Coro – Putu Wijaya

Yosi Abdian Tindaon

Terjadi situasi genting, ketika manusia tidak lagi manusiawi. Putu Wijaya, lewat Coro-nya ingin mengangkat suatu realita bahwa manusia yang satu dengan kekuasaan yang lebih tinggi menganggap manusia yang lain dengan posisi yang rendah adalah hal yang hina, perlu dimusnahkan, dan tidak perlu didengarkan pendapatnya. Bahkan jika ia tidak memusnahkan manusia yang lebih rendah posisinya, maka ia telah melakukan kesalahan yang besar. Continue reading “Coro – Putu Wijaya”

Semua Kata Mendua

Putu Wijaya *
Majalah Tempo, 15 Nov 2010

Arti sebuah kata adalah hasil sebuah perjanjian. Kamus melakukan kodifikasi tapi selalu terlambat, karena praktik bahasa bisa membelot dan berkhianat dengan seenak perutnya. Tidak ada hukum suci yang bisa membatasi karier sebuah kata. Tata bahasa boleh menjadi pengawal yang kejam, tapi sebuah kata bagai seniman bebas yang petualangannya menyelusup dan berbelok tajam tak bisa diramal. Continue reading “Semua Kata Mendua”

Misteri Kata Berulang

Putu Wijaya *
Majalah Tempo, 11 Okt 2010

SEBUAH kata tidak pernah berdiri sendiri. Setelah disepakati untuk mengusung sebuah pengertian, ia aktif bekerja dan lantas menimbun sejarah. Dalam perjalanannya, tak bisa dikontrol, ia bisa menaikkan berbagai penumpang. Tak sedikit penumpang gelap yang ikut menempel, sehingga kata itu tumbuh, berkembang, dan bisa membelot. Continue reading “Misteri Kata Berulang”

Sastra Gagal Dalam Pemberadaban

Putu Wijaya: Seperti Benda Asing di Awang-awang

Ipik Tanoyo
balipost.co.id

KEBANGKITAN sastra pada hakikatnya adalah kebangkitan masyarakatnya. Dalam kesusastraan dunia, karya-karya sastra monumental secara legendaris memberikan pengaruh dan tuntunan kepada peradaban. Bahkan, boleh dibilang dunia berubah oleh sastra. Moral dan citra manusia terarah oleh sastra. Demikian sastrawan Putu Wijaya mengutarakan pendapatnya dalam diskusi sastra di Bentara Budaya, Jakarta, Kamis (26/2). Continue reading “Sastra Gagal Dalam Pemberadaban”