Umar Fauzi *
Surabaya Post, 23, 30 Agustus 2009
Membaca sejarah sastra (baca, perpuisian) Indonesia –pun mungkin kesusastraan dunia– dengan cara sederhana adalah membaca pengotakan zaman, sebagai khazanah yang coba dimitoskan ke dalam angkatan-angkatan atau periodeisasi kesusastraan. Dari bentukan angkatan/periode itulah, kritikus –secara sadar maupun terpaksakan– menemukan benang merah hingga layaklah disebut sebagai sebuah angkatan bla-bla-bla kesuasatraan Indonesia. Continue reading “PUISI SURABAYA: HABIS GELAP TERBITLAH TERANG”