Yasraf Amir Piliang *
Kompas, 04/11/09
Sebuah rekaman pembicaraan—yang dicurigai berisi rekayasa ”kriminalisasi” Komisi Pemberantasan Korupsi—hari-hari ini layaknya ”batu bertuah” dalam cerita misteri, yang diperebutkan, didiskusikan, dianalisis, ditranskrip, digandakan, ditayangkan, dan didesiminasikan secara luas. Continue reading “Hantu-hantu Kebenaran”
Yasraf Amir Piliang *
Kompas, 31 Mei 2008
SEBAGAI masyarakat bangsa, kita terbiasa hidup dalam realitas kesatuan, ketunggalan, penyeragaman, sehingga gamang menghadapi realitas keliyanan (otherness), perbedaan, dan diversitas. Kita terbiasa merangkai makna tunggal dan tak terbuka terhadap makna jamak (polysemy). Continue reading “Negara-Bangsa: Dari Otonomi ke Multiplisitas”
Yasraf Amir Piliang
Pikiran Rakyat, 19 April 2009
SETELAH kejatuhan rezim otoriter Orde Baru pada 1998, “sistem demokrasi” dilihat sebagai satu-satunya harapan yang dapat membawa bangsa ini menuju masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Akan tetapi, setelah lebih dari satu dekade masa transisi, yang tumbuh di kalangan masyarakat adalah pandangan pesimistis atau skeptis terhadap sistem demokrasi itu sendiri. Sistem demokrasi lebih dilihat sebagai “masalah” ketimbang “solusi”, “ekses” ketimbang “pencerahan”, “disorder” ketimbang “order”. Continue reading “Dosa-dosa Demokrasi”
Yasraf Amir Piliang *
pr.qiandra.net.id
Perbedaan ekspresi kebudayaan sering ditampilkan dalam bingkai pertentangan atau oposisi biner (binary opposition), misalnya, antara budaya tinggi (high culture) dan budaya massa (mass culture). Dalam dunia sastra, khususnya, ada pertentangan antara “sastra tinggi” dan “sastra rendah”. Metafora spasial macam ini dalam sastra digunakan untuk menjelaskan perbedaan antara bentuk-bentuk sastra yang dianggap mempunyai nilai-nilai “luhur” (indah, suci, atas, serius, mulia, tinggi) dan yang mempunyai nilai-nilai “bawah” (rendah, banal, buruk, profan, asal jadi, instan). Continue reading “Sastra dan E(ste)tika Massa”
