lain, dalam begitu banyak hal menarik, otentisitas menjadi niscaya.

Ngimbang, 3 Juni 2021

Catatan:
1) Lihat Martin Suryajaya, Sejarah Estetika, Penerbit Gang Kabel & Indie Book Corner, 2016 Hal. 331-332.
2) Ibid, Hal. 332
3) Ibid, Hal. Hal 818

*) S. Jai. Lahir di Kediri, 4 Februari 1972. Pengarang sejumlah novel. Yang terbaru, Ngrong (2019). Novelnya Kumara, Hikayat Sang Kekasih memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jatim (2012). Penerima Penghargaan Gubernur Jatim (2015), Peraih Penghargaan Sotasoma dari Balai Bahasa Jatim untuk buku kritik terbaik, Postmitos (2019). Tinggal di Ngimbang, Lamongan.

Leave a Reply

Bahasa »