SANG PENYAIR YANG DISELIMUTI

Taufiq Wr. Hidayat *

Ia mengenangkan hari-hari ketika semuanya masih utuh. Pohon mangga. Dan tikungan jalan yang dilewati gadis kecil saat petang. Perjalanan yang panjang, membawanya pulang, merebahkan desah pada harapan, menidurkan kelelahan ke dalam mimpi malam. Di situ, ia dipanggil-panggil kekasihnya. Menawarkan padanya mata air kesadaran, mata air yang menganugerahkan kesembuhan dari segala rasa sakit yang selalu menghebat ketika malam dengan kepedihan yang tak tertahankan. Continue reading “SANG PENYAIR YANG DISELIMUTI”

PENYAIR MATJALUT DAN LAMPU-LAMPU JALAN YANG DIPADAMKAN

Taufiq Wr. Hidayat *

Sahdan pada suatu senja, Penyair Matjalut meletakkan tubuh di atas kasur lembabnya. Tertidur. Tanpa mimpi, tapi mendengkur. Lalu bangun. Duduk tegun. Android tergeletak. Ada kertas berserak. Kopi, bukan arak. Sendiri. Dan rokok yang tinggal sejari. Sedang di luar rumah, udara kedinginan sekali. Orang-orang dengan tubuh yang terselimuti. Bayangan kereta malam hari. Dan perempuan yang menari. Menari-nari di tengah pandemi. Continue reading “PENYAIR MATJALUT DAN LAMPU-LAMPU JALAN YANG DIPADAMKAN”

KIAI SAKI DAN MIMPI PENYAIR MATJALUT

Taufiq Wr. Hidayat *

Penyair Matjalut menulis puisi. Tentu saja ia harus menulis puisi, supaya sesuai dengan nama depannya, yakni Penyair. Penyair Matjalut berkawan karib dengan Kiai Saki. Kiai Saki adalah tetangga Penyair Matjalut. Kiai tepian kota. Sebatang kara. Bukan kiai sosial media, tak pernah muncul di YouTube, bukan kiai yang gemar menafsir-nafsirkan ayat suci, juga bukan jenis kiai yang gemar berdiri atau duduk berceramah di depan ribuan orang. Ia kiai sunyi. Seorang petani. Tak banyak yang mengenali. Continue reading “KIAI SAKI DAN MIMPI PENYAIR MATJALUT”

TULAH KEMARAU

Marwita Oktaviana *
Solo Pos, 21 Mei 2020

Riak-riak mendung sedang marah dan jengah, tak mau bahkan hanya mampir sebentar meneduhkan. Sudah lebih dari sepuluh bulan. Matahari sedang kasmaran menjumpai bumi tanpa jeda meski hanya sehari. Panas membara. Aku sedang berjibaku mengipas-ngipas keringat yang mengucur deras saking panasnya. Di malam hari pun tak mau beranjak, bahkan lebih gerah dari siang hari. Tidur susah, bangun susah. Istriku sedang ngomel-ngomel karena anak balita kami rewel sedari sore. Continue reading “TULAH KEMARAU”

Pengakuan Dosa di Negeri Pendosa

Muhammad Yasir

Ada sebuah gereja yang terbuat dari batu-batu besar di tepi Sungai Warswei. Pada hari Minggu yang cerah, para jemaat yang hanya dua puluh satu orang itu dengan pakaian terbaik mereka, tampak berjalan beriringan. Tentu saja, anak-anak berjalan paling depan. Sementara orang-orang dewasa dan senja usia berjalan paling belakang. Bagaimana pun, sepasang mata mereka telah dimangsa rabun dan ketakutan. Karena itu, anak-anak yang masih polos itu adalah penunjuk jalan yang tidak perlu diperdebatkan. Dan, sepuluh kaki dari iring-iringan itu, sepasang anjing pemburu menguntit. Continue reading “Pengakuan Dosa di Negeri Pendosa”

Bahasa ยป