Sastra yang Menjaga Indonesia

Ilham Khoir
Kompas, 25 Agu 2015

Ada yang menarik dalam pemberian penghargaan Rancage 2015 di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (22/8). Selain beberapa sastrawan diberikan anugerah kebudayaan, acara itu diwarnai pernyataan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi bahwa sastrawan dan karya-karyanya berpotensi besar menjadi inspirasi dan menjaga nilai keindonesiaan. Continue reading “Sastra yang Menjaga Indonesia”

Memasuki Dunia Sapardi

Ilham Khoiri
Kompas, 29 Maret 2009

Kami pun setiap malam berada dalam ruangan itu: dia main piano dan aku mendengarkannya. Yang selalu dimainkannya adalah Fur Elise, salah satu mahakarya Beethoven yang selalu membuatku seperti mengambang dalam keheningan untuk kemudian lenyap menjelma butir-butir udara yang dihirup dan dihembuskannya… Kami tak pernah bersentuhan. Hanya kadang memandang, mungkin itu tanda bahwa kami saling mengajukan pertanyaan, atau saling menyodorkan jawaban… Continue reading “Memasuki Dunia Sapardi”

Sapardi Mempertanyakan Kebenaran

Sapardi Djoko Damono
Pewawancara: Ilham Khoiri
Kompas, 12 Des 2010

SAPARDI Djoko Damono adalah sosok sastrawan Indonesia yang lengkap. Dia seorang penyair, pengamat sastra, dan pendidik yang tekun—bahkan sempat menjadi birokrat kampus. Lebih menarik lagi, hingga usianya yang ke-70 tahun, lelaki ini tetap aktif berkarya.

Sebagai penyair, Sapardi lebih dikenal lewat puisi-puisi yang bercorak liris. Puisinya dianggap mewakili pengelolaan pikiran dan perasaan yang mendalam. Diksinya sederhana, tetapi tajam; rumit sekaligus halus. Continue reading “Sapardi Mempertanyakan Kebenaran”

Mengembalikan Puisi pada Bunyi

Ilham Khoiri
Kompas, 17 Feb 2008

Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis
sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi
itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa
berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang
bertanya kenapa.

Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk
memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin
menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan
rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi. Continue reading “Mengembalikan Puisi pada Bunyi”

Monolog: Energi Putu Wijaya

Ilham Khoiri
Kompas, 01 Juli 2007

DALAM usia 64 tahun, gelora Putu Wijaya seperti tak habis-habisnya. Pentas Seratus Menit—yang ternyata molor hingga lebih dari 140 menit—di Gedung Kesenian Jakarta, Rabu dan Kamis (27-28/6) malam, menjadi ajang pemendaran energinya.

Monolog itu tampil kuat sebagai karya baru yang lebih “provokatif”, yang menerabas kungkungan teks cerita. Continue reading “Monolog: Energi Putu Wijaya”

Bahasa »