Orasi Sastra – Kesaksian Personal

Darman Moenir *
Haluan, 27, 28, 29, 31 Agu 2015

SAYA berbahagia ber­­pidato sastra yang bersifat per­sonal pada hari ini, Sabtu, 22 Agustus 2015. Betapa lagi pidato ini harus dimulai dengan menyebut halaman Remaja Minggu Ini (RMI) Harian Haluan yang berawal pada 1976 dan ber­akhir 1999. Ruang ini jadi persemaian kelahiran sastra­wan dari Sumatera Tengah penggal kedua abad lampau. Pula, masa-masa itu menda­tangkan kenangan tersen­diri, sesudah dinamika Grup Krikil Tajam yang saya pim­pin pada 1973, berakhir. Sebelum RMI eksis, sudah ada halaman Budaya Ming­gu Ini (BMI) tiap Selasa. Continue reading “Orasi Sastra – Kesaksian Personal”

Mutu Karya Sastra Sumbar 30 Tahun Terakhir

Darman Moenir

Satu,
TEMA Menyoal Kebermutuan Karya Sastra Sumatera Barat membingungkan. Apalagi, lebih khusus, judul Mutu Karya Sastra Sumatera Barat 30 Tahun Terakhir.

Adakah karya sastra Sumatera Barat? Saya lebih tertarik menyebut karya sastra Indonesia, ditulis dalam bahasa Indonesia, oleh sastrawan yang berasal dari Sumatera Barat atau Minangkabau. Sumatera Barat jadi risalah ketata-negaraan, dan Minangkabau adalah masalah etnik(al). Chairil Anwar adalah penyair besar dan penting Indonesia biarpun dia berasal dari Taeh Baruah, Payokumbuah. Begitu juga Abdoel Moeis, novelis modern sastra Indonesia, lahir di Sungai Pua, Agam. Continue reading “Mutu Karya Sastra Sumbar 30 Tahun Terakhir”

Ada dan Perlukah Kebudayaan Nasional?

Darman Moenir *
Media Indonesia, 14 Maret 2007

OPINI Edi Sedyawati “Fitnah terhadap Kebudayaan Nasional?” (Media Indonesia, 5/3) perlu ditanggapi. Kalau tidak, dikhawatirkan penyeragaman kebudayaan (yang pada suatu era pernah sangat gencar diupayakan) akan kembali mengemuka. Pada hakikatnya dia ingin menegaskan bahwa kebudayaan nasional itu ada dan perlu ada.

Pertanyaan yang segera diantarkan oleh pendapat itu adalah apakah gerangan kebudayaan nasional? Pertanyaan ini sesungguhnya bersifat klasikal, dan kadang-kadang menjadi membosankan. Continue reading “Ada dan Perlukah Kebudayaan Nasional?”

Ayah, 80 Tahun Lebih

Darman Moenir
jurnalnasional.com

MUNGKINKAH orang setua ayah, berusia delapan puluh tahun lebih, masih harus dibiarkan bekerja di sawah dan di ladang? Dan, bekerja di sawah, jelas beliau bergelimang dengan luluk, dengan bau tanah, dengan lumpur, dengan miang jerami, dengan bajak, dengan hadangan cuaca amat panas di musim kemarau, sering berbadai di musim hujan. Tetapi adakah cara paling santun menegah ayah yang bekerja dengan semangat empat-lima seperti para pejuang merebut dan memertahankan kemerdekaan? Continue reading “Ayah, 80 Tahun Lebih”

Bahasa »