Yang Bernapas dengan Kata

Nurdin Kalim
http://majalah.tempointeraktif.com/

Tak…tak…tak…tak…tak…tak.

Bunyi mesin ketik Brother itu memecah malam. Di meja kerjanya, di sebuah pojok perpustakaan pribadinya, Remy Sylado bergulat dengan tulisan. Malam itu, di rumahnya di Cipinang Muara, Jakarta, Remy berpacu menulis novel terbarunya, sebuah novel yang berkisah tentang sebujur jalan di kota Paris. Novel yang direncanakan setebal sekitar 300 halaman, tapi baru selesai setengahnya. Wajahnya serius. “Saya sedang ngebut agar bisa selesai dalam satu atau dua pekan ke depan.” Continue reading “Yang Bernapas dengan Kata”

Jejak Boekhandel Tan Khoen Swie

Seno Joko Suyono, Dwijo Maksum, Imron Rosyid,
Lucia Idayani, Istiqomatul Hayati, Nurdin Kalim
majalah.tempointeraktif.com

Di atas pintu depan toko itu hanya terlihat papan kayu biru kusam bertuliskan “SURABAYA”. Toko di Jalan Dhoho, Kediri, itu menjual bahan makanan seperti abon, dendeng, ke-rupuk. Pada era 30-an, toko itu bernama “SOE-RABAIA”, terkenal sebagai pusat penjualan ban Dunlop dan onderdil mobil. Continue reading “Jejak Boekhandel Tan Khoen Swie”

Kisah Negeri yang Bergolak

Nurdin Kalim
http://majalah.tempointeraktif.com/

Meutia baru lima tahun umurnya. Gadis cilik periang itu kehilangan keceriaannya. Bocah yang selalu berkicau dengan aneka pertanyaan itu berubah menjadi pendiam. Perubahan sikapnya itu terjadi sejak ayahnya, yang dituduh simpatisan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), ditangkap dan dipulangkan setelah menjadi mayat. Continue reading “Kisah Negeri yang Bergolak”

Requiem untuk Aceh

Idrus F. Shahab, Mustafa Ismail, Yuswardi A. Suud, Nurdin Kalim, F. Dewi Ria Utari
majalah.tempointeraktif.com

Allah hai do do da idi/ Boh gadong biye boh kaye uteun/ Rayeuk si nyak hana peu ma bri/ Aib ngon keji ureung donya keun. (lirik Do do da idi)

Suara perempuan itu seperti semilir angin: bertiup perlahan, hilang perlahan. Di layar kaca, tubuh-tubuh bocah berjajar rapi, mata dan rahangnya terkatup. Tubuh-tubuh kecil yang tak lagi bergerak, beku, tapi suara Cut Aja Rizka Syarfiza, personel kelompok Nyawoung, mendendangkan sebuah lullaby, satu dendang pengantar tidur, Do do da idi. Kita tahu, Do do daidi bukan lagu sedih. Nada-nadanya bergerak lambat dalam skala mayor, tapi pesannya mendalam: jangan pernah takut pada kematian, jika itu merupakan pengorbanan untuk tanah air. Continue reading “Requiem untuk Aceh”

Soe Hok Gie: Kegelisahan tanpa Ujung

Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim, L.N. Idayanie, Evieta Fajar, Suseno
http://majalah.tempointeraktif.com/

Peristiwa itu masih melekat di benak Herman Lantang, 65 tahun. “Man, entar turunnya bareng gue. Lu, gue tunggu di sini,” kata Soe Hok Gie.

Soe Hok Gie beristirahat di sebuah ceruk. Ia menggigil kedinginan. Udara Gunung Semeru sangat menusuk waktu itu,16 Desember 1969. Dari Ranu Kumbolo, sebuah danau di Gunung Semeru, Herman Lantang, Aristides Katoppo, Soe Hok Gie, Idhan Lubis, Freddy Lasut, Rudi Badil, Abdurachman, dan Wiyana bergerak menuju Arcopodo yang terletak pada ketinggian 3.200 meter di atas permukaan laut?pos terakhir sebelum puncak. Continue reading “Soe Hok Gie: Kegelisahan tanpa Ujung”

Bahasa ยป