Taufiq Wr. Hidayat *
Konon puncak ketidaktahuan melahirkan ketakjuban. Sesuatu yang sesungguhnya tak terjelaskan, hanya mungkin dihayati dengan rasa takjub.
Bagi Ismail Marzuki, yang cerlang dan gemilang tak harus berada dalam terang. Yang cerlang dan gemilang hanya tampak di dalam kegelapan. Lalu kenapa orang mencari terang benderang? Bukankah di dalam terang benderang itu, segala yang cerlang dan gemilang tak pernah tampak untuk membangkitkan ketakjuban?
“Engkau gemilang,” katanya. Tetapi di dalam “malam cemerlang”. Di dalam malam yang diliputi kegelapan itulah, yang gemilang membaut malam menjadi cemerlang. Bukan terang. Kecemerlangan barangkali melampaui segala yang terang. Lantaran yang gemilang itu “bagaikan bintang timur sedang mengambang”. Di dalam malam yang gelap itu pulalah, yang gemilang menampakkan pesonanya yang tak mudah dijelaskan. Yang membuat seseorang yang takjub itu “tak jemu-jemu mata memandang”. Dan dengan hati yang bergetar, “aku namakan dikau juwita malam”.
Dan di dalam malam yang gelap dan dalam itu, “sinar matamu menari-nari”. Begitu tajam menusuk gulita yang dalam, hingga “masuk menembus ke dalam jantung kalbu”. Ketakjuban membuat “aku terpikat”, bagai mangsa yang “masuk perangkap”. Di dalam perangkap ketakjuban itu, “apa daya asmara sudah melekat”.
Kita pun tak mengerti, dari mana muasal takjub. Tatkala ia takjub, ia pun tak berdaya. Rela segala rela demi mereguk ketakjuban itu. Ketakjuban adalah yang spiritual, mungkin juga yang aktual. Ia melampaui yang benda-benda, atau melampaui—atau bahkan, yang aktual dan spiritualitas itu sendiri, meski ia menemukan benda-benda di dalam keniscayaan. Keheranan itu melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang sukar dijelaskan. Membuatnya tak kuasa menahankan tanya: “siapakah gerangan tuan?”. Dan apakah ia yang gilang gemilang di dalam malam itu jatuh dari langit sebagai mukjizat? “Juwita malam, dari bulankah tuan?” tanyanya. Alangkah heran dan tak mengerti, sehingga ia yang duduk di sana, disapanya: “apakah Tuan datang dari bulan?”
Di dalam kegelapan, di dalam ketidaktahuan, ia ingin mengenali. Ingin mengenali juwita malam yang ditemukannya di dalam sebuah kereta—sebuah ruang dan waktu, yang akan segera tiba memisahkannya dari ketakjuban. Dalam lagu “Juwita Malam”-nya Ismail Marzuki, ada semacam cemas yang menindas. “Kereta kita segera tiba,” ujarnya. Tiba pada tujuan yang berbeda, ruang dan waktu yang berbeda; “di Jatinegara kita kan berpisah”. Ketakjuban selalu ingin mengarifi kedalaman dengan sebuah nama. “Berilah nama, alamat serta” harapan dalam kemungkinan-kemungkinan “esok lusa boleh kita jumpa pula”.
Di dalam kegelapan, yang gilang itu begitu memesona. Ada kesunyian yang sahdu. Di dalam gelap, ia yang bagai cahaya bintang timur yang mengambang hadir, sampai ke dalam hati. Ada rahasia yang tersembunyi di dalam gulita. Rahasia ketakjuban yang memikat jiwa. Tapi kenapa orang menyalakan lampu listrik yang terang benderang? Sehingga segala yang tersembunyi tampak begitu jelasnya, segala yang sahdu buyar begitu saja. Kenapa orang gemar ingin tahu segala yang tak seharusnya ia ketahui? Menyalurkan tenaga listrik pada benda-benda, sehingga sunyi pecah oleh bunyi-bunyi keras yang merobek telinga. Dan segala yang dialiri listrik, membuat segalanya jelas, tampak pasti, dan sangat pintas. Agaknya di dalam terang, segalanya menjadi kepastian. Lantaran segalanya pasti, jelas, dan tidak meragukan, maka tak mungkin ada ketakjuban yang dibangun dari ketidakpastian dan ketidaktahuan di dalamnya. Barangkali Ismail Marzuki hendak menyampaikan sebuah pertanyaan; bagaimana mungkin meraih yang gilang gemilang atau yang cerlang cemerlang dengan meniadakan kegelapan? Bukankah yang gilang-cerlang hanya mungkin bernama kecerlangan dan kegemilangan lantaran ia berada di dalam gelap yang begitu dalam? Dan bukankah keimanan—jika kita andaikan, yang selalu mencari jalan terang, sejatinya adalah kegelapan? Iman mengandung kepastian, tetapi juga memendam ketidakpastian-ketidakpastian yang meragukan, cemas, dan berharap-harap. Lalu bagaimana ia dapat menuju terang, jika ia tak pernah merendah hati berhikmat pada kegelapan?
Tembokrejo, 2021
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.