Apresiasi Sastra

Mustafa Ismail *
Koran Tempo, 06 Sep 2014

Muhibah sastra ke beberapa sekolah di Aceh baru-baru ini memberi gambaran miris bagi saya. Ternyata tidak banyak siswa yang mengenal sastrawan Indonesia. Hanya sedikit yang mengenal Taufik Ismail, Sutardji Calzoum Bahri, Hamid Jabbar, Sitor Situmorang, KH Mustofa Bisri, dan lain-lain. Apalagi nama-nama yang lebih muda dan belum tercatat dalam buku ajar sekolah. Continue reading “Apresiasi Sastra”

Estetika Sastra Buruh

Mustafa Ismail*
Seputar Indonesia, 20 Juli 2008

PENYAIR yang aktivis sastra buruh,Wowok Hesti Prabowo, menulis puisi seperti ini, pulang kerja shift dua/istriku membuka pintu dengan air mata/…//aku jadi ingat/ malam Minggu kemarin anakistriku kuajak putar-putar Karawaci/ sehabis nonton kembang api dari luar negeri/tentu kami tak beli apa-apa selain Indomie… Continue reading “Estetika Sastra Buruh”

Requiem untuk Aceh

Idrus F. Shahab, Mustafa Ismail, Yuswardi A. Suud, Nurdin Kalim, F. Dewi Ria Utari
majalah.tempointeraktif.com

Allah hai do do da idi/ Boh gadong biye boh kaye uteun/ Rayeuk si nyak hana peu ma bri/ Aib ngon keji ureung donya keun. (lirik Do do da idi)

Suara perempuan itu seperti semilir angin: bertiup perlahan, hilang perlahan. Di layar kaca, tubuh-tubuh bocah berjajar rapi, mata dan rahangnya terkatup. Tubuh-tubuh kecil yang tak lagi bergerak, beku, tapi suara Cut Aja Rizka Syarfiza, personel kelompok Nyawoung, mendendangkan sebuah lullaby, satu dendang pengantar tidur, Do do da idi. Kita tahu, Do do daidi bukan lagu sedih. Nada-nadanya bergerak lambat dalam skala mayor, tapi pesannya mendalam: jangan pernah takut pada kematian, jika itu merupakan pengorbanan untuk tanah air. Continue reading “Requiem untuk Aceh”

Perjuangan Seorang Perempuan

Mustafa Ismail
http://www.korantempo.com/

Cerita menjadi eksotik karena berlangsung di dunia pesantren.

Ini persoalan perempuan. Perempuan Berkalung Sorban bercerita tentang Annisa (Revalina S. Temat) yang berjuang untuk keluar dari “ketertutupan” pesantren, tempat ia dilahirkan. Annisa adalah anak Kiai Hanan (Joshua Pandelaky), pimpinan Pesantren Salafiah putri Al Huda, Jawa Timur, yang konservatif.

Kiai Hanan berprinsip: perempuan tidak berhak menjadi pemimpin. Maka, ketika Annisa kecil terpilih sebagai ketua kelas di pesantren itu, pengajarnya lebih memilih menunjuk anak laki-laki yang mendapat perolehan suara di urutan kedua. Begitu pula ketika Annisa ingin melanjutkan kuliah di Yogyakarta, sang ayah juga melarang. Continue reading “Perjuangan Seorang Perempuan”

Bahasa ยป