Taufiq Wr. Hidayat *
Pisau Sukri dalam kisah termashur “Sukri Membawa Pisau Belati” Hamsad Rangkuti, selalu berkilat-kilat di dalam gelap. Ia haus darah. Dan menyimpan dendam purba pada daging. Tentu bukan daging sapi atau darah ayam. Tapi darah-daging kehidupan. Sukri yang beringas, memendam derita dan hati yang patah. Dengan sebilah pisau berkilat yang diselipkan di pinggangnya, Sukri memacu sepeda skuternya. Skuternya mengerang-ngerang merobek telinga. Dengan mata yang merah dan hati yang merana, Sukri memasuki dadaku. Menghentikan skuternya tepat di jantung hatiku. Tapi siapa sebenarnya Sukri? Siapa orang yang menyelipkan sebilah belati ketakberdayaan di pinggangnya, memacu sepeda skuter dengan kedua mata yang memerah melintasi waktu?
“Dunia bukan tempat yang aman. Di mana-mana ancaman. Ancaman wabah penyakit, perang, dan kemiskinana. Semua orang menghina ketakberdayaan. Kekasihku Sumarni memuja kemapanan, dan jatuh cinta pada jaminan masa depan. Dia berkhianat. Dasar pengkhianat cinta! Dia tidak melihat cinta dan kesetiaan. Bukankah hingga sekarang waktu tetap tak membutuhkan kesetiaan?” tanya Sukri, menghunuskan sebilah pisau. Ia mengucapkan “pengkhianat cinta” seperti sepotong syair dalam sebuah lagu dangdut.
Tapi orang-orang melihat Sukri sembari tertawa-tawa. Terbahak. Mereka menertawakan Sukri. Menghina. Sebagian menganggapnya sinting. Sebagian lagi memotretnya pakai android, lalu mengunggahnya di akun medsos, kemudian diberi keterangan “Awas! Anjing gila!”. Beberapa orang mendekat hendak mengambil gambarnya.
“Jangan mendekat!” Sukri menghunuskan pisaunya yang lapar akan darah.
“Sukri! Mana maskermu? Kamu telah melanggar protokol kesehatan. Memancing kerumunan. Dan tidak mencuci tangan pakai sabun!” kata seseorang. Yang lainnya tertawa.
“Sinting!”
“Wong edan!”
Orang mengolok-olok Sukri. Sukri tetap berdiri tegap, menghunuskan pisaunya yang berkilau terkena cahaya matahari. Kedua matanya memerah. Rambutnya berantakan. Bajunya pun berantakan menandakan kemelaratan. Dan sepeda skuternya teronggok di tepi jalan. Sukri menikam-nikamkan pisaunya ke udara, ke arah orang-orang yang mencoba mendekatinya. Orang-orang pun berlalu. Meninggalkan Sukri sendirian. Tinggal Sukri sendirian bersama skuter dan pisaunya yang tajam. Kedua matanya yang merah. Dan hatinya yang merana.
“Zaman telah berubah, Sukri! Kamu hanya orang bodoh. Hingga hari ini kau tetap saja bersama kegagalanmu. Hidupmu gak ada apa-apanya. Kriminal. Dan biadab!” kata seseorang.
Sukri mencari-cari suara itu. Ia semakin geram. Marah. Dan terbakar. Dengan sigap, ia melompat ke balik semak-semak. Kemudian menikam-nikam buku cerita di tangannya.
“Cerita bangsat! Kenapa kamu tak mati-mati juga? Kenapa kamu selalu hidup di dalam hidupku?” Sukri menikam-nikam buku cerita. Buku itu pun robek. Sukri membakarnya. Tapi cerita itu tak bisa dibakar.
Kini Sukri dengan sebilah pisau tajam di pinggang, tanpa android, tanpa masker, dan tanpa uang, memacu skuter sekencang-kencangnya; “gas pol”. Tapi skuter itu tetap saja berjalan terlambat. Suara skuter Sukri itu, lama-lama semakin menjauh, memasuki relung hatiku.
Tembokrejo, 2021
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.