Puisi, Perjalanan, dan Identitas Diri yang Terkoyak

Junaidi Khab *
Radar Surabaya, 4 Feb 2018

Di lingkungan Yogyakarta, gerakan literasi dan kultur hingga seni mendapat lahan empuk untuk terus hidup dan berkembang. Itu digawangi dari beberapa pecinta litarasi, bukan serta-merta penggerakknya secara dominan dari kalangan masyarakat Yogyakarta sendiri. Tetapi, mereka datang dari beberapa daerah yang hidup merantau di Yogyakarta untuk berjuang dan saling bertemu dengan sesama pecinta literasi. Dari peradaban satu visi dan misi ini, lahirlah Yogyakarta sebagai kota pendidikan, seni, budaya, dan literasi selain memang Yogyakarta kentara dengan ciri khas budaya dan tradisi masyarakatnya. Continue reading “Puisi, Perjalanan, dan Identitas Diri yang Terkoyak”

Politik Teori Sastra di Indonesia

Muhammad Al-Fayyadl

Pendahuluan

SECARA empiris-historis, kritik sastra dipisahkan dari aktivitas politiknya sejak lenyapnya estetika realisme sosialis seiring dilenyapkannya para sastrawan Lekra dari panggung kritik sastra sejak akhir dekade 1960-an. Koinsidensi antara peristiwa politik (politisida 1965) dan peristiwa kritik sastra (separasi antara kritik sastra dan politik) menegaskan kembali, secara paradoksal, ketakterpisahan politik dari dunia sastra dan dunia sastra dari konteks politiknya. Continue reading “Politik Teori Sastra di Indonesia”

Andai Saut Situmorang Dipenjara

Muhammad Al-Fayyadl

Andai Saut Situmorang dipenjara, hanya karena ulah kecilnya mengatakan “bajingan!” dalam polemik buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, maka kita akan kehilangan seorang kritikus yang kreatif memainkan “politik performatif” dalam pergaulan sastra Indonesia kontemporer. “Politik performatif”, seperti dianalisis Judith Butler dalam Excitable Speech, adalah suatu politik yang mempermainkan bahasa untuk bereaksi atas perilaku orang lain, dan menjadikan bahasa suatu tindakan politik itu sendiri. Continue reading “Andai Saut Situmorang Dipenjara”

Sastra Tionghoa dan Prasangka “Politik Identitas”

Muhammad Al-Fayyadl *

Perhatian publik sastra saat ini tampaknya tertuju pada bangkitnya genre sastra Tionghoa, tepatnya Melayu-Tionghoa, kembali ke kancah sastra Indonesia modern. Gejala kebangkitan ini merupakan sesuatu yang layak disambut luas. Seyogianya memang demikian, karena kita sudah lama kehilangan “saudara kembar” (twin sister) dalam genre sastra kita, yang umumnya didominasi sastra Melayu saja. Continue reading “Sastra Tionghoa dan Prasangka “Politik Identitas””

Setelah “Sesuatu Indonesia” Tentang Sastra Kita di Masa Depan

Muhammad Al-Fayyadl

Tiap ditanya soal masa depan sastra Indonesia, saya selalu ragu menjawabnya. Pertama, saya kira tak seorang pun dapat meramalkan masa depan. Pengertian masa depan begitu cair dan penuh kontradiksi. Yang kita anggap masa depan lebih merupakan bayangan, imajinasi, atau keinginan kita tentangnya. Kedua, pasti memusingkan bila bicara tentang masa depan narasi sejarah bernama “sastra Indonesia”. Continue reading “Setelah “Sesuatu Indonesia” Tentang Sastra Kita di Masa Depan”

Bahasa »