Membakar Kemenyan
Aku bakar kemenyan dan ranting kenanga di pinggan tanah liat
Aku panjatkan mantra-mantra kepada leluhur
Aku bersila di atas tikar pandan menghadap matahari
Aku ratapi kemarau dan angin yang berdebu
Langit terbelah diarak angin
mukaku ditampar silau senja
lalu gerimis terperas dari awan yang memekat
menjadi murka
guntur saling membentur
menggelegar mencakar-cakar tanah yang tandus
mendengus beringas
senja berubah menjadi kilat
apakah ini laknat yang menimpa
atau mantra yang diterima?
Mantra-mantra yang berubah menjadi lembaran proposal
berubah menjadi angka-angka
Kemenyan berubah menjadi gubuk-gubuk yang terbakar
Ranting kenanga berubah menjadi tulang-tulang
dan pinggan berubah menjadi tas cover
Batang-batang kayu berubah menjadi batang-batang emas
berubah menjadi menara
Gunung-gunung berubah menjadi burung-burung kecil
berubah menjadi bulu yang terbang
melayang-layang di atas sawah, ladang dan kebun tebu
dan berubah menjadi gedung-gedung
menjulang menancapkan kakinya di perut petani
Dan bumi pun berubah
Aku pun berubah
menjadi liar
menjadi-jadi, menjadi-jadi
Menjadi sapu tangan berwarna kuning terkoyak
Branda Cafe, Bulan Maret 2011
Malam yang Membusuk
Malam yang membusuk pelan-pelan
Aku terdampar di kaki lima
Dimamah kepahitan yang terurai satu persatu menjadi mimpi,
Mimpi-mimpi yang saling menghujam
Menusuk-nusuk gendang pendengaranku, berbisik
Berisik sekali
Membanting tubuhku ke lantai debu
Aku tersedak dijejali beribu sesak
Keindahan yang terampas
Dihajar masa lalu yang hampir saja sempurna
Aku terbujur di lantai debu
Pucat ditampar bulan
Maret, 04 2011
Lenguh Nafas Tarianmu
Kutenangkan jiwa menghadirkan pancaran matamu yang
Teduh
Kembali
Aku tersenyum mengenang engkau tersenyum
Syair ini menguraikan tentang lenguh nafas yang terhembus
pelan
ke luar dari bibirmu
bersama lembut kata-kata yang menyimpan rahasia perempuan
yang kau sampaikan lewat tarian
Engkau telah mengajakku tanpa isyarat
Menggandeng lenganku tanpa rengkuhan
Tanpa kata atau bisikkan
Wangi yang tersibak dari tanganmu
Terbuka lenguh bersama nafas menjinakkan angin dan debu-debu
Daun dan rumput tergoda
Aku pun tergoda
Kucium harum
Wangi itu tersibak lagi
Lembut dan hampir sempurna dari ketiadaan
Menarilah, menarilah bersama angin yang kau taklukkan
Teruslah menari,
Menari, menari-nari menyibakkan wangi silih berganti
Hingga semerbak harum yang menggeliat
seperti seorang Dewi
yang lari dari khayangan
Dan terus, teruskan gemulaimu
Karna musik dan lagu masih beriak
…. … …
Kutenangkan jiwa menghirup dalam
aroma tubuhmu
yang memancar dari teduh matamu
bersama nafas menjelma ke dalam sukmaku
menunggu di ujung malam
menjadi sebuah mimpi
yang kutempa menjadi sajak tentang engkau dan rahasiamu
Bahwa kecantikkanmu telah menyapaku
… … …
Kutenangkan jiwa membalas tarianmu dengan syair ini
Sementara ombak zaman menderu-deru berbisik
Membisikkan kata yang menggoda
menjadi iklan di jalan raya
Dan kau masih akan menari untukku
dan menari menyibakkan wangi yang terlepas
seperti denting gitar yang memanjakan nyanyian
dengan petikan merdu bergejolak-gejolak
di antara sangsi dan sangsai bahwa kecantikkan
bukanlah purnama pucat
di antara awan dan bintang
… … …
Kutenangkan jiwa ini menyapamu dalam sajak
sebelum semuanya usai atau kembali
menjadi biasa
Maret, 04 2011, di Branda Teater
Syair Sepasang Mata
Mata ini tuan yang punya
hendak dibawa kemana gerangan sangsi
Bila tau luka kan berdarah
manalah mungkin tuan kan datang
meminang hamba telangkup tirai
menindih bantal di bawah lelah
Memeluk pelangi di tengah malam
Seperti bulan terkurung pekat
Duhai pujangga peramu kata
Alangkah bijak tautan makna
Terselubung ayunan kemban
Jadilah dendam terkubur dalam.